Outsider Number One

Try Guntur Prasetya
Chapter #6

Bab 6 - Api Unggun Para Orang Tersesat

Udara malam yang menggigit lembut menyapu sabana kecil di tepian hutan cemara, sementara bintang-bintang seolah menari malu-malu di lazuardi gelap yang memayungi dunia. Di bawahnya, kelima orang itu — atau lebih tepatnya, lima makhluk yang tak sepenuhnya bisa disebut manusia biasa — duduk mengelilingi api unggun yang tenang. Bara jingga memantul di pupil mereka, menari bersama angin.

Alya duduk bersila dengan armor ringannya terlepas sebagian, membiarkan bahunya yang lembut bersandar pada batang pohon sambil membersihkan bilah Arclight Fang. Sementara itu, Elaria duduk anggun dengan kaki dilipat di sampingnya, kedua telapak tangannya menangkup cangkir teh herbal yang baru ia seduh dengan sihir. Aroma mint bercampur pine menyebar menenangkan.

Ravyn justru rebah telentang tak jauh dari api, kedua tangannya dilipat di bawah kepala sambil menatap langit. Sesekali ekornya yang berujung bara kecil bergerak-gerak seperti kucing gelisah. Lilith duduk dekat Kurogane, wajahnya setenang patung porselen tapi matanya merahnya menatap api dalam diam, menyimpan banyak cerita yang belum sempat mengalir.

Kurogane sendiri bersandar pada pedang Jyuken yang ia tancapkan ke tanah, helm hitam pekatnya sedikit menoleh ke Lilith, seolah memberi isyarat halus.

“...Jadi, mau kau lanjutkan dari mana, Lilith?” Suara Kurogane terdengar dalam, berat tapi anehnya hangat.

Lilith menghela napas tipis. Api unggun seperti menari di iris merahnya.

“Sebelum duelmu dengan Ayah, King Andras memanggilku. Hanya kami berdua waktu itu,” katanya pelan. “Dia tidak bicara sebagai Raja Iblis... hanya sebagai seorang ayah yang tahu waktunya tidak panjang lagi.”

Suasana hening. Hanya suara gemeretak kayu terbakar.

“Dia memintaku untuk tidak membenci dunia ini sepenuhnya... meski dunia ini, pada akhirnya, tidak pernah benar-benar memberi tempat untukku.”

Alya menurunkan pedangnya, memperhatikan dengan wajah sulit dibaca. Elaria meneguk tehnya perlahan, menatap Lilith dengan pandangan analitis tapi sedikit melunak. Ravyn, meski pura-pura cuek, salah satu telinganya tampak bergerak, mendengarkan.

Lilith melanjutkan, suaranya sedikit serak.

“Dia juga menitipkan permintaan... supaya aku hidup dengan bebas, meski artinya aku harus berjalan bersama kalian, para... pengembara tanpa arah ini.” Bibirnya melengkung dalam senyum sarkastik, tapi matanya lembut.

Kurogane mengangguk pelan. Lalu suara beratnya mengambil alih, seakan menutup celah dingin di antara mereka.

“Sebelum duel itu, Andras memberitahuku satu hal penting — tentang ‘Outsider’.”

Dia diam sejenak, menunggu kalau-kalau ada yang mau memotong. Tak ada. Semua menunggu.

“Outsider, pada dasarnya adalah orang-orang dari dunia lain. Mereka didatangkan ke dunia ini lewat ritual kuno para penyihir kerajaan, katanya untuk menjadi pahlawan penyelamat dari bencana besar.” Kurogane menatap api yang membias di permukaan armor hitamnya.

“Masalahnya... banyak dari mereka yang gagal dikendalikan. Mereka malah menebar kekacauan. Menghancurkan kota, membantai siapa saja yang menentang. Kerajaan-kerajaan yang awalnya memanggil mereka, kini berbalik memburu semua Outsider — tanpa pengecualian.”

Ravyn mendengus. “Klasik manusia. Panggil monster, lalu panik kalau monsternya lepas.”

Elaria memejamkan mata. “Yang menyedihkan, paranoia itu kini merembet ke siapa saja yang berbeda. Seperti kita.”

Alya menghela napas keras, menekankan dadanya yang naik turun.

“Kekuatan kita... dianggap terlalu tidak wajar. Meski bagi kita, ini cuma anugerah lahir. Tapi mata orang-orang yang dicekoki propaganda kerajaan, selalu melihat kita seperti bom waktu berjalan.”

Lilith menoleh pada Alya, lalu Elaria, lalu Ravyn. Senyum tipisnya tak menyembunyikan getir.

