Outsider Number One

Try Guntur Prasetya
Chapter #5

Bab 5 — Bunga Di Tanah Iblis

Angin pagi di Veldenze terasa lebih tenang dari biasanya. Kabut tipis yang menggantung di antara gedung-gedung batu putih seolah menahan napas, menyambut keheningan sakral dari prosesi yang akan terjadi.

Di gerbang timur kota, pasukan penjaga berbaris rapi dengan armor mengilap, bendera kerajaan berkibar perlahan dalam irama pagi yang syahdu. Di depan barisan itu, berdiri Sang Raja — Yang Mulia Faldereth Vernhild, mengenakan jubah panjang berwarna biru safir, dihiasi bordiran lambang elang emas yang melambangkan kerajaan Veldenze. Tatapannya lembut, tapi penuh wibawa.

Kurogane berdiri di ujung barisan Party Black Fang, tubuh hitam bayangannya memantulkan sinar mentari pagi dalam kilauan armor legam. Di sebelahnya, Alya berdiri tegap dengan Arclight Fang di punggungnya, rambut peraknya diikat sederhana. Elaria mengenakan mantel bulu esnya, ekspresinya dingin seperti biasa, namun mata birunya mencuri pandang ke arah Kurogane lebih dari sekali. Dan Ravyn, dengan tanduknya yang menyala redup dan sikap cueknya, tampak seperti gadis pemberontak yang sedang dipaksa ikut upacara kenegaraan — meski diam-diam ia menggenggam sabuk di pinggangnya sedikit lebih erat.

“...Aku tak bisa cukup mengungkapkan betapa besar jasa kalian terhadap kota ini,” ujar Raja Faldereth, suaranya tenang namun dalam. “Tanpa kalian, reruntuhan itu mungkin menjadi makam bagi banyak warga kami. Veldenze berutang nyawa pada kalian semua.”

Kurogane tidak berkata apa-apa. Ia hanya menundukkan kepala pelan sebagai bentuk penghormatan.

Alya yang awalnya bersikap kaku, akhirnya menambahkan dengan suara lembut, “Kami hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Tidak lebih.”

Faldereth tersenyum. “Justru karena kalian tidak menginginkan pujian, maka kalian layak mendapatkannya. Petualang seperti kalian... adalah cahaya bagi dunia yang terus bergolak.”

Ia melangkah maju, mendekatkan diri pada Kurogane dan meletakkan tangan di dada sebagai salam hormat ala bangsawan.

“Semoga langkah kalian ke wilayah ras Demon tidak dipenuhi darah tanpa makna, melainkan menjadi awal dari kedamaian yang lebih luas. Kami akan mendoakan kalian… selalu.”

Kurogane mengangguk sekali, lalu melangkah maju. Langkah pertamanya diikuti oleh tiga rekannya. Saat keempatnya mulai meninggalkan gerbang kota, suara terompet perunggu menggelegar dari atas dinding kota, disusul dentuman drum perang yang bertalu-talu dalam irama lambat, menghantarkan mereka seperti para kesatria yang menuju medan takdir.

Warga kota yang berkumpul di belakang garis penjaga mulai bertepuk tangan pelan. Suara tepuk tangan itu awalnya malu-malu, tapi dalam hitungan detik, bergelombang jadi gemuruh yang menggetarkan udara pagi.

“Lihat mereka... itu Kurogane, si Penakluk Dungeon Timur!”

“Elaria-san juga ikut! Dan wanita Elf yang memanggil hujan es itu!”

“Ravyn! Itu yang ikut melindungi gerbang selatan dari serangan gelombang iblis!”

Kurogane tidak menoleh. Langkah-langkahnya tetap mantap, seperti bayangan yang tahu ke mana tujuannya mengarah. Di dalam diamnya, ia menyimpan suara jeritan jiwa-jiwa yang pernah ia selamatkan — dan mereka yang tak sempat.

Alya berjalan di sebelahnya, sekali-kali melirik ke langit yang membiru. Ia tidak bicara, tapi ekspresinya tampak tenang — seperti seseorang yang telah melepaskan beban lama di kota ini.

Elaria memejamkan mata sejenak, merasakan desir angin utara yang perlahan berganti. “Kita akan segera melewati batas peradaban,” gumamnya pelan.

Ravyn tertawa kecil. “Akhirnya! Mulai dari sini, kita bakal tahu siapa yang bisa bertahan hidup dan siapa yang cuma bisa pamer gelar.”

Kurogane tak merespons. Tapi dalam langkahnya yang terus menjejak tanah berbatu itu, dalam ayunan kain jubahnya yang tersapu angin.

