Outsider Number One

Try Guntur Prasetya
Chapter #7

Bab 7 - Bayangan di Balik Sorak Sorai

Keramaian kota Aurelford hari itu hampir menyerupai festival. Jalan utama penuh sesak oleh warga yang berdesakan demi melihat sekilas sosok sang Hero, Leonhardt Glorian, bersama partynya yang melangkah dengan percaya diri di tengah barisan penjaga kota. Sorak-sorai, tepuk tangan, dan tabuhan drum dari musisi jalanan bercampur jadi satu, menimbulkan gegap gempita yang menggetarkan udara. Namun di antara riuh sorakan itu, tatapan-tatapan penuh keraguan dan bisikan sinis juga terdengar jelas, seakan ada luka lama yang dibangkitkan oleh kedatangan sang pahlawan.

Kurogane berdiri di pinggir jalan bersama partynya, Black Fang, yang beranggotakan lima orang. Sosoknya yang diselimuti armor bayangan tampak kontras dengan keramaian yang penuh warna. Di sisinya, Alya yang menautkan alis hanya bisa mendengus kecil, tak tertarik pada parade yang seolah dipaksakan ini. Elaria dengan tatapan dinginnya mengamati reaksi warga satu per satu, seakan sedang menghitung persentase antara yang bersorak dan yang mencibir. Ravyn, yang biasanya lebih blak-blakan, justru menggertakkan giginya dengan kesal, tak suka melihat Leonhardt dipuja seolah dewa. Lilith, sementara itu, hanya tersenyum samar—senyum yang ambigu, antara mengejek dan sekadar mengamati.

Di tengah kerumunan, suara teriakan memuji berganti dengan gumaman bernada getir.

“Pahlawan, katanya… tapi apa dia benar-benar layak?”

“Bukannya gara-gara mereka, banyak kota kecil yang malah terbengkalai?”

“Lihat, wajahnya sombong sekali.”

Kurogane hanya terdiam, memandangi punggung sang Hero yang semakin jauh. Dalam hatinya, ada perasaan asing—bukan iri, bukan kagum, tapi semacam kejengkelan yang dingin. Seolah bayangan Leonhardt adalah simbol dari dunia yang tidak pernah benar-benar mengakui keberadaan mereka.

Alya melipat tangan di dada, suaranya ketus. “Kita jelas nggak dibutuhkan di sini. Semua orang sibuk menyembah-nyembah sosok palsu itu.”

Ravyn menggeram, ekornya nyaris berkibas jika bukan karena ia menahannya. “Tch, aku muak. Kalau terus berdiri di sini, aku bisa saja melemparkan batu ke arah dia.”

Elaria hanya menghela napas panjang. “Tak ada gunanya membuang waktu. Perayaan ini hanya wajah lain dari politik kota.”

Lilith menoleh pada Kurogane, matanya yang merah berkilau di bawah cahaya senja. “Kurogane-san, bagaimana menurutmu? Apakah kita akan terus menonton sandiwara ini?”

Kurogane mengalihkan pandangannya dari jalan utama. Ia berbalik dengan tenang, langkahnya mantap seakan keputusan sudah bulat. “Tidak ada alasan bagi kita untuk berada di sini. Aurelford masih menyimpan banyak pekerjaan. Jika orang-orang memilih memuja pahlawan mereka, biarkan saja. Kita kembali ke Guild.”

Keempat anggota Black Fang saling pandang, lalu mengikuti sang pemimpin tanpa ragu. Keramaian di belakang mereka masih menggema, tapi semakin jauh mereka melangkah, semakin jelas kontras dunia yang mereka hadapi: di luar, pesta dan sorak-sorai; di dalam hati mereka, hanya ada kesadaran bahwa jalan seorang petualang sejati tidak ditentukan oleh sorakan massa.

Pintu kayu besar Guild Aurelford terbuka lebar, menyambut mereka dengan suasana berbeda. Bau kertas, kayu tua, dan deru suara petualang lain menggantikan hiruk pikuk luar. Di papan misi, puluhan kertas permintaan bantuan terpajang, menanti tangan yang rela mengangkatnya.

Kurogane berhenti sejenak di depan papan itu, menatap lembaran-lembaran tersebut. “Inilah alasan kita ada di sini,” gumamnya lirih. “Bukan untuk sorak-sorai, tapi untuk pekerjaan nyata.”

