Langit Sylvanhilm telah berganti malam. Cahaya bulan menelusup samar di antara dedaunan kristal yang menggantung dari pepohonan elf, tapi tak satu pun dari sinar itu menembus ruang bawah tanah kastel, tempat di mana ruang interogasi berada.
Di dalam sana, suasana dingin dan lembab menyelimuti setiap inci ruangan, seakan-akan ingin menekan napas siapa pun yang ada di dalamnya.
Di tengah ruangan, seorang pria berambut kusut dan mata merah yang dipenuhi dendam duduk terikat di kursi logam. Varthus—komandan bayaran dari organisasi kriminal Order of Monocraze—menyeringai. Meskipun tubuhnya penuh luka akibat perlawanan sebelumnya, bibirnya tetap melengkung seperti orang yang tahu lebih banyak dari yang ia sampaikan.
Kurogane berdiri bersandar pada dinding dengan lengan menyilang. Tubuhnya—yang seakan disusun dari bayangan pekat—terpantul samar oleh cahaya kristal sihir yang menyala redup di atas mereka.
Alya bersandar di dekat pintu, satu tangan menggenggam gagang pedangnya, sedangkan Elaria duduk di kursi seberang Varthus dengan sikap dingin seperti biasa. Tatapannya menusuk seperti es, namun ekspresinya tetap tenang.
“Lanjutkan, Varthus,” ujar Elaria pelan namun penuh tekanan. “Kau belum menjelaskan kenapa kalian sampai mencoba menerobos Sylvanhilm. Siapa yang menyuruhmu?”
Varthus tertawa kecil. Tawa yang lebih terdengar seperti seseorang yang sedang menahan rasa sakit dan rasa bangga sekaligus. “Kalian pikir aku cukup bodoh untuk menyerang wilayah elf tanpa alasan? Ini semua... demi sebuah panggung besar. Sebuah pertunjukan berdarah yang disebut Underground Colosseum.”
Alya mengerutkan kening. “Underground... Colosseum?”
Varthus mengangguk, matanya menyala tipis seperti orang yang sedang membayangkan sesuatu yang mengerikan namun memesona. “Tempat di mana darah dan kematian jadi hiburan. Tempat di mana kriminal, gladiator bayaran, dan monster bertarung hanya demi satu hal: menjadi legenda. Hadiahnya? Uang, senjata terkutuk, bahkan... status yang diakui dalam dunia hitam.”
Elaria melipat tangan di pangkuannya, tapi matanya sedikit menyipit. “Jadi kalian bukan hanya penjahat biasa. Kalian bagian dari jaringan besar.”
Kurogane menggerakkan sedikit kepalanya. “Dan kenapa aku jadi target?”
Senyum Varthus berubah menjadi seringai penuh kemenangan. “Karena sang pemilik Colosseum ingin menjadikanmu bintang utama. Main-event. Orang seperti Faceless sepertimu... itu barang langka. Legenda urban. Dia yakin, kalau kau tampil di sana, penonton akan gila. Taruhan akan naik. Keuntungan bakal meledak.”
“Jadi itu alasan kalian berani menembus perbatasan kerajaan elf?” tanya Alya dengan nada setengah tidak percaya. “Hanya demi menculik Kurogane?”
“Bukan hanya demi,” Varthus menyeringai. “Kau tidak mengerti. Dunia bawah tanah haus akan darah segar. Dan dia, yang menyewa kami... punya banyak alasan untuk menampilkan Kurogane di atas panggung. Bukan hanya demi uang. Tapi demi... balas dendam pribadi.”
Ruangan mendadak sunyi.
Kurogane melangkah perlahan mendekati Varthus. Suaranya datar, tapi setiap kata menggema berat. “Siapa dia?”
Namun Varthus hanya tersenyum dan menutup mulut. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan menutup mata. “Kalian akan tahu... nanti. Colosseum akan segera dimulai. Undangannya akan datang sendiri. Dan saat itu... panggung akan menantimu, Faceless.”
Alya tampak ingin memukulnya, tapi Kurogane mengangkat tangan pelan sebagai isyarat untuk menahan diri. Ia menatap Varthus sejenak, lalu berbalik.
Elaria berdiri dari kursinya. Suaranya tenang, tapi terasa lebih dingin dari biasanya. “Kita harus memberi tahu Council Elf. Ini lebih besar dari sekadar upaya penyusupan.”
Kurogane diam, namun dari getaran halus di sekeliling tubuh bayangannya, terlihat bahwa pikirannya sedang bergolak. Sebuah undangan dari neraka dunia bawah tanah. Sebuah panggung pertarungan berdarah... dan seseorang yang menginginkannya muncul.
Bukan sebagai penonton. Tapi sebagai bintang utama yang akan menjadi pusat dari pertunjukan paling brutal yang pernah ada.
Dan yang paling mengganggu... adalah bahwa bagian dari dirinya—bagian gelap yang haus akan pertempuran dan pembuktian—sedikit bersemangat.
Langkah kaki bergema di sepanjang lorong batu berukir yang membentang menuju pusat kekuasaan Sylvanhilm. Cahaya biru kehijauan dari lentera kristal di dinding memantulkan bayangan ketiga petualang itu—Kurogane, Alya, dan Elaria—yang berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya.
Udara di lorong terasa berat, bukan karena tekanan sihir, tapi karena beban dari apa yang akan mereka sampaikan.
Setelah melalui deretan penjaga elf yang berdiri tegak dengan armor perak dan tombak bercahaya, mereka tiba di depan sepasang pintu raksasa dari akar pohon suci yang berliku dan berkilau seperti permata hidup. Dua penjaga melangkah maju dan, tanpa sepatah kata pun, mendorong pintu itu perlahan terbuka.
Ruang tahta Sylvanhilm tak pernah kehilangan wibawanya. Atapnya menjulang tinggi, dilapisi daun kristal yang berpendar cahaya alami. Di ujung ruangan, duduk di atas singgasana akar yang tumbuh dari pohon pengetahuan Yggralim, terdapat Raja Eltherion dan Ratu Maerwen, dengan jubah putih kebiruan menyelimuti tubuh mereka. Di sisi kiri dan kanan ruangan berdiri para tetua elf—bijak, angkuh, dan berusia ratusan tahun.