“Itulah kenapa kita berlima kini sama-sama dicap Outsider — meski sebenarnya hanya satu dari kita yang benar-benar datang dari dunia lain.”

Alya menatap Kurogane. “Kau.”

Kurogane hanya mengangguk pelan, seolah fakta itu tak lagi penting.

“Aku tidak tahu kenapa aku dipanggil ke dunia ini. Aku bahkan tak yakin mereka sengaja memanggilku. Mungkin cuma kesalahan. Tapi yang pasti... aku tidak akan membiarkan mereka mendikte jalan hidupku.”

Ada sunyi panjang, tapi bukan canggung. Lebih seperti ruang sunyi yang membiarkan semua kata-kata itu meresap dalam hati masing-masing. Api unggun berderak, bintang jatuh menoreh langit, dan entah siapa yang pertama, tapi perlahan semua tampak menghela napas sedikit lebih lega.

Ravyn akhirnya duduk bersila, menatap mereka satu per satu dengan tatapan sok garang.

“Jadi... kemana kita akan pergi besok?”

Elaria menoleh ringan. “Aku mendengar rumor di utara, ada kota pelabuhan yang menerima siapa saja, tanpa terlalu peduli asal-usul. Kita bisa mulai dari sana.”

Alya mengangguk, sedikit lebih semangat. “Lagi pula... kita butuh tempat untuk mengasah pedang dan mengisi ulang logistik.”

Lilith merapatkan duduknya pada Kurogane, pundaknya nyaris menempel.

“Selama kita berjalan bersama, aku tak peduli ke mana pun itu.”

Kurogane tak menjawab, tapi membiarkan keheningan itu jadi semacam janji tak terucap. Mereka adalah kumpulan orang yang dibuang dunia, Outsider dalam arti paling luas — bahkan Lilith yang lahir di dunia ini tetap merasa asing di rumahnya sendiri. Namun di sekitar api unggun malam itu, mereka untuk pertama kalinya terasa seperti memiliki sebuah rumah.

Malam terus merangkak. Angin mengibaskan rambut perak, jumbai ekor, hela jubah, dan cangkang armor. Di bawah gemintang, Party Black Fang akhirnya memejamkan mata, tidur dengan nyala bara yang tetap terjaga — seolah menolak padam demi menjaga satu-satunya tempat hangat yang mereka punya di dunia ini.

Pagi menjelang dengan matahari yang menembus pucuk-pucuk pohon, membangkitkan embun yang menari tipis di udara. Party Black Fang duduk melingkar lagi, kali ini sarapan seadanya: roti keras yang direndam sup tipis, plus sedikit daging asap hasil buruan Ravyn semalam.

Tak ada yang terlalu ribut pagi itu. Hanya denting sendok dan helaan napas ringan. Sampai akhirnya Elaria angkat bicara, suaranya pelan tapi membawa nuansa serius.

“Ngomong-ngomong... kalian sudah dengar soal Adventurer Arena, kan?”

Ravyn yang sedang mengoyak daging buruannya mengangkat alis. “Tentu saja. Tempat para petualang adu kemampuan untuk naik peringkat atau cari nama. Hadiah utamanya juga gila — kontrak eksklusif dengan beberapa kerajaan besar.”

Alya menyandarkan punggungnya pada batang pohon, menatap kosong ke langit biru di sela dedaunan. “Arena itu memang populer, tapi juga berbahaya. Banyak yang masuk dengan ambisi, lalu keluar hanya tinggal nama yang tertera di batu nisan.”

Lilith menatap supnya, bibirnya melengkung samar. “Dan kabarnya, belakangan ini Arena makin brutal. Karena... Hero Leonhardt kabarnya akan datang ke sana untuk ‘memperlihatkan kejayaan umat manusia’. Begitu katanya.”

Kurogane diam saja. Tapi helmnya sedikit menunduk, menandakan dia mendengar dengan saksama.

Elaria meletakkan cangkir tehnya, menatap Lilith. “Kau pernah melihat Leonhardt secara langsung, Lilith?”

Lilith mengangguk pelan, menyingkap sedikit poni putihnya. “Hanya sekali, di sebuah jamuan diplomatik antara kerajaan manusia dan utusan iblis beberapa tahun lalu. Waktu itu dia baru saja diundang ke dunia ini, masih... terlalu polos, terlalu terang. Tapi sinarnya terasa menusuk. Kau tahu, sinar yang seakan ingin memaksa orang lain menunduk.”

