Suasana pagi di kota Veldenze terasa damai. Di luar, cahaya matahari menembus lembut lewat celah tirai jendela, menari-nari di atas lantai kayu kamar penginapan. Aroma sup hangat dan teh herbal memenuhi udara, mengusir dingin sisa malam yang menggantung.
Di sudut ranjang, Ravyn duduk bersandar, rambut peraknya yang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya. Armor tempurnya sudah dilepas, digantikan oleh pakaian tidur Guild yang sederhana—meski tetap terlihat kontras dengan tanduk hitam dan tatapan merahnya yang khas. Namun pagi ini, ada yang berbeda dari matanya. Tak ada api. Tak ada amarah. Hanya... kelelahan.
Di hadapannya, sepiring roti hangat, semangkuk sup berisi daging dan sayur, dan secangkir teh herbal yang mengepul. Disajikan oleh satu-satunya pria yang ia biarkan berada sedekat ini: Kurogane.
"…Makanlah sebelum dingin."
Suara itu tenang, dalam, namun tidak terdengar dingin. Justru... hangat. Sehangat uap sup yang mengepul pelan dari mangkuk kayu.
Ravyn menatapnya sejenak. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sendok, meniupnya perlahan, dan mulai menyuap sup itu ke mulut. Rasa asin dan gurih yang sederhana, tapi menenangkan. Di tengah suap ketiga, matanya mulai berkaca-kaca.
“…Kenapa kamu begitu baik padaku…?” bisiknya lirih, tanpa menatap.
Kurogane hanya duduk di kursi seberangnya. Sosoknya seperti bayangan besar berselimut kabut, tidak menunjukkan wajah, hanya pantulan samar dari armor hitam yang menyatu dengan tubuhnya. Tapi dari sikapnya—diam, sabar, tidak menghakimi—Ravyn merasa... diterima.
Setelah beberapa menit hanya ditemani suara sendok menyentuh mangkuk, Ravyn akhirnya berhenti. Ia menatap jendela yang sedikit terbuka, di mana cahaya matahari membentuk pola di lantai. Lalu, suaranya terdengar lagi. Pelan, namun jelas.
“Aku benci darah naga di tubuhku…”
Kurogane tidak menyela. Ia hanya menoleh sedikit, memberi ruang.
Ravyn menghela napas. Tangannya menggenggam erat cangkir teh herbal yang belum disentuhnya.
“Aku tidak pernah memilih lahir sebagai ini. Sebagai makhluk setengah naga. Aku bukan pahlawan. Bukan monster. Hanya... kesalahan eksperimen yang kabur dari tempat di mana tubuhku dijadikan alat.”
Suara itu gemetar. Tapi bukan karena takut. Tapi karena mengingat.
“Aku lahir dari rahim manusia... tapi ayahku, kalau bisa disebut begitu, adalah salah satu dari Naga Hitam Kuno. Mereka menjadikanku percobaan—menggabungkan kekuatan naga dengan tubuh manusia. Mereka ingin menciptakan senjata hidup. Prajurit sempurna.”
Ia tertawa kecil, getir. “Sempurna katanya... tapi apa gunanya menjadi sempurna kalau aku bahkan tidak tahu siapa diriku?”
Kurogane menggerakkan sedikit tangannya, meletakkan satu jari di atas meja. Tidak menyentuh Ravyn, tapi cukup dekat untuk terasa kehadirannya. Seolah berkata, aku di sini. Teruskan jika kau siap.
“…Saat kecil, aku membakar segalanya. Tanpa sadar. Rumah. Orang-orang. Bahkan ibuku... Dia berusaha memelukku ketika aku mengamuk. Tapi api naga di dalamku... menghancurkannya.”
Kurogane mendengar suara detak jantungnya sendiri menjadi berat.
Ravyn akhirnya menatapnya—mata merahnya tidak lagi menantang seperti biasa. Tapi penuh luka.
“Sejak itu aku lari. Dari semua orang. Dari diriku sendiri. Menjadi petarung. Menjadi Ravyn Draklith si brutal, si pemarah, si berbahaya… karena itu lebih mudah daripada mengakui bahwa aku hanyalah gadis kecil yang kesepian.”
Keheningan kembali menyelimuti kamar.
Lalu... suara lembut tapi tegas memecahnya.
“Dan sekarang... kau duduk di sini. Makan sup yang kubuat. Memilih untuk tidak membakar kamar ini. Itu bukan hal kecil, Ravyn.”
Kurogane mencondongkan tubuh sedikit. Suaranya tetap tenang, tapi penuh makna.
“Aku tidak tahu rasa sakitmu. Tapi aku tahu... kau lebih dari hasil eksperimen. Kau Ravyn. Bukan naga. Bukan senjata. Kau yang memilih menjadi dirimu sekarang.”