Di belakang mereka, Kota Veldenze perlahan menghilang dari pandangan, tertutup kabut pagi yang kembali turun tipis. Tapi doa sang Raja, dentuman drum, dan suara rakyat... akan terus bergema di punggung mereka.

Peta yang diserahkan oleh Raja Faldereth diletakkan oleh Elaria di atas sebuah batu besar saat mereka mengambil jeda di pinggir hutan. Garis-garis tinta keemasan menunjukkan rute menuju perbatasan wilayah Demon, melewati jalur kuno yang jarang dilalui oleh manusia: Hutan Eldergreen, Padang Luthair, hingga menembus Pegunungan Fangrim yang berbatasan langsung dengan wilayah terlarang.

 

“Jika rute ini benar… kita harus keluar dari hutan dalam dua hari, lalu melintasi padang rumput luas tanpa tempat berlindung. Setelah itu, baru kita akan tiba di Fangrim,” ujar Elaria sambil menunjukkan titik-titik di peta dengan jari langsingnya.

“Artinya: tiga hari berjalan kaki dan tanpa ada kota di tengahnya,” keluh Ravyn sambil jatuh ke rumput dan berguling-guling malas. “Aku merasa lelah hanya dari memandangi peta ini. ”

 

“Kamu merasa lelah dari melihat peta… atau lelah berpikir kapan terakhir kali kamu mandi? ” sindir Alya dengan senyuman segar yang penuh onak.

“Eh? ! Aku wangi, tahu! Ini… aroma dari seorang petarung! ” Ravyn membela diri sambil mengendus baju zirahnya sendiri. Kemudian, dengan ekspresi ketakutan, ia tiba-tiba berdiri, “Oke, kita butuh sungai. SEKARANG. ”

Kurogane menarik napas pelan. “Ayo fokus. Kita harus melanjutkan perjalanan. Hutan ini mungkin tidak seaman yang kita bayangkan. ”

Hutan Eldergreen memang memancarkan suasana yang aneh. Sinar matahari menyinari celah-celah daun tinggi, menciptakan pola bercahaya di tanah. Burung-burung berwarna cerah berkicau, tetapi ada keheningan misterius yang hadir di balik keindahan itu — seperti ada mata yang mengawasi dari balik pepohonan.

Mereka melangkah dengan hati-hati, melewati akar-akar besar dan semak-semak rimbun. Dari waktu ke waktu, suara ranting yang patah membuat semua orang menoleh — hanya untuk menemukan seekor tupai bermata besar yang sedang mengunyah jamur liar.

Namun, Kurogane selalu waspada terhadap bayangan. Ketika mereka hendak melewati sebuah sungai kecil, ia tiba-tiba menghentikan langkah.

“Pergerakan. . . dari bawah tanah. ”

Alya dan Elaria segera bersiap, sementara Ravyn sudah siap melepaskan pukulan kepada apa pun yang muncul. Namun, yang muncul adalah. . . seekor makhluk mirip tikus gemuk bertanduk yang melompat keluar dari lumpur sambil berdecit kaget, lalu melarikan diri dengan panik.

“. . . Itu tadi. . . monster? ” tanya Alya sambil mengangkat alisnya.

“Bukan. Itu Mokumole. Makhluk pemalu. Tapi dagingnya lezat jika dipanggang,” jawab Elaria, dengan wajah serius. . . namun semua tertegun ketika ia menambahkan, “. . . aku membawa saus soyu. ”

Ravyn bersorak kegirangan. “WOW, KAMU DEWI! ”

Setelah dua hari berlalu, mereka akhirnya keluar dari hutan dan menjumpai hamparan luas Padang Luthair. Angin berhembus lembut, menggerakkan lautan rumput keemasan sejauh mata memandang. Langit biru membentang tanpa awan. Tidak ada jalan. Hanya ada garis cakrawala dan sinar matahari yang memandang mereka dari atas.

“Ini tempat yang sempurna untuk tidur siang,” kata Ravyn sambil menyandarkan tangan di belakang kepala.

“Terserah. Tapi jangan salahkan siapa-siapa jika kamu digigit ular padang,” balas Alya cepat, sebelum berjalan lebih dulu.