Ravyn menggeram kecil, ekornya berkedut. “Sekarang dia bukan polos lagi. Banyak rumor mengatakan Leonhardt dan partynya tidak sebersih yang orang-orang kira. Beberapa saksi selamat bilang mereka pernah membantai bandit tanpa ampun, termasuk anak-anak yang kebetulan berada di sana.”

Alya mendengus dingin. “Mungkin terdengar kejam, tapi sebagian rakyat memuja tindakan itu. Mereka bilang, ‘bandit adalah sampah, harus dimusnahkan sampai akar.’ Dan tindakan brutal Hero malah membuat orang-orang semakin percaya bahwa dia adalah harapan yang sanggup menghancurkan kejahatan tanpa ragu.”

Elaria menautkan jari-jarinya, matanya biru sedingin es menatap api kecil sisa unggun semalam. “Padahal... kekerasan yang membabi buta jarang sekali berujung baik. Cepat atau lambat, dia akan mengarahkan pedangnya pada sesuatu yang tak seharusnya.”

Lilith menoleh pada Kurogane, suaranya setenang bisikan angin. “Bagaimana menurutmu? Kau sama-sama seorang Outsider, meski jalannya berbeda.”

Kurogane terdiam cukup lama hingga Alya hampir mengira dia tak akan menjawab. Namun perlahan helmnya terangkat sedikit.

“Leonhardt... dia mungkin percaya pada tujuannya. Masalahnya, keyakinan tanpa batas cenderung menutup mata dari apa pun yang tak sesuai. Itu berbahaya.”

Ravyn cengar-cengir miring. “Kau ngomong seperti kakek tua. Tapi aku setuju, orang kayak dia pasti bakal merasa justified buat bunuh siapa aja yang dia anggap musuh — meski itu cuma anak kecil yang salah tempat.”

Alya merapatkan lututnya ke dada, menatap bara yang nyaris padam.

“Kalau rumor dia datang ke Arena benar... kita harus berhati-hati. Dia pasti akan jadi pusat perhatian. Kalau kita ikut tanding di sana, cepat atau lambat nama kita bakal beririsan.”

Lilith menautkan jemari di depannya, jubah putihnya melambai pelan. “Atau justru itu kesempatan. Arena mungkin tempat paling bebas di dunia ini. Kau bisa adu kemampuan, dapat reputasi, uang, bahkan perlindungan politik kalau menang besar. Dan... mungkin juga kita bisa mengukur Hero itu, seberapa dalam keyakinan dia dibandingkan batasnya sebagai manusia.”

Kurogane diam saja. Tapi Jyuken di sampingnya tampak berdenyut samar, seakan merespons kegelisahan tuannya.

Elaria menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita akan menuju Adventurer Arena. Tapi kita harus atur langkah cerdas. Menghindari masalah yang tak perlu, fokus pada tujuan kita sendiri.”

Ravyn menampar pundak Alya agak keras, membuat si swordswoman mendesis. “Hah, dasar tsundere. Kau pasti sudah nggak sabar mengayunkan pedangmu di sana, kan?”

“Diam, Ravyn! Jangan asal tuduh!” pipi Alya memerah kesal.

Lilith hanya tersenyum tipis, sementara Elaria menggeleng seakan putus asa pada kelakuan dua petarung itu. Dan di tengah keributan kecil mereka, Kurogane perlahan berdiri, menatap jalan setapak yang membelah hutan — jalur menuju kota besar terdekat, lalu entah kemana nasib akan membawa.

“Kalau semua sudah sepakat... kita berangkat setelah beresin kemah. Arena menunggu.”

Tak ada protes. Hanya rasa tegang yang menari tipis, bercampur antusiasme tak terucap. Mereka bangkit satu per satu, membereskan sisa api dan sampah, menyiapkan tas, memeriksa senjata.

Petualangan mereka kini bukan hanya soal melarikan diri dari tuduhan Outsider. Tapi juga tentang menghadapi mereka yang mengaku pahlawan — untuk melihat siapa sebenarnya monster di antara para manusia.

Jalan setapak di hutan terasa seolah tak berujung. Pepohonan tinggi menjulang dengan sulur-sulur lumut yang menggantung lembap, sementara sinar matahari hanya menembus dalam garis-garis tipis ke tanah berlumut hijau. Setiap langkah menimbulkan bunyi gemeretak ranting patah, berpadu suara burung liar dan gesekan daun.

Tapi meski tak pasti ke mana arah jalannya, tak ada satupun dari mereka yang tampak ragu. Mungkin itulah yang disebut ‘kebebasan’ oleh beberapa orang, meski bagai kertas kosong yang bisa kapan saja tercabik.