Ravyn terdiam.
Tetes air mata jatuh ke atas roti yang belum sempat ia gigit.
“…Bodoh.” gumamnya, suara parau menahan tangis. “Kau terlalu lembut untuk makhluk sekelam bayangan.”
Kurogane tidak menjawab. Ia hanya berdiri perlahan, lalu mengambil cangkir teh Ravyn dan menggantinya dengan yang baru dari termos kecil di pojok meja.
“Minumlah sebelum dingin,” ucapnya lagi.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu… Ravyn tersenyum kecil.
Bukan karena dia sudah sembuh. Tapi karena untuk pertama kalinya—dia tahu dia tidak sendirian.
Pagi itu, kamar penginapan Guild seolah menjadi ruang waktu yang terpisah dari dunia luar. Kehangatannya bukan semata karena sinar matahari yang masuk melalui jendela, atau karena aroma sup dan teh herbal yang masih menggantung di udara.
Ravyn menatap cangkir kosong di tangannya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama... tidak merasa terancam oleh keheningan. Dadanya yang biasanya sesak dengan amarah dan rasa takut kini terasa sedikit lebih lapang.
Entah karena sup hangat yang baru saja ia habiskan, atau... karena pria berarmor gelap yang masih berdiri di dekat jendela itu.
“Kurogane,” panggilnya pelan.
Pria itu menoleh sedikit.
“…Terima kasih. Untuk semuanya. Bukan cuma karena menyelamatkanku... tapi karena tidak memperlakukanku seperti monster.”
Kurogane tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk kecil. Tapi cukup untuk membuat pipi Ravyn sedikit memanas. Ia buru-buru mengalihkan pandangan.
Namun momen tenang itu tidak bertahan lama.
Braak!
Pintu kamar mereka tiba-tiba terbuka dengan kasar. Suara langkah tergesa menggema di dalam ruangan.
“Ada masalah!” suara Alya terdengar lebih tinggi dari biasanya, napasnya memburu.
Elaria masuk tepat di belakangnya, raut wajahnya datar seperti biasa, tapi mata biru es-nya tampak lebih tajam dari biasanya. Rambut peraknya sedikit berantakan, seolah ia terburu-buru tanpa sempat merapikannya.
“Kurogane, kalian harus melihat ini,” katanya cepat. “Kami tidak sempat menjelaskan—”
Dum... dum... dum...
Suara itu. Seperti langkah kaki. Tapi bukan satu atau dua orang.
Itu... ribuan.
Mereka semua terdiam. Lalu, hampir bersamaan, Kurogane, Alya, dan Elaria bergerak menuju jendela kamar. Ravyn juga bangkit dari tempat tidur, melangkah pelan dengan sisa tenaga.
Saat tirai tersibak, pemandangan di luar membuat mereka semua membelalak.
Dataran depan Guild Veldenze dipenuhi pasukan. Barisan prajurit berbaju zirah mengkilap berdiri rapi membentuk formasi setengah lingkaran. Bendera kerajaan berkibar di atas tiang-tiang yang dibawa para pengawal. Di tengah barisan itu, empat kereta kuda mewah terparkir sejajar, dan satu di antaranya—yang paling megah, berhias lambang singa bersayap emas—menjadi pusat perhatian.
Pintu kereta mewah itu terbuka.
Seorang pria mengenakan mantel bangsawan berbulu putih dan emas tidak keluar sendiri, tapi diwakili oleh seorang ajudan berjas resmi, membawa gulungan surat besar yang dibuka dengan elegan namun tergesa. Ia berdiri di hadapan seluruh Guild, lalu bersuara lantang:
“DENGARKAN, SELURUH ANGGOTA GUILD VELDENZE!”
Suara itu menggema hingga ke kamar mereka di lantai dua.
“Atas nama Yang Mulia Lord Gravius D'Argent, penguasa Veldenze dan penasihat utama mahkota Kerajaan Faldareth, kami meminta kehadiran seluruh anggota party yang dikenal dengan nama Black Fang untuk segera hadir di hadapan beliau!”
Ravyn menegang.
Alya mengumpat pelan. “Tch... Apa urusannya orang istana sama kita sekarang?”
Elaria tetap diam, namun pandangannya tak lepas dari kereta itu. “Lord Gravius sendiri datang langsung ke sini. Ini bukan hal sepele.”
Kurogane menatap ke luar jendela beberapa saat. Pasukan kerajaan memang tidak dalam posisi menyerang, tapi jumlah mereka cukup untuk mengepung Guild seandainya ada perlawanan.
“Aku akan pergi,” ucap Kurogane akhirnya. Suaranya pelan, tapi jelas.
Alya dan Elaria langsung menoleh padanya.