Elaria memerhatikan garis cakrawala. “Tempat ini terlalu terbuka. Jika tentara Demon sedang mengawasi, inilah lokasi paling mudah untuk terjebak. ”

Kurogane hanya mengangguk. Namun ketika melihat seekor kupu-kupu besar melintas di wajahnya, ia mengulurkan tangan — dan membiarkannya hinggap untuk sejenak. “Tempat seperti ini. . . damai, tetapi rentan. ”

Perjalanan melintasi padang tersebut terasa lambat. Tanpa adanya tempat bernaung, panasnya mulai menguras stamina. Akhirnya, Ravyn membuka bagian atas baju zirahnya dan menggantungnya di tongkat. “Seandainya aku tahu begini, seharusnya aku bawa payung deh…”

“Payung? Serius? ! ” Alya hampir tertawa.

“Wah, itu bukan ide yang buruk,” Elaria menanggapi, “aku akan mengirim surat ke kerajaan supaya seragam petualang resmi menyertakan payung sebagai perlengkapan yang wajib dibawa. ”

Kurogane hanya terdiam. . . tetapi ekspresi wajahnya yang datar di bawah sinar matahari membuat semua orang tertawa kecil.

Hari ketiga membawa mereka untuk mendaki daerah Fangrim — pegunungan tua dengan lereng berbatu dan kabut tebal. Jalur setapak berliku di antara tebing dan jurang, menjadikan setiap langkah terasa berbahaya.

“Ini. . . pemandangan yang paling menakjubkan yang pernah aku lihat,” bisik Ravyn sambil memandangi lembah yang luas di bawah.

Elaria mengangguk setuju dalam hati, meski ia terus melangkah sambil mengatur napas. “Udara di sini tipis. Hati-hati saat menurun. Batu-batu di daerah ini mudah goyah. ”

“Ya, dan kita masih belum mengetahui apa yang akan kita temui di sisi lain pegunungan ini. . . ” kata Alya pelan.

Kurogane berhenti di tepi jurang dan menatap ke depan. Melalui kabut yang tertiup angin. . . sebuah siluet kota gelap tampak samar jauh di kejauhan — terletak di balik lembah paling dalam.

“. . . Itu adalah tanah Demon. ”

Tidak ada satu pun yang merespons. Namun dalam keheningan itu, mereka berempat sadar: misi mereka baru saja beralih dari dunia biasa menuju tempat yang tidak akan memberikan toleransi terhadap kesalahan.

Tetapi sebelum suasana menjadi terlalu tegang. . .

Perut Ravyn berbunyi nyaring.

“. . . Baiklah. Aku tidak peduli. Mari kita makan dulu sebelum masuk ke dalam neraka. ”

Langkah-langkah kelompok Black Fang akhirnya membawa mereka ke pinggir dunia yang berbeda — Kerajaan Noctelbane, tempat utama bagi ras Demon yang dikenal karena pemandangannya yang tidak pernah dijamah sinar matahari dan langitnya yang selalu diselimuti nuansa merah darah.

Di kejauhan, terlihat sebuah kota bergaya gothic dengan kastil hitam tinggi yang menjulang di tengahnya, dikelilingi oleh hutan kelam serta arsitektur tajam yang seolah mencakar langit. Kabut ungu berputar di atas atap-atap bangunan, sementara sinar bulan merah menerangi segalanya dalam nuansa merah gelap yang aneh.

“. . . Wow,” ujar Ravyn, kali ini tanpa nada sarkastik. “Ini. . . benar-benar tempat tinggal seorang penjahat di akhir permainan. ”

“Desain kastilnya. . . sangat menawan, tetapi terlalu sepi,” tambah Elaria pelan. “Seperti kota hidup. . . tetapi tanpa kehidupan. ”

Alya menggenggam gagang pedangnya dengan kuat. “Apakah kita benar-benar akan masuk ke dalam? Ini. . . bukan sekadar kota. Ini lebih seperti naskah kutukan yang menjadi nyata. ”

Kurogane tetap tenang. Tanpa ragu, ia melangkah melewati gerbang besar kota yang terbuat dari besi hitam dengan ukiran simbol-simbol sihir kuno. Kota itu sunyi — namun bukan karena kekosongan. Penduduk ras Demon, dengan kulit yang pucat, tanduk, atau sayap, memperhatikan mereka dari bayang-bayang. Mereka tidak mendekat, tetapi aura pengamatan terasa menyengat di kulit.

Tiba-tiba. . .

Sosok perempuan muncul dari udara tipis. Rambut perak panjangnya melayang anggun, matanya merah berkilau lembut tetapi tajam, gaun putihnya tampak kontras dengan suasana kelam kota tersebut.