Ketiganya berlutut dengan satu lutut menempel lantai, memberi hormat.
"Bangkitlah, Black Fang," suara Raja Eltherion dalam namun tenang, menggema di ruangan itu.
Kurogane berdiri lebih dulu. “Kami telah menyelesaikan interogasi terhadap Varthus, komandan dari kelompok penyerbu,” katanya langsung, tanpa basa-basi.
Alya melanjutkan dengan suara tegas, “Mereka berasal dari kelompok bayaran Order of Monocraze. Organisasi kriminal yang berisi para tentara bayaran, pembunuh, penyelundup—jenis orang yang bisa dibeli jika kau punya cukup emas.”
Elaria kemudian angkat bicara, nada suaranya tenang namun sarat tekanan. “Tujuan mereka bukan hanya menyerang Sylvanhilm. Mereka ingin menculik Kurogane. Rupanya ia menjadi target utama dalam sebuah event kriminal bernama... Underground Colosseum.”
Para tetua saling memandang, sebagian mengernyit, sebagian membisikkan sesuatu. Ratu Maerwen mencondongkan tubuh sedikit. “Colosseum? Di pasar gelap?”
“Ya, Yang Mulia,” jawab Alya. “Pertarungan besar-besaran. Kriminal dari seluruh benua akan berkumpul, bertarung demi ketenaran dan harta.”
“Tapi ini bukan sekadar hiburan,” Kurogane menyambung. “Seseorang menginginkanku di sana. Sebagai umpan. Atau sebagai trofi.”
Sunyi sesaat. Hanya suara dedaunan luar yang bergesekan diterpa angin malam.
Raja Eltherion menghela napas. “Manusia... tidak pernah berubah. Bahkan setelah ribuan tahun. Mereka akan selalu menemukan cara untuk saling membunuh.”
Salah satu tetua dengan jubah hijau berbisik lantang, “Mereka membawa bencana, seperti biasa.”
Ratu Maerwen menatap Elaria. “Dan kau, putri dari garis salju utara... bagaimana pendapatmu?”
Elaria mengangguk pelan. Ia maju satu langkah, kemudian berlutut. “Izinkan aku... mengutarakan sesuatu.”
Ruangan seketika hening.
“Aku... memohon maaf atas kelancanganku,” Elaria memulai, nada suaranya rendah namun stabil. “Dan aku juga berterima kasih karena telah diberi tugas suci untuk menjaga pohon Yggralim. Sebuah kehormatan yang sangat agung.”
Ia diam sejenak, menggigit bibir bawahnya seperti menahan beban kata-kata.
“Tapi mulai hari ini... aku akan meninggalkan tugas itu.” Ia menegakkan tubuhnya, mata birunya menatap langsung ke arah raja dan ratu. “Aku akan pergi bersama Kurogane dan Alya. Sebagai anggota resmi Party Black Fang.”
Suara seperti palu petir meledak dalam ruangan.
“Apa?!”
“Kau tinggalkan tugas suci demi kelompok petualang?!”
“Pengkhianatan terang-terangan!”
Para tetua berteriak, nada mereka tercampur antara kemarahan dan keterkejutan. Bahkan Ratu Maerwen tampak terpukul. Raja Eltherion mengernyit, wajahnya menegang.
“Kau... sungguh-sungguh, Elaria?” tanyanya, suara bagai angin musim dingin.
Namun Elaria tidak goyah. Ia berdiri penuh, tinggi dan teguh.
“Sungguh. Karena selama aku menjaga Yggralim... tidak ada satu pun dari kalian yang pernah benar-benar melihatku. Aku dipuji, dihormati, tapi... tidak pernah didengarkan. Tidak pernah dipedulikan.”
Suara para tetua perlahan mereda.
Elaria melangkah ke depan. “Kurogane dan Alya... melihatku. Bukan sebagai penjaga. Bukan sebagai simbol. Tapi sebagai individu. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa hidup.”
Tidak satu pun dari para tetua, raja, atau ratu yang menjawab. Bahkan udara dalam ruangan seolah terdiam.
Kurogane melirik ke samping. Di balik helm bayangannya, ia sedikit menunduk. Ia tahu, dalam ketenangan Elaria, tersembunyi luka lama yang dalam.
Raja Eltherion akhirnya menghela napas panjang.
“Jika itu kehendakmu... maka kami takkan menahannya.”
Namun suaranya bukan izin. Itu lebih terdengar seperti kekalahan dari seseorang yang tahu ia telah gagal menjaga putrinya sendiri.
Keheningan yang mengambang di ruang tahta pecah oleh suara salah satu tetua tertua di sisi kanan ruangan. Dengan jubah putih panjang yang menjuntai hingga lantai dan mata setajam elang tua, ia berseru,
“Yang Mulia... apakah Anda sungguh akan membiarkannya pergi begitu saja?”
“Elaria adalah penjaga Yggralim,” tambah tetua lainnya. “Tanpa dia, posisi pertahanan kami akan goyah!”
Sorotan mata tajam berpindah ke Raja Eltherion yang kini duduk diam seperti gunung di tengah badai. Tapi ekspresi wajahnya bukan kebingungan atau ketakutan—melainkan ketenangan yang anehnya membuat semua orang di ruangan itu sedikit tidak nyaman.
Ratu Maerwen bahkan mencondongkan tubuh, menatap suaminya dengan dahi berkerut. “Eltherion... apakah kau sedang tidak sehat? Apa kau yakin dengan keputusan ini?”
Raja itu menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. “Aku sadar betul akan risikonya. Tapi jika pilihan itu datang dari hati Elaria... dan sudah menjadi tekadnya, maka tak ada kekuatan, bahkan takhta ini, yang bisa menahannya.”
“Tapi—!”
“Cukup.”
Satu kata itu cukup untuk membungkam seisi ruangan. Nada suaranya tidak tinggi, tetapi penuh wibawa. Seperti akar pohon purba yang berbicara kepada daun-daun yang rewel di pucuk dahan.