“Kita,” ralatnya. “Kita bertiga. Ravyn... tetap di sini dan beristirahat.”
“Apa?!” Ravyn spontan menolak. “Aku bisa ikut! Aku sudah—”
“Tidak,” potong Kurogane. Suaranya tidak keras, tapi cukup kuat untuk menghentikan Ravyn bicara.
“Tubuhmu masih belum pulih. Dan kalau ini jebakan... aku butuh kau tetap di belakang. Aman.”
Ravyn menggigit bibirnya. Ingin membantah. Tapi mata Kurogane menatapnya—meski ia tak memiliki wajah, Ravyn tahu betul sorotan itu serius, bukan karena meremehkannya... tapi karena ia peduli.
Alya meletakkan tangannya di bahu Ravyn. “Istirahatlah dulu. Biar kami urus yang ini. Kalau ternyata mereka macam-macam... kita kasih mereka pelajaran bareng nanti.”
Ravyn mendengus kecil. “…Kalau kalian mati, aku bakar seluruh kota ini.”
Elaria tersenyum tipis. “Simpan ancaman itu untuk musuh yang lebih besar, Nona Naga.”
Mereka bertiga melangkah keluar dari kamar.
Sementara itu, Ravyn duduk kembali di ranjang, menatap jendela dengan tatapan dalam. Tangannya tanpa sadar menggenggam erat selimut yang masih menyelimuti pahanya.
“…Jangan macam-macam, Kuro…”
Langkah-langkah berat mengiringi Kurogane, Alya, dan Elaria yang perlahan menuruni anak tangga Guild. Sorot mata puluhan prajurit langsung terarah pada mereka bertiga—seolah hanya dengan sedikit aba-aba, panah bisa meluncur kapan saja.
Di tengah kerumunan itu, berdiri sosok elegan berpakaian bangsawan dengan jubah panjang berwarna putih bersulam benang emas. Rambutnya terikat rapi ke belakang, dan janggut tipis menghiasi dagunya. Mata abu-abu itu menatap lurus ke arah Kurogane, penuh rasa ingin tahu yang menyusup halus di balik senyuman tenang.
“Jadi ini... Faceless itu,” ujar Lord Gravius D’Argent, seolah tengah menilai lukisan langka di galeri pribadi. “Untuk pertama kalinya aku melihat salah satu ras purba dengan mata kepalaku sendiri. Kau makhluk yang lebih... elegan dari cerita yang beredar.”
Kurogane tidak bereaksi. Diam, seperti biasa. Hanya tatapan hitam kosong dari helm bayangannya yang tertuju lurus pada Gravius.
Sang bangsawan mengangkat tangannya, seolah menawarkan sapaan yang ramah—tapi semua yang hadir bisa mencium aroma niat lain yang tersembunyi di baliknya.
“Namun, mari kita langsung ke pokok persoalan,” katanya, suaranya kini lebih berat, serius. “Aku datang bukan untuk berdebat tentang sejarah rasmu, Faceless. Aku datang untuk mengambil kembali apa yang seharusnya tidak pernah kabur dari kendali kerajaan.”
Ia melambaikan satu jari ke arah belakangnya. Seorang ajudan maju dan menyerahkan gulungan laporan yang tampak baru.
“Seekor makhluk liar,” lanjut Gravius, “telah melarikan diri dari area eksperimen rahasia milik kerajaan. Makhluk itu sekarang bersama kalian... Ia berwujud gadis. Tapi jangan salah menilainya karena wajah manis atau tubuh mudanya—di dalam dirinya mengalir darah naga. Murni. Berbahaya. Tidak stabil.”
Alya mendesis pelan. “Tentu saja yang kau maksud... Ravyn.”
“Benar,” jawab Gravius tanpa menutupi. “Makhluk itu sudah menyebabkan kekacauan saat eksperimen gagal. Dan kini, karena keberadaannya tidak terdeteksi oleh jaringan sihir kerajaan, kami mengira ia telah mati. Namun... ternyata ia hidup. Bersama kalian.”
Ia memberi isyarat dengan jari—dan para ksatria di belakangnya serentak menegakkan tombak.
“Kau tahu apa artinya ini, bukan? Veldenze dalam bahaya jika ia tetap dibiarkan lepas. Ia harus ditangkap, dibekukan, dan dikembalikan ke tempat yang seharusnya. Dan karena kalian tampaknya bukan pihak yang bermusuhan, maka aku memberi satu kesempatan.”
Gravius mendekat selangkah, dan kali ini senyumnya mengandung bau busuk kelicikan aristokrat kelas tinggi.
“Serahkan dia... dan sebagai gantinya, kalian akan menerima emas sebanyak tiga peti, status bangsawan kehormatan, dan kebebasan dari pajak selama tiga tahun. Tawaran yang... tidak semua petualang bisa dapatkan.”