“Aku sudah menunggu kedatanganmu, Kurogane. . . ” katanya dengan suara yang lembut namun menggoda. “Tetapi aku tidak menduga. . . kau membawa tiga. . . pengganggu. ”

“Lilith,” jawab Kurogane singkat. Nada suaranya tetap stabil, meskipun bahunya sedikit lebih rileks — ekspresi tenangnya terlihat sedikit melunak untuk sesaat.

“Wah~ jadi ini. . . pacar rahasia si bayangan hitam, ya? ” Ravyn langsung tersenyum lebar, memberikan sedikit dorongan pada Kurogane. “Kenapa kau tidak memberitahuku, sih? ”

Lilith tersenyum kecil, tetapi matanya menyipit memberi sinyal bahaya saat menatap Ravyn. “Dia bukan milik siapa pun. . . tetapi jika kalian melanggar batas yang seharusnya, aku mungkin akan mengubah kalian menjadi patung darah dan memajangnya di taman belakang. ”

Alya langsung terdiam. “Ia tidak bercanda, kan? ”

Elaria mengamati Lilith dengan hati-hati, tetapi matanya sedikit meluap saat menyadari aura sihir darah yang bergetar lembut dari tubuh gadis itu. “. . . Setengah iblis. Namun kekuatannya. . . tidak biasa. ”

Lilith melangkah maju dan menyentuh lengan Kurogane dengan lembut. “Ayo. Aku akan mengantar kamu ke istana. ”

Tanpa menunggu persetujuan, ia berbalik dan mulai melangkah menuju kastil yang menjulang di tengah kota. Sepanjang jalan, suasana semakin gelap, hanya diterangi oleh lentera berdarah yang menggantung seperti jiwa terperangkap.

Sesampainya di gerbang istana, Lilith berhenti.

“Maaf, Kurogane,” ucapnya dengan sedikit kesal tetapi tetap manis. “Aku berencana mengajakmu berkencan malam ini. Namun. . . Ayah ingin bertemu denganmu terlebih dahulu. Katanya penting. Dan. . . yah, sebagai anak yang baik, aku harus mematuhi. ”

Ia menatap ke arah langit merah. “Sebenarnya, aku sudah siap membawa anggur spesial, buku puisi berdarah, dan tempat duduk di balkon menara. . . romantis, bukan? ”

Kurogane hanya menatapnya. “Nanti saja. ”

Lilith mendesah. “Hmph. . . Kau benar-benar tahu cara membuat seorang gadis menggigit bibirnya. ”

Namun di sisi lain. . .

Alya, Elaria, dan Ravyn secara bersamaan menangkap satu kata yang membuat jantung mereka serasa turun satu tingkat: Demon King.

". . . Apakah kita benar-benar akan bertemu. . . dengan Raja Iblis itu? " suara Alya bergetar.

". . . Penguasa dari semua neraka. . . ayah dari semua darah ini. . . ? " Ravyn memegang lengan Kurogane dengan kuat. "Bro. . . jangan pergi sendirian. Jangan jadi korban pertama. "

Elaria, meskipun masih tenang, tampak agak pucat. "Jika itu benar-benar Raja Iblis Noctelbane. . . yang telah menghancurkan tiga kerajaan utara dalam semalam. . . maka kita tidak memiliki cukup kekuatan untuk menghadapi ini. "

Kurogane menatap perlahan kepada ketiga rekannya.

"Jika kalian merasa takut. . . tunggu saja di luar gerbang istana. Aku akan pergi sendiri. "

Ada jeda. Keheningan yang membungkam. Hanya suara dering rantai dari gerbang istana yang terdengar.

Kemudian, Lilith berbalik dengan senyum menggoda. "Atau. . . kalian bisa ikut. Tapi jangan salahkan aku jika Papa iseng menguji kalian dengan labirin mimpi berdarah. "

Mendengar itu, Ravyn dan Alya mundur setengah langkah.

"Semoga beruntung, bro," ucap Ravyn cepat.

"Kami akan berjaga. . . dibelakang," tambah Alya.

Elaria masih berpikir. . . namun akhirnya berkata pelan, "Aku. . . akan menunggu di sini. "

Kurogane melangkah masuk, hanya ditemani Lilith dan bayangan panjang kastil yang menyelimuti segalanya.

Dan dengan demikian, mereka resmi melangkah lebih dalam ke dunia kegelapan. . . menuju inti dari kerajaan iblis, dan ke pusat takdir yang tidak akan pernah sama lagi.

Bayangan gelap dari kastil Noctelbane meliputi mereka dengan panjang, seolah ingin menelan seluruh cahaya yang tersisa. Dinding batu obsidian yang menjulang tinggi bergetar oleh sihir kuno, dan bau dupa darah serta bunga-bunga hitam yang tidak dikenal memenuhi udara di koridor utama.