Elaria menunduk, dengan tangan menyentuh dada. “Terima kasih atas pengertianmu, Yang Mulia. Aku mohon maaf atas segalanya.”
Kurogane dan Alya hanya berdiri tegak di belakangnya, menghormati tapi tidak tunduk. Bagi mereka, ini bukan hanya soal keberangkatan, melainkan awal dari perjalanan yang bisa saja menjadi jalan satu arah.
Raja Eltherion bangkit dari singgasananya. “Kalau begitu... pergilah. Tapi Elaria, satu hal terakhir.”
Elaria menatap lurus ke arah ayahnya.
“Berhati-hatilah. Dunia di luar tidak akan melihatmu sebagai bangsawan elf atau penjaga pohon suci. Mereka akan melihatmu sebagai... umpan, atau alat. Jangan terlalu mencolok. Demi keselamatanmu sendiri.”
Seketika sorot mata Elaria melunak. Ia mengangguk pelan. “Aku akan mengingatnya.”
Tanpa banyak kata lagi, mereka bertiga membalikkan badan. Langkah demi langkah menyusuri kembali lorong panjang, meninggalkan ruang tahta yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Begitu pintu besar tertutup di belakang mereka, gema pembicaraan kembali terdengar di dalam ruangan.
“Ini gila,” bisik salah satu tetua. “Seorang elf... mengikuti petualang bayangan itu? Ras kuno yang bahkan wajahnya pun tak diketahui?”
“Dia bukan elf, bukan manusia, bukan iblis. Kita bahkan belum tahu tujuannya!”
“Bagaimana kalau dia berbalik... menyerang Elaria? Atau menggunakan kekuatannya untuk sesuatu yang lebih buruk?”
Namun Raja Eltherion tidak bereaksi terhadap ketakutan mereka. Ia malah duduk kembali, lalu memandangi cahaya pohon Yggralim yang menembus atap ruangan.
“Apakah kalian lupa?” katanya akhirnya. “Makhluk seperti Skeleton Dragon bukan sesuatu yang bisa dikalahkan dengan mudah.”
Salah satu tetua menelan ludah. “Tapi... dia menghabisinya dalam sekali serang. Itu bukan kekuatan biasa.”
“Benar,” kata sang raja pelan. “Varthus memanggilnya dengan sihir darah, ritual terlarang yang butuh pengorbanan dan sihir tinggi. Biasanya, untuk mengalahkan satu makhluk itu, butuh party petualang Rank A atau B dengan formasi lengkap. Tapi makhluk itu... jatuh dalam satu tebasan.”
Suara dalam ruangan pelan-pelan meredup. Bahkan para tetua yang paling keras kepala tidak bisa membantah fakta itu.
“Jika ia menginginkan kehancuran,” lanjut Raja Eltherion, “sudah sejak kemarin kerajaan ini tinggal menjadi tumpukan abu.”
Mereka semua diam. Dalam sunyi itu, tersisa satu rasa yang perlahan tumbuh: keraguan yang bercampur dengan rasa ingin percaya.
Jauh di bawah permukaan tanah, di balik lorong-lorong bebatuan yang tak pernah melihat cahaya matahari, sebuah bangunan megah berdiri tersembunyi. Dindingnya penuh ukiran reruntuhan kuno, sementara suara logam beradu dan teriakan brutal menggema dari setiap sudut.
Inilah Underground Colosseum—tempat di mana kekejaman dianggap tontonan, dan kematian hanya bagian dari pertunjukan utama.
Di ruang pusat kendali, layar-layar sihir memperlihatkan berbagai gladiator yang sedang dilatih atau disiksa. Beberapa di antaranya manusia, sebagian lagi monster buas yang ditangkap dari perbatasan dunia. Tapi satu layar tetap gelap. Tertutup oleh lapisan segel dan rantai sihir.
Seorang pria tinggi dengan jubah ungu gelap dan kacamata tipis berdiri di hadapannya, senyum melengkung di bibir pucatnya. Ia adalah Daznareth, sang pemilik dan pencipta Underground Colosseum. Sosok di balik kekacauan ini. Ia menatap ke arah ruangan kecil yang tersembunyi jauh di dalam penjara bawah arena.
Ruangan itu sempit, nyaris kosong, hanya diterangi cahaya kristal merah yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di dalamnya, duduk bersimpuh seorang gadis dengan rantai hitam besar melilit tangan dan kakinya.
Rambut peraknya menjuntai acak-acakan, mata merahnya menyala samar dalam gelap. Kulitnya penuh luka dan goresan lama yang belum sembuh. Kedua tanduk di kepalanya tampak retak, seperti pernah dipatahkan dan tumbuh kembali secara paksa. Ia tidak mengenakan apa pun kecuali pakaian tempur compang-camping dan pelindung dada logam, layaknya seekor binatang yang dikurung.
Ravyn Draklith.
Separuh naga, separuh manusia. Makhluk hasil eksperimen terlarang—dan kartu AS dari Colosseum.
Daznareth melangkah mendekat, derap sepatunya menggema di lorong batu. Ia berhenti di balik jeruji besi yang dijaga dua penjaga berjubah. Matanya yang penuh obsesi menatap Ravyn seperti menatap karya seni yang belum selesai.
“Kau bisa mencium baunya, bukan?” bisiknya lembut namun menusuk. “Bau darah... rasa takut... dan kemarahan yang terpendam.”
Ravyn tidak menjawab. Tapi mata merahnya menatap balik, penuh kebencian. Giginya gemeretak, dan rantai di tangannya bergetar seolah merespons amarahnya.
Daznareth tersenyum lebih lebar. “Jangan khawatir. Waktunya akan segera tiba.”
Ia menyentuh dinding besi yang memisahkan mereka dengan lembut, seakan menyentuh kaca tempat memajang koleksi mahal.
“Dan saat hari itu datang… mengamuklah sepuasmu.”
Ia memutar badan perlahan, jubah ungunya mengepak ringan.
“Jadilah monster seperti yang selalu mereka takutkan.”