Kurogane tetap diam. Tapi suasana di sekelilingnya mulai berubah.
Alya sudah mengepalkan tinjunya.
Elaria menoleh ke arah Kurogane. “Kalau kau bilang iya, aku akan membekukanmu di tempat.”
Kurogane akhirnya melangkah maju. Pelan... namun setiap langkahnya membawa tekanan yang terasa menghantam seperti palu.
“Dia bukan makhluk,” ucap Kurogane, suara bayangan itu tenang, namun tegas dan dingin.
Gravius menaikkan alis.
“Dia... gadis. Punya luka. Punya cerita. Dan... dia punya nama.” Kurogane berhenti tepat beberapa langkah dari sang bangsawan. “Ravyn. Namanya Ravyn. Dan aku tidak akan menyerahkan dia. Bukan karena harga, bukan karena kehormatan... tapi karena itu keputusan yang benar.”
Gravius tertawa kecil, meski jelas tidak menganggapnya lucu. “Kalian benar-benar ingin melindungi naga itu? Bahkan setelah tahu kebenarannya?”
“Tidak peduli dia naga, manusia, atau iblis,” ujar Alya lantang. “Dia rekan kami.”
“Dan temanku,” tambah Elaria, lembut namun sarat makna.
Sang bangsawan mendecak. “Sungguh disayangkan. Aku berharap tidak harus menggunakan kekerasan.”
Ia menoleh ke belakang. “Tangkap mereka semua jika perlu. Tapi pastikan si naga ditangkap hidup-hidup!”
Ratusan prajurit mulai bergerak, langkah serempak mereka mengguncang tanah. Kurogane dan kedua rekannya langsung memasang kuda-kuda. Aura sihir mulai membungkus tangan Elaria. Pedang Arclight Fang sudah di tangan Alya, bergetar dengan petir.
Tapi sebelum bentrok pecah—
Trompet berbunyi.
Satu suara panjang dan nyaring menghentikan semuanya. Semua kepala menoleh ke arah jalan utama kota.
Dan di sanalah ia datang.
Rombongan berkuda dengan bendera kerajaan utama. Penjaga berbaju zirah emas membuka jalan, dan di tengah-tengah rombongan itu, menunggangi kuda putih berbulu perak, tampak sosok pria muda dengan mahkota kecil di kepalanya dan jubah merah mengalir di belakangnya.
“Astaga…” gumam Alya. “Itu…”
Elaria mengangguk pelan. “Sang raja sendiri.”
Mata Gravius membelalak sejenak. “…Yang Mulia?”
Raja Faldareth sendiri, dengan wajah tenangnya yang muda namun mengandung wibawa, menghentikan kudanya tepat di depan seluruh kerumunan. Ia memandangi Kurogane, lalu menatap Gravius.
“Cukup... Gravius,” ucap sang raja, suaranya tenang namun menekan. “Aku akan mendengar sendiri... dari pihak mereka.”
Langit Veldenze masih redup, seolah ikut menahan napas bersama semua orang yang berada di depan bangunan Guild.
Begitu Raja Faldareth turun dari kudanya, keheningan mencekam langsung pecah oleh suara logam bergemerincing. Gravius adalah yang pertama menekuk lutut, diikuti seluruh prajurit kerajaan yang tanpa ragu langsung menjatuhkan tubuh mereka dalam sikap hormat. Petualang yang berkumpul di sekitar pun ikut menundukkan kepala, bahkan warga sipil yang tadinya hanya menonton kini ikut diam dalam posisi berlutut.
Semuanya—kecuali satu orang.
Kurogane tetap berdiri tegak, tak sedikit pun bergeming. Tubuh bayangan berarmor hitam itu hanya memandang lurus ke arah raja muda yang kini berdiri tidak jauh di depannya.
Alya yang ada di sebelahnya, masih dalam posisi berlutut, mencolek pelan jubah Kurogane. “Kurogane... berlututlah. Itu Raja.”
Elaria, dengan wajah sedikit cemas tapi suaranya tetap tenang, ikut berbisik. “Kita tidak boleh menyinggung kerajaan, bahkan jika kau Outsider. Ini protokol.”
Namun Kurogane tetap diam. Bukan karena keras kepala... tapi karena ia tidak pernah merasa pantas berlutut untuk siapa pun.
Yang mengejutkan, Raja Faldareth justru tersenyum tipis. Ia melangkah maju perlahan, lalu menoleh ke arah Gravius dan semua yang berlutut.
“Semua boleh berdiri,” ucapnya ringan, namun penuh otoritas. “Kecuali kau, Gravius. Kau tetap di bawah.”