Lilith bergerak dengan anggun di depan, langkahnya ringan dan tanpa suara, seolah-olah melayang di atas permukaan tanah. Di belakangnya, Kurogane melangkah dengan mantap, diapit oleh Alya, Elaria, dan Ravyn yang mulai menunjukkan tanda-tanda kecemasan.

“K-Kenapa aku merasa seperti kita menuju. . . eksekusi? ” bisik Ravyn pelan.

“Jika kita dibakar hidup-hidup, aku akan mengutuk nama Lilith hingga nafasku berhenti,” kata Alya, tidak melepaskan pegangan pedangnya.

Elaria, meski tampak lebih tenang, terus memeriksa ruangan dengan kemampuan sihirnya. “Tempat ini dilindungi sihir tingkat tinggi. Kita benar-benar berada di sarangnya raja demon. ”

Akhirnya, mereka sampai di depan sepasang pintu besar terbuat dari logam merah tua, dihiasi ukiran naga, simbol mata, dan lambang-lambang sihir darah yang tampak bergerak halus seperti kehidupan.

Lilith berhenti dan menoleh kepada Kurogane.

“Ini adalah ruang tahta. Ayah menunggumu di dalam,” ucapnya datar, meski matanya memancarkan berbagai emosi — sedikit kesal, sedikit cemas, dan mungkin juga… antusiasme.

Kurogane menatap ketiga temannya. Ia mengerti akan makna dari tatapan mereka — kekhawatiran, ketegangan, dan ketidaknyamanan yang belum terungkap.

“Teman-teman tunggu di sini,” kata Kurogane dengan tenang. “Ini adalah perbincangan antara aku dan Raja Demon. Jika terjadi sesuatu… kalian tahu apa yang perlu dilakukan. ”

Alya menggigit bibirnya. “Jangan mati. ”

“Kalau kau mati, aku akan mengejarmu sampai ke akhirat dan membunuhmu lagi,” ancam Ravyn, setengah bercanda setengah serius.

Elaria hanya mengangguk. “Kami akan menunggumu. ”

Kurogane kembali menoleh ke Lilith dan mengangguk.

Lilith menyentuh permukaan pintu, dan dengan suara gemuruh rendah, pintu besar itu perlahan terbuka. Aroma sihir yang kuat menyambut mereka, seperti darah lama yang mengering di altar kuno.

Ruangan tahta Noctelbane… seolah sebuah gereja yang terbalik.

Pilar-pilar tinggi menjulang, dihiasi ukiran tulang, sementara langit-langit dipenuhi fresco tentang peperangan di neraka. Di ujung ruangan, ada dua singgasana megah, satu lebih besar dari yang lainnya. Di atas singgasana utama, duduk seorang pria tinggi berbadan besar dengan jubah hitam pekat yang nyaris tak terpisahkan dari kegelapan sekitarnya.

Raja Iblis Noctelbane.

Wajahnya tidak sepenuhnya terlihat, tetapi mata merah yang menyala menembus bayangan tudungnya. Senyumnya bukanlah senyum yang hangat — melainkan senyum seorang predator yang baru saja mengintai mangsanya.

“Jadi… kau adalah Kurogane,” suaranya yang dalam dan berat bergema, tanpa perlu gema tambahan.

Lilith melangkah ke singgasana samping dan duduk dengan anggun di kursi yang lebih kecil. Ia menyilangkan kakinya lalu menyandarkan dagunya di tangan dengan santai.

“Papa, kau terlalu berlebihan,” bisiknya.

Raja Iblis tertawa ringan, namun tawa itu seperti menggores udara. “Apa salahnya sedikit drama saat menerima tamu istimewa? ”

Kurogane melangkah lebih dekat ke tengah ruangan. Setiap langkahnya tegas, tidak gentar meski tekanan kekuatan murni di sekelilingnya membuat napas terasa berat.

“Terima kasih atas undanganmu, Yang Mulia Raja Demon,” ucap Kurogane, menundukkan kepala dengan anggukan kecil namun penuh rasa hormat. “Dan mohon maaf karena saya tidak datang sendiri. Tiga orang di luar hanyalah teman dalam perjalanan ini, tidak lebih. ”

Senyum Demon King semakin lebar. “Oh, jadi kau mengerti tata krama audiensi di kerajaan. Aku semakin menyenangimu. ”

Ia bersandar pada singgasana, kemudian menyilangkan tangannya.