Langkahnya meninggalkan lorong, suara derap sepatunya memudar. Tapi Ravyn masih duduk di tempat, mata merahnya menyala lebih terang dari sebelumnya. Rantai di tubuhnya mulai bergetar, berderak seolah tahu... waktu pembantaian sudah dekat.
Dan di dalam bisunya, ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Tunggu saja, bajingan. Saat rantai ini putus... kau akan jadi yang pertama kulumat.”
Langit Sylvanhilm sore itu tertutup awan tipis, membiaskan cahaya matahari menjadi semburat emas yang lembut. Daun-daun pohon elf yang menjulang tinggi bergetar pelan, seolah ikut melepas kepergian tiga sosok yang berjalan menyusuri jalanan berbatu dari istana menuju gerbang kota.
Kurogane berjalan di depan, langkahnya tenang dan berat. Di sampingnya, Alya menyilangkan tangan dengan wajah datar, namun matanya terus mengawasi sekeliling. Sementara Elaria menyusul beberapa langkah di belakang, rambut peraknya tertiup angin, dan wajahnya tampak jauh lebih damai dibanding sebelumnya—meski baru saja membakar jembatan dengan bangsanya sendiri.
Mereka bertiga nyaris tak berbicara sejak keluar dari ruang tahta. Tapi saat menuruni tangga besar istana dan mulai menyusuri pusat kota Sylvanhilm yang ramai dengan pasar dan penduduk elf yang berbisik-bisik saat melihat mereka, Kurogane akhirnya memecah keheningan.
Tanpa menoleh, ia berbicara datar.
“...Apa kau benar-benar yakin dengan keputusanmu tadi, Elaria?”
Elaria tidak langsung menjawab. Hanya langkahnya yang melambat, sebelum akhirnya menyamakan posisi dengan Kurogane.
“Aku tahu ini sulit diterima,” gumamnya, suaranya nyaris tertelan oleh keramaian. “Tapi ya... Aku sudah yakin.”
Kurogane menoleh sedikit, menatapnya lewat helm hitam pekatnya. “Kau pelindung Yggralim. Seorang high elf yang dihormati. Dan sekarang kau memilih pergi bersama orang yang—di mata bangsamu sendiri—hanya bayangan tanpa identitas.”
“Dan aku tak pernah peduli soal identitas itu,” potong Elaria, lebih tajam dari sebelumnya. “Karena sedari awal, aku sendiri sudah hidup seperti outsider di negeri ini.”
Alya yang mendengarnya menoleh sekilas, ekspresi kaget itu tak sempat ia sembunyikan.
“Apa maksudmu?” tanya Kurogane.
Elaria tersenyum tipis, seperti menyembunyikan luka lama. “Aku mungkin bangsawan. Tapi semua yang kulakukan... semua yang kuperjuangkan, selalu dibandingkan. Dengan pendahuluku, dengan para leluhur, dengan legenda. Tak peduli sekuat apapun aku mencoba... aku selalu dinilai bukan dari siapa aku, tapi dari siapa aku seharusnya menjadi.”
Ia menghela napas. “Jadi... jika aku harus hidup sebagai outsider untuk menemukan jalanku sendiri, maka biarlah begitu.”
Kurogane menatapnya beberapa saat, lalu kembali melangkah tanpa berkata apa-apa. Tapi dalam diamnya, ada rasa hormat yang bertambah dalam terhadap Elaria.
Tak lama kemudian mereka melewati gerbang kota Sylvanhilm. Penjaga-penjaga elf hanya mengangguk kaku, dan beberapa bahkan memalingkan wajah, pura-pura tidak mengenali Elaria.
Saat mereka melangkah masuk ke hutan luar kerajaan, aroma tanah lembap dan angin pegunungan menyambut langkah mereka. Daun-daun tipis berguguran pelan, menciptakan irama tenang yang kontras dengan konflik yang baru saja terjadi.
Elaria mempercepat langkahnya hingga sejajar lagi dengan Kurogane.
“Ngomong-ngomong... aku baru saja menerima informasi soal Underground Colosseum,” ucapnya, mengubah topik.
Alya mengangkat alis. “Dari siapa? Kita belum meninggalkan kota.”
“Salah satu familiarku mengawasi jaringan komunikasi astral di istana,” jawab Elaria ringan, seakan itu hal biasa. “Informasinya jelas. Event itu akan segera dimulai... dan tempatnya bukan di negara ini.”
Kurogane menoleh. “Di mana?”
“Di wilayah kerajaan barat,” jawab Elaria pelan, suaranya kini serius. “Tepatnya, di bawah tanah. Bangunan lama yang sudah diubah menjadi arena pertumpahan darah. Tempat di mana hukum tidak berlaku, dan kehidupan hanya jadi taruhan.”
Alya mendecak pelan. “Tentu saja tempat macam itu berada di barat. Aku benci daerah itu... penuh dengan bajingan licik dan politik murahan.”
Elaria mengangguk. “Dan yang mengerikan bukan hanya tempatnya... tapi siapa yang menontonnya. Banyak bangsawan, pedagang senjata, bahkan okultis dari dunia bawah akan hadir. Karena itulah, jika Kurogane benar dijadikan main event... ini bukan sekadar jebakan. Ini sebuah deklarasi.”
Langkah Kurogane terhenti sesaat. Di bawah helm hitamnya, matanya menyipit.
“Kalau begitu,” ucapnya dingin. “Kita datangi mereka lebih dulu. Sebelum mereka menjemput maut mereka sendiri.”
Perjalanan menuju wilayah barat tidak mudah. Jalur tercepat yang ditunjukkan oleh peta tua yang mereka temukan di ruang penyimpanan istana Sylvanhilm membawa mereka menyusuri jalur pegunungan kecil, lalu masuk ke hutan lebat yang nyaris tidak terjamah selama berabad-abad.
Elaria yang memegang peta itu terus berjalan sambil bergumam sendiri, sesekali menyilangkan jarinya di udara, menggambar simbol-simbol sihir kecil untuk memastikan arah mereka tidak menyimpang dari lintasan leyline—garis aliran mana bumi yang tersembunyi.