Perintah itu diucapkan dengan nada lembut, tapi bagai cambuk yang menyambar punggung sang bangsawan. Gravius tidak bisa menahan diri untuk menelan ludahnya, wajahnya merah padam tapi ia tidak berani membantah.
Sang raja lalu memalingkan wajahnya ke arah Kurogane. Ia menatap helm hitam tak berwajah itu dengan ketenangan luar biasa, sebelum dengan pelan membungkukkan kepalanya sedikit.
“Sungguh suatu kehormatan... bisa bertemu dengan perwakilan ras Faceless. Ras yang selama ini hanya dianggap dongeng oleh banyak sarjana dan bangsawan sombong,” ujarnya, sekilas melempar pandangan sinis ke arah Gravius yang masih menunduk.
Kurogane sedikit tersentak, meski tak terlihat. Suara bayangan itu akhirnya terdengar, dalam dan berat.
“Yang Mulia tidak seharusnya menundukkan kepala... kepada Outsider sepertiku,” katanya.
Faldareth hanya menggeleng pelan, senyum kecilnya tak luntur. “Aku tidak melihatmu sebagai Outsider. Siapapun yang datang ke tanah ini dengan niat baik, akan kuterima sebagai tamu. Itulah yang diajarkan padaku oleh ayahku, dan itulah yang kupegang sebagai raja.”
Alya dan Elaria yang kini sudah berdiri hanya bisa menatap dengan rasa kagum. Bahkan Elaria sempat membisik, “Aku tak menyangka raja kita sebijak ini…”
Tapi Kurogane tidak langsung tersenyum atau bersikap ramah. Ia masih berdiri dengan aura bayangan yang tenang, namun kini terasa sedikit... menggelegak.
“Kau bilang... semua yang datang dengan niat baik akan diterima,” ujarnya pelan, matanya yang tak tampak kini menatap tajam ke satu arah. “Tapi... bagaimana jika niat baik itu... ternodai oleh seseorang?”
Ia menoleh—tepat ke arah Gravius.
Sang bangsawan masih menunduk, tapi tubuhnya tampak menegang.
Faldareth menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”
Kurogane tidak langsung menjawab. Ia mengangkat satu tangan, menunjuk ke arah Gravius.
“Seseorang yang menyebut teman kami ‘makhluk’. Yang mengusulkan barter nyawa dengan emas. Yang menganggap rasa takut lebih berharga daripada kepercayaan.” Suara Kurogane makin dalam, makin berat. “Jika ini bukan bentuk dari niat buruk... maka apa?”
Tangan Alya mengepal. Ia hampir saja menyela, tapi Elaria menyentuh bahunya, mengisyaratkan agar ia membiarkan Kurogane bicara.
Faldareth menatap Gravius yang masih tiarap seperti ular yang menyamar jadi kesatria. Raja muda itu menghela napas pelan.
“Gravius,” ucapnya. “Apa yang kau lakukan sebelum aku datang?”
Gravius menggigit bibirnya. “Saya... hanya menjalankan perintah, Yang Mulia. Makhluk itu... gadis bernama Ravyn... ia—”
“Sebut namanya sekali lagi tanpa rasa hormat, dan aku akan mencabut gelarmu di tempat,” ujar Faldareth tajam, kali ini tanpa senyum, tanpa basa-basi.
Gravius membisu. Bibirnya terkunci, dan beberapa prajurit di sekitarnya menunduk lebih dalam, takut terlibat.
Faldareth menoleh kembali ke Kurogane. “Aku ingin mendengar semuanya. Langsung dari kalian.”
Kurogane mengangguk pelan. Suasana mulai mencair... namun perang belum selesai.
Karena jauh di dalam Guild, sosok gadis bertanduk dengan mata merah menyala masih bersembunyi. Dan semua yang terjadi hari ini... hanyalah permulaan dari badai yang akan segera datang.
Raja Faldareth duduk di kursi kayu tinggi di ruang audiensi yang sementara disiapkan di dalam bangunan Guild. Cahaya matahari menembus jendela besar, memantulkan bayangan-bayangan panjang di dinding yang kini terasa lebih dingin daripada biasanya.
Gravius berdiri di sebelah kiri, wajahnya pucat, tubuhnya sedikit gemetar meski berusaha menyembunyikannya dengan sikap aristokrat.
Di sisi seberangnya, berdiri Kurogane, Alya, dan Elaria. Tiga petualang dengan latar belakang dan sikap berbeda, namun kini bersatu oleh satu hal—kebenaran yang harus dibongkar.
Faldareth bersandar, menatap mereka bertiga dengan mata tajam milik seorang raja yang sudah mencium bau busuk di sekitarnya sejak lama.
“Sekarang, katakan padaku... semuanya,” ujar sang raja dengan nada netral namun mengandung tekanan.