“Aku tidak pernah mengundang orang lain. Hanya dirimu. Namun. . . aku mengerti. Makhluk sepertimu mungkin kesulitan untuk bergerak sendiri. . . meskipun sebenarnya bisa. ”

Lilith menggeleng pelan. “Ayah, apakah ini pujian atau ejekan? ”

Kurogane tetap tenang, walau ada ketegangan yang samar dalam sikapnya.

“Bertemu langsung dengan sosok yang luar biasa seperti Anda, Yang Mulia… adalah kehormatan bagi seseorang seperti saya yang muncul dari kegelapan. ”

Demon King tertawa — kali ini suaranya lebih keras, dan kaca besar di belakangnya bergetar sedikit.

“Kau pandai berbicara, Faceless. Atau… mungkin itu hanya bagian dari topeng yang kau gunakan? ”

Tatapannya semakin tajam. “Tapi tidak masalah. Aku akan mengungkap satu per satu lapisan itu nanti. ”

Kurogane menatap lurus, tidak merasa takut. Atmosfer di dalam ruangan semakin tegang, seperti dua makhluk kuno yang saling mengukur kedalaman jiwa satu sama lain.

Ruangan tahta itu kembali sepi. Bayangan besar dari jubah sang Raja Iblis melebur dengan dinding dan langit-langit, menciptakan kesan bahwa ia tidak memiliki bentuk yang jelas. Ia menatap Kurogane dalam keheningan beberapa saat, sebelum akhirnya mulai berbicara lagi.

“. . . Kurogane,” ujarnya pelan, tetapi setiap kata yang diucapkan bergema hingga ke ujung pilar. “Apakah kau sadar. . . dari mana istilah Outsider itu berasal? ”

Pertanyaan tersebut membuat napas Kurogane sedikit melambat. Istilah ini sering dilontarkan padanya dengan rasa benci, curiga, atau sekadar ketakutan. Namun, tak ada satu pun orang yang menjelaskan asalnya secara mendalam. Ia hanya tahu bahwa itu bukan gelar yang terhormat.

“Aku kira begitu,” jawab Kurogane dengan suara tenang. “Tetapi aku tidak yakin. ”

Senyum menyeramkan kembali terlukis di wajah sang Raja Kegelapan.

“Dunia ini,” katanya dengan perlahan sambil berdiri dari singgasananya, “memiliki kebiasaan buruk—memanggil para pahlawan dari dunia lain. ‘Penyelamat’, mereka bilang. ‘Pembawa harapan’. Semua itu demi satu tujuan—mengalahkan Raja Iblis yang sedang berkuasa. Sebuah tradisi kuno yang bahkan sudah membuatku muak. ”

Ia melangkah perlahan, tangan menyentuh ukiran di dinding yang menggambarkan pertempuran besar, menampilkan sosok-sosok pahlawan melawan monster raksasa.

“Sudah berapa generasi Raja Iblis sebelumku yang dibinasakan oleh mereka? Setiap kali satu terjatuh, dunia memanggil pahlawan baru. Ini adalah siklus tanpa akhir. . . seperti roda kutukan. ”

Kurogane mendengarkan dengan hening, matanya tak terlepas dari langkah sang Raja.

“Tetapi, Kurogane…,” lanjutnya, suaranya menjadi lebih berat, “. . . apakah kau tahu apa yang terjadi ketika pedang yang dirancang untuk menghabisi kegelapan justru berbalik dan menusuk cahaya itu sendiri? ”

Ia menoleh dan menatap Kurogane dengan tajam. “Beberapa pahlawan… malah terjerumus ke dalam keserakahan. Dalam hasrat kekuasaan. Mereka melihat dunia ini sebagai permainan. Mereka menjarah, memperkosa, membakar kota. Salah satu dari mereka bahkan datang kepada ayahku—Raja Iblis yang sebelumnya—dengan tawaran untuk bersekutu. Bukan untuk perdamaian, melainkan pengkhianatan terhadap dunia. ”

Kurogane tanpa sadar mengepal tinjunya.

“Sejak saat itu,” lanjut sang Raja Iblis, “kepercayaan terhadap para pahlawan mulai hilang. Kerajaan-kerajaan yang dulu mengagungkan mereka mulai memburu mereka. Tidak ada pengecualian. Tidak peduli seberapa tulus niat mereka, atau seberapa besar keinginan mereka untuk membantu… mereka semua diberikan satu label yang sama. ”

Ia kembali duduk di singgasananya.

“Outsider. ”

Keheningan meliputi ruangan di antara mereka.