Ravyn paling depan, menunduk mencium tanah seperti binatang pemburu, memastikan arah tetap menuju barat. Alya tepat di belakangnya, satu tangan siaga pada gagang Arclight Fang. Sementara Elaria berjalan dengan santai, meski bola-bola es kecil tampak melayang perlahan mengelilinginya, menjaga suhu tetap nyaman dari hawa lembap hutan.

Lilith berjalan paling dekat dengan Kurogane, jarak mereka hanya seayunan tangan. Wajah Lilith, yang biasanya terlihat tenang hampir dingin, tampak sedikit lebih cerah. Matanya merah itu menatap sekeliling penuh rasa ingin tahu, sesekali jemarinya menyentuh pakis atau batang pohon, seolah merasakan dunia untuk pertama kali.

“Ini... aneh.” bisik Lilith pelan.

“Aneh?” tanya Kurogane dengan nada datar, namun sedikit menoleh padanya.

“Aku jarang sekali berjalan kaki sejauh ini, apalagi melewati hutan biasa. Biasanya... hanya duduk di ruang kerja kastil, menandatangani dokumen, membaca laporan, mengatur utusan diplomatik.” Lilith tertawa kecil, suaranya lembut tapi penuh getir. “Dunia rasanya jauh sekali kalau hanya dilihat dari balik jendela kaca berornamen.”

Kurogane tak menjawab, tapi langkahnya sedikit melambat, memberi Lilith lebih banyak waktu menikmati sekeliling. Dan saat itu, di sela dedaunan, mereka melihat cahaya besar yang memantul — permukaan air sungai yang lebar, mengalir tenang memotong hutan.

Dan di tepi sungai itulah berdiri sebuah kota. Dari kejauhan, tampak tembok batu tak terlalu tinggi, dermaga kayu tempat kapal dagang bersandar, dan menara lonceng kecil di tengah kota. Rumah-rumah beratap merah padat menghiasi pemandangan, cerobong asap mengepul damai.

“...Kita menemukan kota,” Alya berseru pelan, seakan takut kegembiraannya mengusir pemandangan itu.

“Dan lihat,” kata Elaria sambil menunjuk ke arah gerbang, “tak tampak terlalu ketat penjagaannya. Kita mungkin tidak akan kesulitan masuk.”

Benar saja. Saat mereka tiba di pintu gerbang, dua penjaga kota hanya memeriksa tanda party Black Fang secara formalitas, memastikan mereka bukan buronan aktif atau membawa barang ilegal. Begitu beres, para penjaga mempersilakan mereka lewat dengan anggukan ramah.

Lilith sempat menoleh pada penjaga yang memberinya senyum sopan, lalu membalas dengan anggukan kaku yang seolah menahan malu. Begitu mereka melangkah masuk, mata Lilith langsung melebar.

Deru suara pasar menyambut mereka. Pedagang berteriak menawarkan apel, daging asap, kerajinan kulit, sementara anak-anak kecil berlarian mengejar ayam yang lolos. Aroma roti panggang, rempah, dan asap kayu memenuhi udara. Pelayan kedai membawa kendi bir di atas kepala, dan tukang besi menata bilah pedang di depan bengkel.

Lilith menahan napas, seolah khawatir udara akan menghilang kalau dia terlalu rakus menghirupnya.

“Ini... kehidupan rakyat jelata sungguhan. Begitu... riuh, berantakan, tapi... hangat.”

Ravyn cekikikan. “Iya lah, Lilith. Bukan pesta makan malam berdarah di aula istana iblis-mu itu.”

Lilith melempar pandangan tajam pada Ravyn, tapi tak membantah. Dia malah tampak sedikit tersenyum malu.

Elaria menunjuk ke arah bangunan dua lantai berornamen perisai dan dua pedang bersilang — simbol Guild Petualang. “Kalau mau Lilith resmi bergabung dengan party kita, kita harus daftarkan dulu dia di sana.”

Mereka melangkah masuk ke gedung guild yang penuh petualang dari berbagai ras: dwarf dengan palu raksasa, beastkin bermantel kulit, hingga mage muda yang menenteng tongkat hampir setinggi tubuhnya. Ruangan itu dipenuhi papan pengumuman dengan kontrak-kontrak quest menempel rapat, sementara di belakang meja panjang berdiri beberapa petugas guild dengan seragam biru tua.

Lilith tampak berusaha menahan rasa gugup. Jemari rampingnya saling meremas saat menunggu giliran. Begitu dipanggil, Kurogane mendampingi Lilith ke meja resepsionis.

Petugas guild, wanita muda berkuping peri, menyambut dengan senyum profesional. “Selamat datang di Kantor Guild Aurelford. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Kurogane dengan suara dalam menjawab, “Kami ingin mendaftarkan anggota baru ke party kami.”