Dan di detik itu, Black Fang kembali meneguhkan langkah mereka sebagai party yang berdiri di luar sorotan cahaya. Sebuah jalan yang tak membutuhkan pengakuan publik—hanya tekad dan keyakinan satu sama lain.

Suasana di dalam Guild Aurelford terasa hangat dan kontras dengan hiruk-pikuk di luar. Aroma kayu tua bercampur dengan wangi alkohol, suara riuh rendah obrolan para adventurer mengisi ruangan tanpa ada teriakan berlebihan seperti di alun-alun.

Kurogane berdiri tegap di depan papan quest. Matanya yang tersembunyi di balik helm hitam itu menelusuri sederet kertas perkamen yang menempel, seakan menimbang satu demi satu dengan sabar. Di belakangnya, Alya, Elaria, Ravyn, dan Lilith berdiri dengan posisi masing-masing, memperhatikan sambil melontarkan komentar.

Ravyn menyilangkan tangan di dada, menguap kecil. "Hmph. Kalau terus mengingat wajah Hero tadi, aku bisa muntah. Lihat aja, Kuro san, kertas quest ini lebih jujur daripada senyumannya."

Alya mencondongkan tubuh, jemarinya menunjuk pada salah satu misi berburu bandit. "Heran, ya? Tadi di jalan, ada yang teriak-teriak bahagia, tapi ada juga yang melotot kayak mau lempar batu ke arah Leonhardt. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan?"

Elaria menutup matanya sebentar, suaranya tenang tapi menusuk. "Bagi rakyat jelata, Hero mungkin simbol harapan. Tapi… untuk mereka yang pernah melihat ulahnya di luar panggung, ia hanyalah bayangan dari keangkuhan manusia."

Lilith yang sejak tadi hanya menyandarkan tubuh rampingnya di tiang dekat papan, menyunggingkan senyum tipis penuh sinisme. "Cahaya yang terlalu menyilaukan selalu mengundang bayangan. Dan biasanya, bayangan itu lebih jujur dibanding terang palsu."

Kurogane meraih salah satu kertas perkamen, matanya meneliti tulisan di atasnya. Quest: Pembasmian Wyvern di Pegunungan Forlan. Ia menarik kertas itu tanpa ragu, kemudian menoleh singkat. "Ini cukup. Mengalihkan perhatian kita dari parade bodoh di luar."

Ketika mereka berbalik menuju pintu, suasana tiba-tiba berubah. Pintu berat Guild berderit terbuka, dan cahaya sore memancar masuk bersama suara lantang.

"Salam untuk kalian semua, para petualang Aurelford!"

Leonhardt melangkah masuk dengan senyum lebar, partynya mengikuti di belakang bak pasukan yang baru pulang dari kemenangan besar. Sorakan kecil terdengar dari beberapa adventurer muda, namun sebagian besar hanya menoleh singkat lalu kembali sibuk dengan minuman mereka.

Senyuman Leonhardt tampak manis di permukaan, tapi nadanya sarat dengan rasa pamer. "Aku senang akhirnya bisa menginjakkan kaki di kota Guild sebesar ini. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku—sang Hero—akan melindungi tempat ini dari segala bahaya."

Beberapa orang terkekeh kecil, sebagian hanya menggeleng. Dan kemudian matanya menangkap Party Black Fang yang bersiap keluar. Senyumnya melebar, tapi nadanya berubah tajam.

"Oh… rupanya kalian di sini juga." Pandangannya menelusuri Alya, Elaria, Ravyn, dan Lilith satu per satu. "Sayang sekali, gadis-gadis secantik kalian justru memilih mengikatkan diri pada makhluk seperti Faceless. Takdir yang malang, bukan?"

Hening mendadak melingkupi Guild. Beberapa adventurer yang mendengar menahan tawa, sebagian menunggu reaksi.

Alya mengangkat alisnya, bibirnya melengkung tipis. "Malang? Tidak. Justru aku merasa lega tidak berada di bawah bayang-bayang pria yang hanya bisa berpose untuk rakyat."

Ravyn mendengus keras, menatap Leonhardt seperti menatap mangsa yang tidak layak. "Kalau aku harus memilih, lebih baik jadi ‘malang’ di sisi Kuro… daripada jadi sampah sombong yang butuh sorakan kosong."