“Kalau kita terus mengikuti jalur ini, kita akan mencapai reruntuhan kuil tua sebelum senja,” ucap Elaria sambil melihat ke arah matahari yang mulai condong ke barat.
“Dan setelah itu?” tanya Alya, menyusul di sampingnya dengan langkah ringan.
“Kita bisa mendirikan kemah di dekat sungai. Tempatnya terbuka dan cukup aman dari monster malam,” jawab Elaria dengan nada tenang.
Kurogane mengikuti dari belakang, tidak banyak bicara seperti biasa, hanya mengangguk pelan sesekali sambil menendang ranting atau mengamati sekeliling dengan insting pertarungan yang tajam.
Saat senja mulai menelan langit dan kabut tipis mulai turun dari pepohonan, mereka akhirnya tiba di tempat yang disebut Elaria: sebuah padang kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, dengan aliran sungai kecil yang jernih mengalir di tepinya.
“Baik, kita bermalam di sini,” ujar Elaria sambil menepuk tangan.
Ia lalu mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi dan mulai merapal mantra. Aura biru dingin mulai membungkus udara, dan dalam hitungan detik, bongkahan es mulai muncul dari tanah. Terbentuklah sebuah... tenda mewah dari kristal es, dengan ukiran anggun seperti rumah bangsawan elf di negeri salju. Bahkan ada ukiran bunga-bunga dan simbol elf di atapnya.
“Voilà!” seru Elaria bangga, kedua tangannya di pinggang, kepala sedikit miring dengan senyum superior. “Aku menyebutnya Crystal Comfort V.2. Versi sebelumnya punya kebocoran suhu, tapi kali ini sudah kutingkatkan dengan lapisan isolasi mana.”
Alya menatap bangunan itu lama. Lalu menoleh ke Elaria. Lalu balik lagi ke bangunan itu. Napasnya keluar dalam uap tipis.
“...Kau serius?” tanyanya datar.
“Tentu saja. Ini jauh lebih nyaman daripada tidur di tanah—”
“INI TERBUAT DARI ES, GOBLOK!” bentak Alya. “Udah malem! Udara dingin! Dan kamu nyuruh kita tidur dalam... lemari pendingin raksasa?!”
Elaria tersentak. “Eh?! Tapi ini estetika! Lihat dong! Simetris! Bersinar lembut! Ada efek kabut kecil di atapnya!”
“Yang kabut itu bukan efek! Itu suhu NOL DERAJAT, Elaria!”
Mereka berdua saling dorong. Elaria membela diri dengan jargon-jargon teknis sihir yang nggak dimengerti siapa pun, sementara Alya membalas dengan gaya barbar “lebih baik tidur di tanah pakai karung kentang daripada beku hidup-hidup.”
Suasana makin panas... atau dingin—tergantung sudut pandang—hingga akhirnya...
“Zzzzz...”
Mereka berdua menoleh.
Di pojok lapangan, Kurogane sudah mendirikan tendanya sendiri. Model biasa. Warna gelap. Bahan kanvas anti air. Tidak ada ukiran. Tidak ada sihir. Dan yang paling menyebalkan... dia sudah tidur.
Benar-benar tidur.
Posisinya tengkurap dengan tangan di bawah helmnya, tubuhnya naik-turun pelan dalam ritme napas santai. Bahkan... ada suara dengkuran halus dari dalam armor hitam itu.
Alya dan Elaria hanya berdiri terpaku. Hening. Lalu saling pandang.
“...Aku tidur di tenda Kurogane aja,” gumam Alya.
“Tidak! Aku juga ikut!” Elaria protes.
“Mana bisa bertiga?!”
“Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak bisa?!”
“Karena aku duluan yang bilang!”
“Jangan-jangan kamu juga pengen suhu tubuh Kurogane ya?! Dasar manusia haus kehangatan!”
“Terserah! Yang penting aku gak mau tidur di lemari es-mu!”
Perdebatan kembali meledak. Tapi apapun hasilnya malam itu, satu hal jelas: Crystal Comfort V.2 berakhir sebagai hiasan tak berguna di pinggir sungai, sementara dua heroine bertengkar seperti anak kecil soal siapa yang boleh ‘nebeng’ tenda antihero cuek yang udah tidur sejak awal.
Pagi hari datang bersama kabut tipis yang melayang di antara pepohonan hutan. Cahaya matahari menembus sela-sela daun, menciptakan pantulan lembut di atas embun yang menggantung di rerumputan.
Di antara tiga tenda yang berdiri melingkar seperti formasi sederhana, dua suara lirih terdengar hampir bersamaan.
“...Hnghh... apa itu baunya...?”
“Ugh... lapar...”
Alya dan Elaria keluar dari tenda masing-masing dengan langkah gontai, rambut sedikit berantakan, dan mata masih setengah tertutup. Elaria bahkan masih memeluk bantal tipisnya sambil berjalan seperti hantu yang baru bangun dari tidur panjang.
Suara percikan api dan aroma gurih yang menggoda segera memandu mereka ke sumber dari semua keanehan ini.
Kurogane duduk santai di tepi sungai, helmnya sedikit miring ke belakang, memperlihatkan bagian leher armor yang terbuka sebagian. Di depannya, ada tongkat pancing kayu sederhana yang ia tancapkan ke tanah, tali pancing membentang tenang di atas aliran sungai. Di sisi lain, beberapa ikan sudah tertusuk rapi di atas perapian kecil, kulitnya mengilap dengan minyak alami dan aroma daging yang mulai matang sempurna.
“Oh, kalian udah bangun,” kata Kurogane tanpa menoleh. Suaranya terdengar stabil, nyaris tanpa emosi, tapi cukup jelas untuk menyampaikan maksud.
“Ini... kamu yang bikin semua?” tanya Alya masih setengah ngantuk, tapi perlahan-lahan matanya terbuka lebar melihat ikan-ikan panggang yang mulai melelehkan lemak ke bara api.
“Ya. Aku bangun lebih awal. Sungainya banyak ikan. Daripada cuma duduk, kupikir kenapa nggak sekalian...” jawab Kurogane, lalu menarik pancingnya tiba-tiba.