“Baik.” Si petugas mengambil beberapa formulir dan sebidang kristal analisis kecil. “Mohon letakkan tangan Anda di sini, Nona.”

Lilith menatap kristal itu sebentar, lalu menaruh telapak tangannya. Cahaya merah muda berputar dari dalam kristal, memantulkan sepasang sayap bayangan samar dan untaian aura gelap yang menari pelan. Petugas hanya mengangguk ringan, sepertinya sudah sering menangani klien unik.

“Terima kasih. Identitas Anda sudah tercatat. Sekarang, Party Black Fang resmi memiliki satu anggota baru: Lilith Noctelbane.”

Lilith menatap tanda guild baru di tangannya — simbol ukiran kecil berisi angka party dan nama guild yang terukir lembut dengan sihir. Jemarinya mengusapnya pelan, seolah tak percaya. Wajahnya yang biasanya datar kini terlihat benar-benar berseri.

“Jadi... sekarang aku benar-benar bagian dari kalian,” katanya nyaris berbisik.

Alya menepuk pundaknya dengan sedikit canggung. “Jangan berlebihan. Kau sudah bersama kita sejak menyeberang sungai iblis tempo hari.”

Ravyn malah mengusap kepala Lilith kasar, membuat tanduk gadis itu sedikit bergeser. “Kau ini manis juga kalau senyum gitu. Hati-hati nanti disamber adventurer mesum.”

“Ravyn... berhenti.” Lilith menepis pelan dengan pipi merah, tapi matanya tetap lembut.

Sementara itu, Kurogane hanya memperhatikan, tak berkata apa-apa, tapi tangannya sempat bertumpu ringan pada bahu Lilith sejenak, menstabilkan kegugupannya. Itu saja sudah cukup membuat Lilith menghela napas lega.

Begitu proses selesai, mereka berlima keluar dari guild, menapaki jalan batu kota sambil disapa wangi roti manis dan tawa anak-anak yang berlari. Bagi Lilith, ini mungkin pertama kalinya ia benar-benar merasa berada di tengah kehidupan yang nyata — bukan hanya penonton dingin dari singgasana tinggi yang penuh debu darah.

Dan di sela keramaian itulah, mereka melangkah bersama. Sebuah party aneh, Outsider dan yang dicurigai Outsider, menantang dunia yang sejak awal tak pernah memberi mereka tempat.

Pagi itu Guild kota Aurelford sudah ramai sejak matahari baru muncul malu-malu di balik atap rumah. Suara langkah sepatu boot beradu dengan lantai kayu, tawa kasar para petualang yang baru saja selesai mabuk semalam, dan bau campur aduk antara kulit binatang, keringat, serta roti gandum panggang dari kedai sebelah.

Party Black Fang berdiri di depan papan quest yang menjulang setinggi dua kali tinggi manusia. Kertas demi kertas menumpuk menutupi hampir setiap petak papan — mulai dari kontrak memburu goblin, permintaan mengawal pedagang lintas kota, sampai penyelidikan serangan misterius di desa pelosok.

Alya mencondongkan tubuh, satu tangan menahan dagunya sambil membaca cepat. “Banyak misi rank C dan B... tapi kebanyakan pengawalan. Membosankan sekali.”

“Jangan remehkan pengawalan,” balas Elaria kalem, jemarinya bergerak di udara menandai kontrak dengan sihir tipis supaya mudah dicari nanti. “Di dunia ini, karavan yang tampak damai bisa berisi intrik kerajaan atau jebakan bandit licik.”

Ravyn memelototi beberapa kontrak extermination, ekornya bergerak-gerak girang. “Tapi kalau boleh jujur, aku lebih suka bantai monster langsung daripada jalan ngelindungin peti rempah.”

Lilith menatap semua itu dengan mata merahnya yang besar, seolah anak kecil di toko mainan. “Banyak sekali permintaan. Tidak kusangka manusia punya sistem hidup yang... terorganisir begini untuk urusan membunuh monster.”

Kurogane hanya berdiri sedikit di belakang mereka, tangannya menyilangkan dada, helm hitamnya menunduk diam memperhatikan interaksi mereka.

Suasana di dalam guild hari itu memang sibuk. Namun di antara keributan suara, samar-samar telinga tajam Ravyn menangkap percakapan beberapa adventurer di sudut ruangan. Ia memberi kode dengan anggukan halus ke arah mereka.

“Dengar itu,” gumam Ravyn pelan.