Elaria membuka matanya perlahan, sorot biru dinginnya menembus Leonhardt. "Aku lebih percaya pada bayangan yang berjalan jujur… daripada cahaya yang busuk dari dalam."

Lilith menambahkan dengan nada dingin dan penuh ironi, "Dan satu hal lagi, Hero—bunga tidak pernah salah memilih taman. Hanya tangan kasar manusia yang sering memetiknya untuk alasan egois."

Seisi Guild langsung pecah. Tawa tertahan akhirnya meledak, membuat Leonhardt menegang. Wajahnya memerah, senyum sok bijak itu berubah kaku.

Kurogane, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Suaranya tenang, namun cukup keras untuk terdengar oleh semua orang. "Cukup. Kita punya misi."

Tanpa menoleh lagi ke arah Leonhardt, ia membuka pintu Guild dan melangkah keluar. Para heroine mengikutinya satu per satu, namun sebelum melewati ambang, mereka masih sempat melemparkan pukulan terakhir.

Alya melirik dengan senyum mengejek. "Semoga kau bisa menikmati pesta… karena kami akan menikmati kemenangan yang nyata."

Ravyn menambahkan, "Jangan sampai kau tersesat mencari tepuk tangan, Hero."

Elaria menunduk singkat, tapi nada suaranya tajam. "Suatu hari, cahaya palsu akan padam. Dan aku akan ada di sana untuk menyaksikannya."

Lilith tersenyum misterius, suaranya berbisik namun penuh racun. "Ingat, Hero… bayangan selalu lebih dekat daripada yang kau kira."

Dengan itu, pintu Guild menutup, meninggalkan Leonhardt berdiri kaku di tengah ruangan—sementara derai tawa para adventurer masih menggema.

Hamparan rumput hijau terbentang luas di hadapan mereka, bergoyang lembut diterpa angin sore. Dari luar, tempat itu tampak biasa saja, seolah tak ada yang aneh selain kicauan burung dan aroma tanah basah. Namun, langkah Kurogane yang terhenti tiba-tiba membuat yang lain ikut waspada.

Ia menoleh perlahan, suara beratnya terdengar pelan namun penuh ketegasan.

"…Jangan terlalu percaya pada ketenangan ini. Angin berkata lain."

Alya mengerutkan dahi, tangan kirinya refleks menggenggam gagang pedang Arclight Fang. "Maksudmu?"

Kurogane mengangkat tangannya dan menunjuk ke atas. "Lihat."

Serentak, pandangan mereka terangkat ke langit. Detik itu juga, senyum masing-masing lenyap, berganti ketegangan. Bayangan-bayangan hitam berputar di angkasa, sayap lebar membelah langit sore, mengitari mereka layaknya elang lapar menunggu mangsa lengah.

Wyvern.

Makhluk menyerupai naga setinggi dua meter dengan sisik kusam kehijauan, sayap yang mampu menciptakan badai mini sekali kibasan, ekor panjang berujung tajam bak cambuk baja, dan beberapa di antaranya menyalakan api di kerongkongan, bara merah menyala di balik gigi runcing mereka.

Alya menghela napas pendek. "Sial… jumlahnya lebih banyak dari laporan quest."

Ravyn menyeringai liar, matanya menyala merah samar. "Heh. Jadi kali ini yang ‘diburu’ malah memburu kita. Cocok."

Sayap raksasa mengepak keras. Salah satu Wyvern melesat turun dengan kecepatan brutal, ekornya berayun seperti cambuk maut ke arah mereka. Refleks, Kurogane berteriak singkat.

"Pencar!"

Dalam sekejap, kelima anggota Black Fang menyebar ke arah berbeda, tanah bergetar keras saat ekor Wyvern menghantam tanah, meninggalkan kawah memanjang. Debu beterbangan, dan suara raungan memenuhi udara.

Dimulailah perburuan para Outsider.

Wyvern di atas langit berputar, memilih target, sementara Black Fang menunggu celah. Beberapa ekor meluncurkan semburan api, membuat rerumputan terbakar.

"Kalau kita hanya bertahan, kita akan dipanggang hidup-hidup!" Alya berteriak, kilatan listrik mulai melompat dari pedangnya.

Kurogane mengangguk singkat, suaranya tegas. "Kita serang balik. Lilith, Ravyn—gabungkan serangan kalian!"