Srak!
Seekor ikan besar melompat keluar dari air. Dalam gerakan cepat, Kurogane mengayunkan pancingannya ke belakang, ikan itu mendarat tepat di ember kayu yang ia siapkan. Satu gerakan, satu tangkapan. Simpel, efisien, nyaris seperti ritual harian.
“Kalau kalian lapar, makan aja dulu,” ujarnya santai sambil kembali mempersiapkan umpan.
Alya dan Elaria saling pandang, lalu tanpa banyak bicara, mereka duduk di sekitar api unggun dan mengambil ikan masing-masing. Saat gigi pertama masuk ke mulut mereka... ekspresinya berubah total.
“...Uwaaah! Ini enak banget!” Alya memekik kecil.
Elaria yang biasanya lebih kalem pun mengangguk cepat. “Teksturnya... renyah di luar, lembut di dalam... Kamu—kamu beneran yang masak ini, Kurogane?”
“Hmm. Dulu pernah belajar sendiri di hutan.” Jawaban yang singkat, seperti biasa. Tapi cukup membuat dua heroine menatapnya dengan ekspresi campuran antara kagum dan bingung.
Mereka makan dalam diam sejenak, hanya suara gemeretak ikan dan nyala api yang mengiringi pagi itu.
Namun setelah beberapa gigitan, Alya memecah keheningan.
“...Tau nggak, kadang aku mikir, dia tuh... aneh.”
Elaria menoleh. “Maksudmu Kurogane?”
Alya mengangguk pelan. “Iya. Maksudku, dia outsider... kayak kita. Tapi bisa hidup seenaknya. Tidur nyenyak, masak enak, nggak pernah panik, nggak pernah marah. Kayak dia udah... terbiasa ditinggalin dunia.”
Elaria menatap Kurogane dari jauh, pria bayangan berarmor yang tampak begitu damai memancing di pinggir sungai seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Tapi justru itulah yang membuatnya terasa... sunyi.
“Bukan karena dia nggak merasa sakit,” kata Elaria perlahan. “Tapi karena dia sudah... berdamai. Atau setidaknya, pura-pura berdamai. Orang seperti dia... bukan nggak terluka. Justru dia menyimpan semuanya sendiri.”
Alya terdiam. Ia menunduk, memeluk lututnya sambil memikirkan kata-kata Elaria.
“Mungkin itu juga kenapa aku bisa... percaya dia,” gumamnya, pelan nyaris tak terdengar.
Elaria menoleh, sedikit terkejut. Tapi ia tidak menanggapi. Karena dalam hatinya sendiri pun, perasaan yang sama mulai tumbuh, pelan-pelan tapi pasti, seperti kabut pagi yang menutup hutan—tenang, tak terlihat, namun meresap ke dalam segalanya.
Dan di tengah keheningan itu, terdengar lagi suara kail yang ditarik dari sungai.
Srash!
“Dapat lagi,” gumam Kurogane.
“...Dasar monster,” kata Alya pelan, lalu terkikik sendiri.
“Monster favorit kita,” Elaria menimpali dengan senyum tipis.
Mereka berdua tertawa kecil.
Pagi itu mungkin sederhana. Tapi bagi mereka bertiga, ini adalah awal dari sesuatu yang baru—hubungan yang perlahan tumbuh di antara rasa asing, luka masa lalu, dan kehangatan yang perlahan mulai terasa nyata.
Langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga kemerahan, saat tiga sosok melintasi jalan setapak yang membelah hutan. Pepohonan mulai berganti, dari cemara liar menjadi pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang. Suasana di wilayah barat terasa berbeda—udara lebih kering, lebih hangat, dan aroma rumputnya membawa jejak aktivitas manusia.
Di kejauhan, bayangan bangunan batu dan menara-menara tinggi mulai terlihat samar di balik pegunungan. Perjalanan mereka kini mulai mendekati wilayah yang disebut-sebut oleh Elaria.
“Kalau kita terus ke barat lewat jalan ini,” ujar Elaria sambil membuka gulungan peta tua yang terikat dengan segel elven. “Kita akan sampai di Kerajaan Veldenze. Salah satu pusat perdagangan terbesar di wilayah barat benua.”
Kurogane berjalan di depan, tatapannya lurus ke arah cakrawala. Alya di belakangnya, melirik ke arah peta lalu mengangkat alis. “Veldenze...? Itu yang dikenal sebagai ‘Kota Perdagangan Lima Pilar’, kan? Tempat yang ekonominya bisa nyamain ibukota?”
Elaria mengangguk. “Benar. Dan di situlah rumor mengenai Underground Colosseum paling banyak terdengar. Bukan cuma rumor… aku dapat informasi langsung dari jaringan elven—tempat itu memang eksis. Dan lebih parahnya, bukan hanya sekadar tempat judi bawah tanah biasa.”
Alya mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
“Itu adalah arena lama, dulunya dibangun sebagai sarana pelatihan militer Veldenze. Tapi setelah tidak dipakai, tempat itu dibiarkan terbengkalai. Sampai akhirnya... sebuah organisasi kriminal besar mengambil alih dan menyulapnya menjadi arena pertarungan ilegal. Tanpa peraturan. Tanpa batasan. Dan tanpa belas kasihan.”
Kurogane menoleh sedikit ke belakang, suara beratnya menyela. “Kalau memang sebrutal itu... kenapa pihak kerajaan Veldenze nggak bergerak?”
Alya mengangguk cepat, mempertanyakan hal yang sama. “Iya. Maksudku, kalau ekonominya sebagus yang dibilang, bukankah mereka seharusnya punya pasukan cukup untuk menutup arena kayak begitu?”
Elaria menarik napas panjang. Ia menggulung kembali petanya dan menatap keduanya bergantian.
“Karena mereka tidak bisa,” jawabnya pelan. “Lebih tepatnya... mereka tidak boleh.”
Alya menatap tajam. “Apa maksudmu?”