Mereka berlima refleks memperhatikan. Sekelompok petualang lokal sedang berkumpul di dekat meja resepsionis, setengah berbisik tapi masih cukup keras untuk terdengar.

“Jadi katanya Hero yang baru dipanggil bakal mampir ke Aurelford juga? Pfft... seolah-olah kita perlu seorang penyelamat di kota sekecil ini,” ujar salah satu pria bersenjata tombak, nadanya terdengar setengah mengejek.

Rekan di sampingnya — seorang mage dengan jubah cokelat lusuh — hanya menggeleng, wajahnya masam. “Kau nggak dengar cerita dari kota Beryne? Mereka bilang party Hero itu bikin keributan waktu ngebersihin sarang wyvern, sampai beberapa rumah warga hancur. Yang penting monster mati, katanya. Tapi penduduk lokal? Disuruh sabar nunggu ganti rugi yang entah kapan datangnya.”

“Ha! Hero, huh? Buatku mereka cuma bintang panggung kerajaan, biar rakyat punya cerita heroik dikit. Kalau pun bener dia hebat, kebanyakan dari mereka terlalu angkuh buat ngerti apa arti merawat dunia yang mereka selamatkan.”

Tawa kecut terdengar. Namun di antara semua itu, hanya Lilith yang menoleh duluan pada Kurogane, matanya berpendar lembut tapi penuh pengertian. Alya dan Elaria juga saling menatap sekilas, seolah satu nama yang muncul di kepala mereka serentak.

Leonhardt.

Hening pendek menyelimuti party kecil mereka, meski papan quest di depan masih penuh dengan ratusan pekerjaan yang menunggu diambil. Kurogane perlahan menurunkan tangannya, kepalan jarinya mengepal sejenak lalu rileks lagi.

“Sepertinya ‘Hero’ tak selalu berarti penyelamat, ya,” gumam Alya, matanya menatap kosong pada kontrak rank B di depannya.

Elaria hanya menghela napas. “Gelarnya mungkin suci, tapi hati manusianya belum tentu.”

Ravyn mendecak, ekornya mencambuk ringan udara. “Kalau benar dia — Leonhardt — yang mereka maksud, aku penasaran seberapa ‘hebat’ dia memandang dirinya sendiri ketika tak ada penonton kerajaan di sekitar.”

Lilith diam sebentar, sebelum akhirnya meraih tangan Kurogane pelan, meski hanya sekilas. “Kau berbeda.”

Kalimatnya sederhana, tapi cukup untuk membuat party mereka diam lebih lama. Seakan mengingatkan: meski sama-sama datang dari luar dunia ini, Kurogane tak pernah menjejakkan sepatu di atas darah rakyat kecil demi harga dirinya.

Kurogane hanya mengangguk, tak berkata apa-apa, lalu kembali menatap papan quest.

“Kita tetap harus memulai dari satu kontrak. Kita butuh uang untuk logistik, dan butuh alasan untuk tetap bergerak.”

Lilith menghela napas lega seolah baru sadar menahan napas panjang. Alya meraih salah satu kertas misi rank B — penyelidikan serangan monster malam di ladang gandum luar kota. “Bagaimana dengan ini? Cukup menegangkan, tapi tak terlalu jauh. Kita bisa memantaunya malam nanti.”

“Bagus,” ujar Elaria singkat, mengambil kristal catat guild untuk mengonfirmasi pengambilan quest itu.

Sementara Ravyn sudah terlihat girang, mengacungkan tinjunya. “Akhirnya ada alasan buat ngeluarin otot!”

Lilith hanya tertawa kecil, jemarinya merapikan helaian rambut panjangnya yang ditiup angin masuk dari jendela. Dan di antara canda tipis mereka, masing-masing tak bisa menghapus bayang-bayang satu nama yang mulai ramai dibicarakan: Leonhardt, sang Hero — simbol harapan yang mulai retak di mata rakyat biasa.

Matahari pagi masih lembut ketika Party Black Fang meninggalkan gerbang kota Aurelford, melewati jalan tanah padat yang membelah hamparan padang rumput luas. Sesekali gerombolan kupu-kupu putih beterbangan di antara bunga liar ungu yang mekar. Udara wangi tanah basah sisa embun malam.

Tak perlu waktu lama sampai mereka tiba di tepian ladang gandum yang mulai menguning, tertata rapi berbaris panjang. Di sana, tampak dua sosok renta sibuk menebas gulma dan menumpuknya di keranjang anyaman. Si lelaki tampak bongkok dengan punggung penuh bintik usia, sedangkan istrinya memakai penutup kepala kain lusuh, sesekali mengusap peluh dari kening keriput.