Kurogane menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya lagi. “Tapi… bagaimana dengan teman-temanku? ” tanyanya. “Alya, Elaria, Ravyn… Mereka lahir di tempat ini. Mereka bukan dari dunia lain seperti diriku. Namun tetap dicurigai. Bahkan dianggap. . . berbeda. ”

Sang Raja Iblis mengeluarkan desahan kecil, tetapi bukan nada mengejek—serupa bunyi getir.

“Karena ketakutan membuat manusia buta. Dunia ini telah sering kali tertipu. Sebagai akibatnya… mereka mulai curiga terhadap siapa saja yang memiliki kemampuan luar biasa. Siapa pun yang terlalu kuat, cerdas, atau terlalu. . . ‘aneh’ menurut pandangan mereka… akan dianggap bukan bagian dari dunia ini. Bahkan jika darah mereka berasal dari tanah ini sendiri. ”

Lilith yang sejak tadi diam, menyilangkan tangannya sambil melirik ayahnya, lalu berkata pelan, “Dengan kata lain, dunia ini mengalami trauma kolektif. ”

“Betul,” sahut sang Raja. “Dan trauma itu. . . melahirkan rasa paranoia. Sekarang, tak peduli apakah kau berasal dari dunia lain atau bukan, jika kau terlalu istimewa… maka kau akan selalu dianggap sebagai orang luar. ”

Kurogane memandangi lantai marmer berwarna merah di bawah kakinya, membiarkan kata-kata itu meresap dalam dirinya. Tiba-tiba, kenangan lama muncul di benaknya.

Alya, dengan teknik pedang petir yang melampaui logika dasar petualang peringkat B.

Elaria, seorang elf dari kalangan bangsawan yang menguasai sihir es tingkat tinggi, bahkan dapat menciptakan miniatur dunia dari salju.

Ravyn, makhluk tempur berbentuk wanita, dengan darah naga dan kecepatan yang luar biasa mengerikan. . . .

Mereka bukanlah sosok ‘biasa’. Dan dia—Kurogane—adalah keanehannya. Mereka semua. . . luar biasa.

Tak lama setelah itu, Kurogane mengangkat wajahnya, tatapan matanya kini berubah. “…Apa tujuanmu membagikan semua ini padaku, Yang Mulia? ”

Sang Raja Iblis hanya tersenyum. “Karena aku ingin mengetahui. . . di pihak mana kau akan berpihak saat dunia ini mulai membakar Outsider-nya sendiri. ”

Ruang tahta kembali terbenam dalam keheningan. Hanya suara nyala api dari obor di dinding yang berani menari di tengah keadaan yang semakin menekan.

Kurogane berdiri kokoh, tatapannya tajam penuh rasa ingin tahu. "Apa maksudmu memberitahuku semua ini, Yang Mulia? Mengenai Outsider. . . dan dunia yang membenci mereka? "

Sang Demon King, Andras Noctelbane, hanya mengangkat alis sejenak sebelum. . . tertawa.

Tawa yang dalam dan menggema, seperti suara guntur dari balik dimensi lain. Bukan tawa yang mengejek. Namun, tawa dari seseorang yang telah lama menahan kenyataan pahit dan akhirnya menemukan orang yang layak mendengarnya.

“Tujuan? ” ulang Andras sambil bersandar pada singgahsana. “Kurogane, jika aku punya niat buruk. . . kau sudah menjadi debu sejak lama. ”

Ia berdiri perlahan, langkahnya yang berat mengguncang lantai batu obsidian di bawah kakinya.

“Yang ingin aku sampaikan,” ujarnya dengan nada yang semakin pribadi, “hanyalah untuk berbagi. . . wawasan. Pengetahuan yang tidak bisa ditemukan di buku atau mantra. Namun diperoleh melalui. . . penderitaan, pengkhianatan, dan kehancuran. ”

Matanya yang tajam menatap Kurogane dengan intens. “Dan aku rasa. . . kau cukup berhak untuk mendengarnya. ”

Kemudian, seolah teringat sesuatu, ia menjentikkan jarinya. “Oh. . . hampir saja aku melupakan. ”

Dua pelayan istana berbentuk humanoid bertudung gelap masuk dari pintu samping yang nyaris tak terlihat. Mereka mendorong sebuah etalase besar yang dilapisi kaca hitam. Di dalamnya. . . sebuah mahkota hitam dengan hiasan permata ungu, oranye, dan merah menyala—tajam, garang, dan memancarkan aura seperti artefak legendaris.

Kurogane mengernyit.