“Organisasi kriminal yang mengelola Underground Colosseum itu... punya backing politik,” jelas Elaria dengan nada serius. “Seseorang dari dalam istana sendiri—seorang bangsawan berpengaruh yang duduk sebagai penasihat ekonomi kerajaan. Ia punya kekuasaan untuk memanipulasi dokumen, menyembunyikan aktivitas, bahkan mengalihkan perhatian pihak istana ke urusan lain.”
“...Dan tak ada yang curiga?” tanya Kurogane, masih dengan nada datar tapi tajam.
“Bangsawan itu pintar. Ia tidak menunjukkan wajah asli di depan publik. Semua operasi dilakukan oleh anak buah dan perantara bayaran. Bahkan raja sendiri tidak sadar bahwa bagian bawah tanah dari kerajaannya sudah dijadikan arena darah.”
Alya mendecak kesal. “Kalau begitu, arena itu bakal terus berdiri selama si baj*ngan itu masih punya jabatan dan topeng yang dia pakai nggak jatuh.”
“...Tepat,” Elaria menatap ke depan, matanya tajam seolah menusuk cakrawala. “Itulah kenapa tidak bisa ada gerakan terang-terangan. Karena kalau sampai identitas bangsawan itu terungkap, seluruh kredibilitas Veldenze bisa runtuh. Dan kalau itu terjadi... bukan hanya mereka, tapi semua kerajaan yang bersekutu dengan Veldenze juga ikut terguncang.”
Kurogane terdiam beberapa langkah. Suara langkah kakinya di atas tanah berbatu terdengar jelas di antara jeda percakapan. Lalu, dengan suara rendah ia berkata,
“Jadi... kita harus masuk, cari bukti, lalu hancurkan sistem dari dalam?”
Elaria tersenyum tipis, angin sore meniup rambut peraknya. “Persis seperti itu, Kurogane-san.”
Alya menoleh ke arah Kurogane. “Kita bener-bener udah terjun ke masalah negara sekarang ya?”
“Dari awal kita udah nggak bisa balik ke kehidupan biasa,” jawab Kurogane tenang. “Jadi setidaknya, kalau harus menendang, tendanglah yang paling tinggi.”
“...Dan paling menyebalkan,” Elaria menambahkan.
Ketiganya melangkah lebih cepat, menyusuri jalur menurun yang mulai memperlihatkan siluet kota Veldenze di kejauhan—bangunan-bangunan megah dengan lapisan kaca sihir, menara dagang, dan pusat transportasi kuda terbang yang bergerak lincah di langit.
Tapi yang tak terlihat dari permukaan itu... adalah dunia lain di bawah kaki mereka. Dunia yang penuh darah, taruhan, dan binatang buas... yang tak sabar ingin dilepas dari rantainya.
Cahaya mentari sore memantul dari atap-atap bangunan kota yang menjulang tinggi di balik cakrawala. Veldenze—Kota Lima Pilar, permata perdagangan wilayah barat—akhirnya muncul di depan mata. Megah, sibuk, dan penuh kehidupan. Dari kejauhan, tembok luarnya yang tebal dan menjulang terlihat seperti benteng yang membatasi dunia kemewahan dan dunia luar yang liar.
Kurogane, Alya, dan Elaria berdiri di atas bukit rendah yang mengarah langsung ke jalan utama menuju gerbang kota. Di sepanjang jalan berbatu yang kini ramai oleh lalu-lalang para pedagang, petualang, serta karavan barang, mereka melihat antrian panjang yang perlahan bergerak menuju pintu masuk.
“Kita ikut saja masuk lewat jalur umum,” ucap Alya sambil menghela napas panjang. “Kalau kita bikin jalur sendiri, malah makin mencurigakan.”
Elaria mengangguk pelan, matanya tetap menatap megahnya kota di kejauhan.
Namun sebelum mereka bergabung dengan arus manusia yang ramai, Kurogane menghampiri Elaria dan berdiri di depannya.
“Elaria,” panggilnya pendek.
Gadis elf itu menoleh. Kurogane mengulurkan tangan, mengambil tudung dari jubah Elaria yang terurai di punggungnya, lalu menariknya perlahan ke atas kepala hingga menutupi rambut dan telinga runcing khas elf.
“...Lebih baik jangan menarik perhatian dulu. Kota seperti ini... tidak ramah pada orang sepertimu.”
Elaria menatapnya, lalu tersenyum tipis. Ada kekesalan samar di balik matanya, tapi ia tahu Kurogane tidak salah. Maka ia hanya mengangguk pelan. “Terima kasih... Kurogane-san.”
“Yuk,” Alya menyela dengan sedikit cemberut. “Sebelum langit beneran gelap dan penginapan jadi penuh.”
Mereka bertiga berjalan menuruni jalan setapak, lalu bergabung dengan kerumunan yang bergerak perlahan menuju gerbang besar Veldenze. Sepanjang perjalanan, suara para pedagang, derap kaki kuda, serta musik dari pengamen jalanan berpadu menciptakan simfoni sibuk khas kota besar. Gerbang utama dijaga oleh empat penjaga kerajaan dengan armor berkilau dan lambang singa emas di dada mereka.
Setelah pemeriksaan sederhana—berupa pertanyaan asal, tujuan, dan beberapa koin pajak masuk—mereka diizinkan lewat tanpa masalah berarti.
Begitu melangkah melewati gerbang batu, dunia di dalamnya langsung menelan mereka dalam lautan warna dan suara.
Bangunan-bangunan dari batu marmer dan kayu hitam berjajar rapi, dihiasi kain-kain sutra yang menggantung dari atap ke atap. Jalanan lebar dipenuhi kereta dagang, anak-anak yang berlarian, dan wanita-wanita bangsawan yang berjalan anggun sambil diiringi pelayan mereka. Di udara, aroma masakan dari berbagai dunia bercampur—rempah hangat, daging panggang, dan manisan buah kering.
Namun pesona kota itu hanya berlangsung sekejap sebelum pemandangan lain mencuri perhatian Elaria.
Di sisi kiri jalan, di bawah naungan balkon besar salah satu rumah bangsawan, berdiri beberapa elf muda. Tubuh mereka kurus dan tampak kelelahan. Di leher mereka tergantung rantai logam. Sementara seorang pria bertubuh gemuk dengan pakaian kebesaran berbahan sutra berteriak-teriak, memerintahkan mereka untuk mengangkat peti-peti berat ke atas kereta.