Kurogane melangkah maju. Suaranya terdengar tenang, namun tajam seperti bilah pedang hitam miliknya.
“Yang Mulia, semuanya dimulai dari satu malam... ketika organisasi kriminal yang tidak kami kenal menyerang kami di luar kota. Mereka tidak mencuri, tidak mengancam, tidak menuntut. Satu-satunya tujuan mereka... adalah menangkapku hidup-hidup.”
Faldareth mengangkat alis. “Menangkap seorang petualang? Berarti mereka dibayar. Oleh siapa?”
Kurogane menoleh pelan ke arah Gravius.
Alya melangkah maju kali ini, membuka gulungan kertas dari dalam tas kulitnya. “Kami mendapati petunjuk lebih dalam saat memasuki markas bawah tanah milik mereka... tempat yang dikenal sebagai Underground Colosseum.”
Elaria ikut maju, membuka satu gulungan dokumen tambahan yang tertulis dalam aksara resmi kerajaan. “Kami sempat menyusup saat terjadi kebakaran malam itu. Dari reruntuhan arsip yang sempat kami selamatkan... inilah yang kami temukan.”
Ia menyerahkan dokumen itu langsung kepada Raja Faldareth.
Faldareth mengambilnya perlahan, membaca lembar demi lembar. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya sedikit membesar saat melihat stempel dan tanda tangan di bawah dokumen-dokumen itu—atas nama Gravius D’Argent.
“Ini... adalah surat persetujuan pembebasan pajak, persetujuan penggunaan ruang bawah tanah kota untuk kepentingan pribadi, dan... bahkan pemberian status legal kepada ‘proyek pengendalian spesimen eksperimen’...?” gumam Faldareth lirih, nyaris tak percaya.
Gravius tampak panik, tapi belum sempat membuka mulut, Elaria menimpali tajam, “Kami juga menemukan surat undangan atas nama Kurogane yang ditandatangani oleh pemilik Underground Colosseum. Bukti bahwa ia memang dimanfaatkan untuk dijadikan atraksi. Semua ini bukan sekadar kesalahan... ini konspirasi.”
Alya menambahkan dengan suara gemetar menahan amarah, “Dan Ravyn... gadis yang kalian sebut sebagai ‘makhluk liar’... adalah korban eksperimen sihir dari tempat itu.”
Ruangan menjadi senyap. Hanya suara desiran napas dari para penjaga dan pejabat kerajaan yang terdengar.
Kurogane mengangguk pelan. “Ravyn... adalah campuran antara dua ras. Darah beastkin naga dan darah manusia mengalir bersamaan dalam dirinya. Kami menduga... pada awalnya darah naga mengambil dominasi. Namun seiring waktu, darah manusianya... mulai menuntut haknya. Sampai akhirnya, lahirlah suatu bentuk keseimbangan baru. Satu bentuk kehidupan yang langka... dan karenanya diburu.”
Faldareth bergumam, “Seseorang seperti itu... adalah anugerah, bukan kutukan.”
Kurogane melanjutkan, suaranya penuh keyakinan, “Tapi mereka... tidak melihatnya seperti itu. Mereka melihat Ravyn sebagai komoditas. Bukan individu. Jadi mereka mengeksperimenkannya, mengubahnya menjadi petarung liar. Dan ketika mulai khawatir aksi mereka akan diketahui oleh kerajaan... mereka membeli perlindungan dari seorang bangsawan yang... punya akses ke segala dokumen.”
Semuanya menoleh ke Gravius.
Gravius akhirnya kehilangan kendali. “Fitnah! Semua ini tidak berdasar! Mereka hanya petualang biasa, mungkin mereka yang membakar Colosseum untuk menghilangkan bukti kejahatan mereka sendiri!”
Namun suara Faldareth memotong tajam, lebih tajam dari pedang mana pun.
“Cukup.”
Suara itu menghentikan segalanya. Bahkan waktu terasa menahan napas.
“Kami menemukan bukti fisik, saksi mata, dan jejak tanda tanganmu di dokumen yang tak pernah kusetujui. Gravius D’Argent... kau bukan hanya menyalahgunakan kekuasaan. Kau mengkhianati tahta.”
Gravius mundur setapak, wajahnya memucat. Tapi Faldareth sudah berdiri.
“Prajurit. Tangkap dia. Segel semua propertinya. Dan mulai proses penyelidikan penuh.”
Tiga penjaga segera mencengkeram bahu Gravius yang menolak ditarik.
“Yang Mulia! Aku melakukannya demi stabilitas kota! Demi—”
“Demi egomu,” potong Faldareth. “Dan demi melindungi bisnismu dengan iblis-iblis bawah tanah.”
Kurogane hanya menatap Gravius tanpa emosi. Tak ada amarah. Hanya... kebenaran yang akhirnya menang.