Andras menatap mahkota itu sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang dalam, “Ini. . . milik ayahku. Dulu, saat aku masih menjadi pangeran, dia pernah berusaha menaklukkan sebuah wilayah yang jauh di luar perbatasan utara dunia ini. Wilayah yang. . . bahkan peta pun enggan untuk menggambarnya. ”

Ia menoleh kepada Kurogane, wajahnya kini serius.

“Dari seribu pasukan elit yang dikirim. . . hanya segelintir yang kembali. Tubuh mereka hancur, jiwa mereka terpuruk. Mereka hanya mampu mengatakannya satu hal tentang makhluk yang mereka temui di sana. . . ”

Senyum tipis muncul di wajah Andras. “Mereka tidak memiliki wajah. ”

Mata Kurogane membelalak sedikit. Jantungnya berdenyut lebih cepat. Tidak diragukan lagi—yang dimaksud adalah bangsanya. Faceless.

“Sejak saat itu,” lanjut Andras, “ayahku tak pernah lagi berani menantang wilayah itu. Dan aku. . . menyimpan rasa ingin tahu yang tak kunjung padam. ”

Andras menatap mahkota itu dalam waktu yang lama, sebelum kembali menoleh ke Kurogane.

“Aku ingin tahu. . . seberapa besar kekuatanmu saat ini. Apakah kau keturunan dari legenda yang tak bernama itu. . . atau hanya sisa bayangannya semata. ”

Kurogane belum sempat memberikan jawaban ketika Andras menambahkan satu kalimat lagi—lebih tajam daripada semua perkataannya tadi.

“Dan alasan lainnya. . . ”

Suasana seketika berubah menjadi tegang.

“…Aku ingin tahu, apakah kau layak berdiri di samping putriku. ”

Lilith yang sejauh ini diam, tersedak kecil dan membelalak. “Pa…! Kau tidak bilang mau membahas itu! ”

Andras hanya terkekeh pelan. “Jika kau ingin merebut perhatian putriku dariku, Kurogane… maka kau harus berjuang untuk itu. ”

Kurogane menghela napas pelan. Antara merasa tertekan, terhormat, dan geli.

“…Duel kehormatan melawan ayah calon pasangan, ya? ” gumamnya. “Sangat tradisional. ”

“Tidak sampai pada tahap membunuh, tentu saja,” jawab Andras dengan senyum sinis. “Aku hanya ingin tahu—apakah seseorang yang mengklaim dapat melindungi Lilith… benar-benar mampu melawanku, meskipun hanya sebentar. ”

Kurogane melangkah maju, cahaya dari permata mahkota berkilau di permukaan armor kegelapannya. Ia menatap langsung ke mata makhluk jahat itu.

“Kalau begitu… biarkan aku membalas kehormatan ini. Bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai orang luar. . . melainkan sebagai pria yang berani menghadapi Raja Iblis. ”

Andras mengangkat tangannya, dan api sihir ungu menyala di langit-langit.

"Itulah yang ingin aku dengar. "

Begitu Andras mengangkat tangan, seberkas energi gelap meledak dari lantai marmer hitam di sekitar singgasana. Aura merah pekat berkilauan dari tubuhnya, menari liar seperti lidah api neraka. Sebuah pedang besar—bergerigi seperti gigi binatang buas—terbentuk dari asap merah tua, kemudian mendarat di tangannya dengan dentuman berat.

Sementara itu, Kurogane berdiri tenang, satu tangan terulur ke samping.

Zrrrk…!

Dari bayangannya sendiri, sebuah pedang hitam lurus perlahan mencuat. Pedang Jyuken, dengan bilah yang terbuat dari kegelapan cair, menyatu sempurna dengan lengan Kurogane, seolah itu bukan senjata... melainkan perpanjangan dari dirinya.

Sejenak, keduanya hanya saling menatap.

Tidak ada aba-aba.

Tidak ada kata pembuka.

Hanya ketegangan murni antara dua kekuatan—seperti dua langit malam yang saling dorong untuk mendominasi malam.

BAAAAM!

Benturan pertama terjadi dengan suara menggelegar! Pedang Kurogane dan Andras beradu di tengah ruangan, menciptakan gelombang kejut yang menghantam dinding batu, membuat beberapa pilar runtuh sebagian. Kilatan bayangan dan cahaya merah saling mengiris udara, menggores singgasana, memecahkan lantai, dan membuat udara terasa seperti terbakar namun membeku sekaligus.

Kurogane melompat ke belakang, lalu menghilang dalam bayangan.

Andras tersenyum miring. “Cepat.”

Lihat selengkapnya