“Cepat! Dasar lamban! Kau pikir makananmu gratis?!”
Satu elf perempuan tersandung dan jatuh. Sebuah cambuk segera menghantam punggungnya, diiringi tawa kasar dari pria yang berdiri di belakangnya.
Elaria berhenti. Tangan kanannya mulai bergerak perlahan, membentuk segel sihir tipikal cryomancer tingkat atas. Ujung jari-jarinya membeku, kristal es mulai terbentuk di sekitar telapak tangannya. Matanya menyala tajam, penuh murka.
Alya yang baru sadar menoleh kaget. “Elaria, jangan—!”
Namun seseorang lebih cepat.
Sebuah tangan besar dan kuat menepuk lembut pundak Elaria dari belakang.
Kurogane.
Elaria tersentak. Ia menoleh dan menatap wajah gelap Kurogane yang tak memperlihatkan ekspresi apapun di balik helm bayangannya. Tapi dari sorot matanya... ada peringatan. Ada kepedulian. Dan ada tekad.
“Bukan di sini,” ujarnya pelan.
Elaria membuka mulut, ingin protes, namun tertahan. Dadanya bergemuruh oleh emosi yang tertahan, tapi tangan yang menahan pundaknya terasa berat... dan hangat.
Kurogane menambahkan, masih dengan nada tenang. “Selama aku masih berdiri... tidak akan ada satu pun yang menyentuhmu. Atau Alya.”
Kalimat itu menembus dinding kemarahan yang hampir membutakannya.
Elaria akhirnya menarik napas panjang, lalu mengepalkan tangan dinginnya dan membiarkan kristal-kristal es itu menghilang perlahan.
Alya ikut berdiri di sisi mereka, matanya menatap tajam ke arah para bangsawan yang tertawa tanpa tahu bahwa mereka sedang diawasi oleh orang-orang yang tak akan diam selamanya.
“Kita punya misi,” kata Alya. “Kalau kita meledak sekarang, kita bahkan belum bisa menggali ke bawah tanahnya.”
Elaria mengangguk pelan. “...Benar.”
Kurogane kembali melangkah. “Ayo cari tempat tinggal dulu. Kita akan mulai cari jejak Colosseum... malam ini.”
Tiga outsider itu kembali bergerak menyusuri jalanan kota yang tak pernah tidur—tapi dari bayangan langkah mereka, telah lahir bisikan perlawanan yang akan menyalakan api di bawah tanah.
Langit kota Veldenze mulai berubah jingga ketika Kurogane, Alya, dan Elaria tiba di depan bangunan besar berbentuk kubus dengan dinding batu kelabu dan lambang pedang bersilang di atas pintu masuknya.
Guild Petualang Cabang Veldenze—tempat berkumpulnya petualang dari berbagai latar belakang dan tujuan. Dari luar, suara tawa keras, gelas bersentuhan, serta sorakan petualang yang baru kembali dari misi bisa terdengar menggema.
“Yakin mau daftarin aku sekarang?” tanya Elaria, menatap papan nama besar di atas pintu masuk.
“Kau butuh identitas kalau mau bertahan di kota ini,” jawab Kurogane sambil mendorong pelan pintu masuk.
Begitu mereka bertiga melangkah masuk, atmosfer panas dan bising langsung menyambut. Di dalamnya, puluhan petualang sibuk berkumpul, beberapa memamerkan hasil buruan, sebagian berteriak-teriak meminta gaji dari misi sebelumnya, dan sisanya... sekadar mabuk sambil berjudi.
Mereka berjalan melewati beberapa meja panjang dan petualang-petualang kasar yang mengamati mereka penuh rasa ingin tahu. Banyak dari mereka yang langsung terpaku ketika melihat sosok Elaria yang elegan—terbungkus jubah tapi tetap memancarkan aura bangsawan yang sulit ditutupi.
“Resepsionisnya di sana,” kata Alya sembari menunjuk meja kayu panjang dengan beberapa staf wanita berjaga di baliknya.
Mereka mendekat. Salah satu resepsionis, wanita muda berambut pirang dengan seragam biru khas guild, menyambut dengan senyum profesional.
“Selamat datang di Guild Petualang Cabang Veldenze. Ada yang bisa saya bantu?”
Kurogane maju satu langkah. “Kami ingin mendaftarkan satu anggota baru... namanya Elaria. Sekaligus, setelah ID-nya selesai, dia akan masuk ke dalam party kami. Nama party-nya: Black Fang.”
Resepsionis itu mengangguk, mengambil formulir dan sebuah kristal identifikasi.
“Kalau begitu, mohon Elaria-san bisa menempelkan tangannya di atas kristal ini. Sistem akan membaca mana dan identitas dasarnya.”
Elaria melakukannya tanpa ragu. Kilatan cahaya biru muncul sejenak, lalu kristal itu menyimpan data sihir khasnya.
“Semuanya sudah lengkap,” ujar resepsionis. “Butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk mencetak Adventurer ID-nya. Selama itu, kalian boleh menunggu di area umum atau menggunakan ruang lounge di lantai dua jika ingin privasi lebih.”
“Di sini saja,” jawab Kurogane. Ia memutuskan untuk tetap di area umum—karena lebih mudah mengamati keadaan sekitar.
Namun ternyata, niat menunggu dengan tenang tidak berlangsung lama.
Belum sampai sepuluh menit berlalu, empat orang petualang dari meja samping mulai mendekat. Mereka tampak mabuk ringan, dengan baju armor kusut dan ekspresi menjijikkan menghiasi wajah mereka.
Salah satu dari mereka—tinggi besar dengan rambut cokelat gimbal dan bekas luka di wajah—menyeringai sambil melirik ke arah Elaria. “Wih... manis juga yang ini. Baru ya? Kayaknya belum pernah kulihat.”
Temannya tertawa. “Liat cara dia jalan... kayak elf. Tapi masa iya elf ada di tempat beginian?”