Ketika Gravius diseret keluar, para petualang di luar gedung bersorak. Mereka tidak tahu semua detailnya, tapi mereka tahu bahwa untuk pertama kalinya... suara mereka didengar. Bahwa seseorang di kursi kekuasaan... berani mengambil sikap.
Dan di antara semua itu, Kurogane menoleh ke Elaria dan Alya.
“Aku bukan penyelamat,” ujarnya pelan. “Tapi aku juga bukan pion dari sistem rusak seperti ini.”
Alya tersenyum miring. “Sayangnya... kau baru saja menyelamatkan seluruh kota.”
Elaria ikut mengangguk. “Dan mungkin... mengubah arah sejarah kota ini.”
Kurogane terdiam sejenak. Lalu membisikkan satu kata yang hanya mereka berdua dengar.
“Bukan aku... tapi kita.”
Gravius telah diseret keluar dari ruangan, jejak langkah berat para prajurit menghilang perlahan di lorong Guild yang kini kembali hening. Yang tersisa hanyalah sisa ketegangan yang menggantung di udara, seperti kabut tipis yang belum sepenuhnya menghilang setelah hujan badai.
Raja Faldareth menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursi kayu tinggi yang disiapkan sementara oleh pihak Guild. Kursi itu mungkin tak semegah singgasananya di istana, namun saat ini, kata-katanya lebih berat daripada tahta manapun.
Ia menatap ketiganya—Kurogane, Alya, dan Elaria—dengan tatapan yang jauh lebih manusiawi daripada seorang penguasa.
“...Aku tidak tahu bagaimana membalas tindakan yang telah kalian lakukan hari ini,” ucapnya dengan suara rendah namun tulus. “Kalian bukan hanya mengungkap pengkhianatan. Kalian telah menyelamatkan wajah kerajaan ini sebelum benar-benar jatuh tercoreng di mata rakyatnya.”
Kurogane menggeleng pelan. “Yang Mulia tidak perlu berterima kasih,” ucapnya datar namun mantap. “Tapi... kalau boleh memberi satu saran.”
Faldareth mengangguk pelan, seolah siap menerima apapun yang keluar dari mulut sang petarung bayangan itu.
“Jangan biarkan ada lagi bangsawan korup seperti Gravius mengisi kursi pemerintahan. Tikus seperti dia... akan selalu mencari celah untuk membusukkan fondasi yang sudah lemah.”
Sang raja mengangkat kepalanya. Kali ini sorot matanya penuh tekad, bukan sekadar formalitas seorang raja.
“Atas nama Veldenze... aku berjanji,” ucapnya lantang. “Selama aku masih bernapas, tidak akan ada tikus kotor yang berkeliaran di ruang pengambilan keputusan. Aku bersumpah akan merombak setiap kursi, memeriksa setiap nama, dan menyapu bersih mereka yang menunggangi kekuasaan demi keserakahan.”
Seketika, suara para petualang dan staf Guild yang mendengar dari kejauhan terdengar bergemuruh pelan, sebuah reaksi spontan dari janji yang selama ini mereka nanti-nantikan.
Namun sebelum suasana benar-benar tenang...
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga di belakang. Suara itu datang dari lantai atas Guild.
Mereka semua menoleh serentak.
Ravyn berdiri di sana. Masih mengenakan pakaian yang dipinjami dari ruang medis Guild, rambut peraknya terurai, matanya yang merah redup menatap ke arah Kurogane.
Dengan langkah pelan, ia turun tangga satu per satu, sebelum akhirnya menghampiri mereka. Tidak ada yang menyuruh. Tidak ada yang menahan.
Saat ia berdiri di hadapan Kurogane, tatapan mata mereka bertemu. Tak ada kata-kata di antara mereka... namun pemahaman itu jelas.
Raja Faldareth melangkah maju. Ia menundukkan sedikit tubuhnya di hadapan Ravyn. Sebuah gerakan yang membuat banyak orang menahan napas.
“Putri naga... maafkan aku. Maafkan kami,” katanya pelan. “Negeri yang seharusnya kulindungi justru membiarkanmu disiksa, diperjualbelikan, dijadikan senjata. Aku tidak akan mengulang kesalahan itu.”
Ravyn terdiam. Ia menunduk, jemarinya saling menggenggam resah.
“Katakan saja. Apa yang kau inginkan. Sebagai raja, aku akan kabulkan permintaanmu sebagai bentuk permintaan maaf,” ujar Faldareth.
Hening sesaat. Semua mata tertuju padanya.
Ravyn mengangkat wajahnya, menatap ke arah Kurogane sejenak—tatapan yang lembut, namun penuh dengan keyakinan yang baru tumbuh.
Lalu ia menoleh pada raja.