Alya maju lebih dulu, mengangkat tangan memberi salam. “Pagi. Kami petualang yang diutus Guild untuk menyelidiki masalah ladang Anda.”

Kedua lansia itu menoleh hampir bersamaan. Senyum mereka tipis, lebih karena sopan santun daripada rasa lega.

“Oh, kalian dari Guild, ya? Terima kasih sudah datang sejauh ini,” kata si kakek, suaranya serak tapi ramah.

“Maaf merepotkan,” timpal sang nenek, jemarinya gemetar menggenggam sabit kecil. “Sebenarnya kami sudah mencoba menangani sendiri... tapi...”

Suara si nenek melemah, matanya terlihat sembab seperti kurang tidur. Alya memandang keduanya dengan lembut. “Bisa kalian ceritakan lebih detail apa yang terjadi?”

Sang kakek menarik napas panjang. “Sudah hampir dua minggu belakangan ini, setiap malam selalu terdengar suara aneh... seperti auman berat bercampur dengusan. Kadang kami kira itu hanya angin yang menampar dinding. Tapi keesokan paginya... selalu saja ada kerusakan.”

Dia menunjuk ke beberapa petak ladang di belakangnya. Di sana terlihat jelas tanah yang terburai, tanaman tercabut sampai akar-akarnya, meninggalkan lubang besar seperti dicekel paksa oleh cakar raksasa.

“Awalnya kami pikir hanya hewan liar dari hutan. Jadi kami tebarkan bubuk penolak hama di sekeliling ladang. Bau bubuk itu biasanya sangat tidak disukai rubah, serigala, atau babi hutan.”

“Dan itu tidak berhasil?” tanya Elaria pelan.

Mata si nenek menunduk, bahunya lunglai. “Tidak. Bahkan rasanya sejak kami menaburkan bubuk itu, serangannya semakin parah. Kami bangun besoknya... dan melihat setengah taman bunga hilang, dicabut sampai tanahnya terbuka. Kami sudah terlalu tua untuk memindahkan diri ke kota. Ini satu-satunya tanah warisan keluarga kami.”

Suasana sempat hening. Lilith memandang mereka dengan sorot iba yang tak ia sembunyikan, seolah baru sekarang menyadari betapa rapuh hidup orang-orang biasa yang jauh dari istana.

Sementara itu, Kurogane hanya diam, helmnya mengarah menatap lubang-lubang aneh itu, seolah sedang membaca pola tak kasatmata. Dan tanpa aba-aba, Ravyn tiba-tiba jongkok, nyaris merangkak di atas tanah, hidungnya nyaris menempel permukaan ladang yang rusak.

Alya mendesah panjang, menepuk keningnya. “Ravyn... apa yang kau lakukan sekarang?”

“Diam, ini penting,” kata Ravyn, suaranya terdengar teredam karena kepalanya menunduk terlalu rendah. Ia mengendus-endus tanah dengan serius, lalu memindahkan hidungnya ke tanaman yang setengah tercabut.

Elaria hanya memutar bola matanya malas. “Kita sedang bekerja sama dengan anjing pelacak barbar rupanya.”

Ravyn tidak menggubris. Ia terus mengendus, lalu wajahnya menegang. Ekor bersisiknya mencuat dan melambai cepat, tanda waspada.

“Aneh,” gumam Ravyn pelan. “Kalian bilang bubuk penolak hama, kan?”

Sang kakek mengangguk. “Iya, racikan dari tukang rempah di pasar kota. Katanya itu campuran getah pahit dan daun busuk, sangat tak disukai binatang.”

“Masalahnya,” kata Ravyn sambil bangkit perlahan, matanya menyipit curiga, “baunya justru... mirip daging segar. Bahkan ada aroma darah tipis yang baru dipotong.”

Lilith tampak bergidik kecil, menatap ladang yang seharusnya aman itu seolah baru saja melihat ladang jagal. Alya menoleh pada Kurogane, wajahnya kian serius. “Kalau begitu, mungkin justru bubuk itu yang memancing makhluk aneh datang lebih sering.”

Kurogane mengangguk tipis. “Kita akan memeriksa area sekitar ladang malam ini. Kalau benar makhluk itu datang karena tertarik bau tersebut, kita bisa memanfaatkannya sebagai umpan.”

Sang nenek tampak khawatir. “Tolong... berhati-hatilah. Kami sudah terlalu tua untuk memakamkan siapa pun lagi.”

Ravyn malah terkekeh miring. “Tenang saja, Nek. Yang akan dikubur nanti justru makhluk biadab yang ganggu kalian.”