“Aku ingin... menjadi petualang,” katanya dengan suara kecil. “Dan aku ingin bergabung dengan... party Black Fang.”
Alya yang mendengar itu nyaris tersedak udara. “E-eh?!”
Elaria hanya menatap Kurogane dengan lirikan samping. “...Tentu saja. Satu lagi.”
Kurogane sendiri tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memandang sang raja.
Faldareth tersenyum—senyum lelah namun lega. “Kalau begitu... izinkan aku yang mencatatkan nama Ravyn Draklith sebagai petualang resmi dari kerajaan Veldenze. Dan mulai hari ini... lindungi dia dengan kebebasan yang tak pernah ia miliki sebelumnya.”
Ravyn menggenggam ujung pakaiannya, ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan emosi hangat yang perlahan muncul. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak harus lari... atau bertarung.
Ia hanya harus... berjalan bersama.
Dan begitulah. Di ruang audiensi yang sementara, di bangunan Guild yang sederhana... perubahan besar lahir. Bukan dari pedang atau sihir, tapi dari keberanian untuk mengatakan yang benar.
Dan dari tiga orang—dan kini, empat—yang tak pernah berniat menjadi pahlawan...
...namun telah memulai sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemenangan.
Tak lama setelah deklarasi di ruang audiensi, pendaftaran Ravyn ke dalam Guild Petualang diproses dengan cepat. Guildmaster bahkan langsung turun tangan, tampaknya ingin memastikan semuanya berjalan mulus setelah kekacauan besar sebelumnya.
“Ada nama party yang akan kau ikuti?” tanya staf perempuan di meja penerimaan sambil memegang formulir yang sudah setengah diisi.
Ravyn melirik sekilas ke arah Kurogane yang berdiri di belakangnya. “Black Fang...” ucapnya pelan namun yakin.
“Wah, kamu yakin? Itu party kecil independen sih, tapi sekarang... hmm, kayaknya bakal viral,” celetuk si staf sambil terkikik kecil.
Setelah beberapa cap stempel magis, tanda tangan, dan aktivasi kartu identitas Guild—sebuah kristal kecil yang bercahaya lembut saat disentuh—Ravyn resmi terdaftar sebagai petualang pemula... dan anggota Black Fang.
“Dengan ini, kamu resmi bagian dari Guild dan party Black Fang. Selamat, Ravyn-san!” ucap staf tadi dengan senyum ramah.
Ravyn hanya mengangguk pelan, tampak belum terbiasa dengan suasana hangat dan ramai. Tapi tatapannya, setiap kali mengarah ke Kurogane, mulai menunjukkan percikan baru—percikan kepercayaan.
Hari itu juga, Kurogane mengajak semua anggota Black Fang untuk melakukan quest ringan—sekadar misi harian seperti mengantar barang, mengusir slime di kebun sayur belakang barak, atau membantu nenek-nenek menyusun kembali tumpukan batu bata di gudang umum yang ambruk.
“Kenapa kita nggak dapet quest keren kayak lawan monster?” keluh Alya dengan ekspresi kesal, sementara ia tengah memanggul karung berisi kentang besar.
“Karena Ravyn baru daftar dan kita butuh adaptasi pelan-pelan,” balas Elaria datar sambil menggunakan sihir es untuk mendinginkan gudang penyimpanan yang panasnya bikin lele bisa matang.
“Jadi kenapa dia yang diperlakukan kayak putri?” bisik Alya lagi sambil melirik ke arah Ravyn... yang saat ini sedang menerima sebotol air dari Kurogane sendiri.
“Terima kasih, Kurogane... kun,” ucap Ravyn lirih, nyaris seperti bisikan.
Kurogane hanya mengangguk. “Minumlah. Jangan paksakan diri.”
Alya langsung memasang wajah seperti baru saja menelan slime mentah. “Tch... dasar perhatian banget sih...”
Elaria di sisi lain hanya melipat tangan di dada, mata birunya mengamati interaksi itu tajam-tajam. “Hmph. Dia bahkan belum tahu cara membedakan goblin dan gremlin. Tapi sudah dapat perhatian utama.”
Ravyn yang mendengar itu menoleh dengan polos. “Eh? Aku... tidak tahu memang bedanya.”
Alya mendesis pelan. “Goblinnya... lebih bau. Gremlin lebih... menyebalkan.”
“Kalau soal menyebalkan, kamu mirip gremlin juga, Alya-san,” celetuk Elaria dengan wajah tak bersalah.
Alya langsung melotot. “APA?!”
“Fakta biologis. Bukan hinaan.”
Kurogane hanya menatap mereka bertiga dari kejauhan sambil menghela napas. “...Ini rasanya seperti punya tiga adik cewek yang terus saling cakar.”