Kalimatnya enteng, tapi ada tatapan ganas di mata Ravyn yang membuat sang kakek menelan ludah. Lilith lantas menunduk memberi salam kecil. “Terima kasih sudah memberi kami informasi. Malam nanti, mohon masuk rumah dan kunci rapat pintu.”

Mereka berlima kemudian berjalan perlahan menyusuri sisi ladang, mencari jejak lebih lanjut. Dan meski sinar matahari pagi masih terang benderang, tak ada satu pun dari mereka yang bisa mengusir bayang-bayang gelap yang menggeliat di pikiran masing-masing.

Karena jika memang ada makhluk yang datang tertarik pada bau darah tipis di ladang... berarti mereka mungkin akan menghadapi sesuatu yang lebih daripada sekadar hewan liar lapar.

Pagi hari merangkak pelan di ladang gandum tua itu, menumpahkan sinarnya yang keemasan ke daun-daun panjang yang bergetar tertiup angin. Party Black Fang memutuskan memeriksa lebih teliti sebelum meninggalkan lokasi, berjaga-jaga kalau ada petunjuk yang terlewat.

Lilith tampak terpesona, berjalan pelan di antara lorong gandum. Tangannya yang pucat membelai lembut bulir-bulir kuning yang hampir matang, matanya merah itu bersinar heran.

“Jadi ini... ladang gandum,” bisiknya seolah takut merusak keheningan pagi. “Aku sering mendengar cerita tentang lahan luas yang penuh tanaman bergoyang diterpa angin, tapi... baru kali ini benar-benar melihatnya.”

Elaria berjalan tak jauh darinya, jari-jarinya meraba batang gandum lalu memeriksa tanah lembap di sekitar. “Unik juga. Di tanah-tanah leluhurku, hutan jauh lebih dominan. Kami menanam sedikit herbal dan jamur di balik pohon besar, tapi tidak pernah sebesar ini. Begitu banyak tenaga dan waktu hanya untuk menumbuhkan satu jenis tanaman. Manusia memang aneh... sekaligus gigih.”

Alya yang sedari tadi agak murung, tiba-tiba menghela napas panjang lalu menatap hamparan ladang dengan senyum tipis. “Tempat ini mengingatkanku pada kampung halaman. Ada banyak ladang seperti ini di desa tempatku dibesarkan... rasanya seperti pulang, walau cuma sebentar.”

Sementara itu Ravyn malah tengkurap setengah tiarap, hidungnya menempel tanah, ekornya bergerak-gerak kocak di udara. Alya sampai mendengus kesal. “Ravyn, kau mirip anjing kampung yang lagi nyari tikus.”

“Diam kau, tsundere!” Ravyn mengibas ekornya ke arah Alya tapi tak berhenti mengendus. “Tanah di sini terlalu harum. Ada jejak yang tertinggal... tapi belum kutahu apa.”

Lilith menahan tawa kecil, menutup mulut dengan punggung tangannya, matanya menatap Ravyn seolah mengamati makhluk eksotis. Sementara Elaria hanya geleng-geleng, menahan komentar sarkastik yang rasanya sudah penuh di ujung lidahnya.

Kurogane tak bergabung dengan mereka. Dari tadi, pria tak berwajah itu berjalan menjauh, menyusuri batas ladang yang bersinggungan dengan tepi hutan kecil. Langkahnya nyaris tak berbunyi, armor hitamnya hanya sedikit bergesekan dengan semak rendah.

Semakin masuk ke bayangan pohon, Kurogane mulai melihat sesuatu yang tak wajar. Sebuah batang pohon pinus berdiameter hampir satu meter terlihat miring, kulit kayunya terkelupas kasar seperti digesek benda besar. Beberapa meter lagi, dua batang lain patah di tengah, meninggalkan serat kayu yang sobek tak rapi.

Lalu ia menemukannya: jejak kaki di tanah lempung, masih lembap. Besar, jelas-jelas milik makhluk berkaki empat. Setiap telapak berujung lima cakar panjang yang menancap dalam, meninggalkan goresan menakutkan.

Kurogane diam lama menatap pola itu, seolah menganalisis peta rahasia. Dari arah tumbangnya pepohonan dan kedalaman jejak, bisa ditebak bahwa apapun makhluk itu, tubuhnya begitu besar hingga pepohonan ini saja tak mampu menahan bobotnya.

Tanpa banyak membuang waktu, Kurogane segera memutar badan dan kembali ke ladang. Dari jauh ia sudah melihat Lilith dan Alya yang tertawa kecil menanggapi Ravyn yang kini malah merangkak mundur dengan wajah kusut.

Lihat selengkapnya