Lilith yang sudah mengangkat sabit Sanguis Luna, melangkah ke depan. Ujung senjata itu berkilau merah saat darah sihirnya mengalir, menyelimuti bilah dengan aura pekat. Ravyn meninju kedua tangannya, nyala api merah menyelimuti lengannya, mengubahnya seperti cakar naga membara.

Mereka berdua melompat bersamaan. Lilith mengayunkan sabitnya dalam gerakan melingkar, menciptakan pusaran merah darah. Ravyn menyusul dengan kepalan naga yang dilapisi api, menghantam tepat di tengah pusaran.

BOOOOM!

Ledakan merah membumbung ke udara, membuat kawanan Wyvern di atas terguncang oleh gelombang kejut dan cahaya menyilaukan. Beberapa ekor meraung panik, terhempas menjauh dari pusat ledakan.

"Red Break!" Ravyn berseru, suaranya dipenuhi adrenalin.

Serangan gabungan mereka menciptakan area yang mustahil didekati, membuyarkan formasi kawanan Wyvern.

Kurogane tidak membiarkan momentum itu hilang. "Alya, Elaria! Sekarang giliran kalian."

Elaria sudah mengangkat tongkat sihirnya, udara sekelilingnya langsung menurun drastis. Kristal-kristal es tajam bermunculan di udara, ribuan jumlahnya, berkilau seperti pecahan kaca. Dengan satu ayunan tangannya, kristal itu meluncur ke langit, menghujani kawanan Wyvern.

Suara siulan tajam memenuhi udara, sisik keras para Wyvern tergores, beberapa tertusuk hingga jatuh tersungkur.

Di saat yang sama, Alya melompat tinggi. Listrik membungkus seluruh tubuhnya, pedang Arclight Fang bersinar menyilaukan. Begitu kristal es mengenai target dan melemahkan pergerakan Wyvern, Alya mengeksekusi dengan tebasan kilat yang menyambar tubuh-tubuh naga itu tanpa ampun.

"Blue Check!" seru Alya, petir dan es bertabrakan dalam harmoni mematikan.

Cahaya biru-putih meledak di langit, tubuh-tubuh Wyvern jatuh satu per satu ke tanah, menimbulkan dentuman keras.

Namun masih ada beberapa yang tersisa, meraung penuh amarah. Mereka merendahkan tubuh, siap menyelam ke arah Black Fang.

Kurogane akhirnya melangkah maju. Tangan hitamnya meraih Jyuken yang sejak tadi ia tancapkan ke tanah. Aura gelap merembes dari pedang itu, melahap udara di sekitarnya.

"…Cukup bermain-main."

Dengan satu tebasan, energi hitam pekat meluncur bagaikan bulan sabit raksasa, menyapu barisan Wyvern yang tersisa. Dalam sekali hentakan, tubuh-tubuh itu terbelah atau terhempas ke tanah tanpa sempat meraung.

"Black Attack."

Keheningan menyelimuti hamparan rumput. Angin kembali bertiup, membawa bau darah dan abu. Kawanan Wyvern yang tadi mengitari langit kini tak lebih dari bangkai berserakan di tanah terbakar.

Ravyn menarik napas panjang, wajahnya masih diliputi semangat bertarung. "Hah… itu baru perburuan yang layak."

Alya menurunkan pedangnya, menatap ke langit kosong. "Kalau begini, jelas lebih bermanfaat daripada pesta palsu di kota."

Elaria menatap ke arah Kurogane, suaranya lembut tapi sarat makna. "Ara, dan lagi… bukankah bayanganmu lebih tajam dari cahaya siapa pun?"

Lilith tersenyum samar, mengusap sabitnya yang masih meneteskan sisa darah sihir. "Bayangan… selalu mengambil apa yang seharusnya jatuh."

Kurogane tidak menjawab, hanya menatap sekeliling dengan tatapan dingin dari balik helmnya. Ia mengangkat Jyuken, lalu menyarungkannya kembali.

"Quest selesai."

Rumput hijau yang tadi bergoyang tenang kini berubah merah, becek oleh darah Wyvern. Aroma amis menusuk hidung, bercampur dengan asap tipis dari bekas semburan api yang membakar tanah.

Di tengah pemandangan itu, Party Black Fang bergerak. Pisau pendek, sabit, bahkan pedang digunakan untuk memenggal kepala satu per satu Wyvern yang sudah mereka kalahkan. Guild memang kejam—mereka tidak peduli berapa banyak darah yang tertumpah, selama ada bukti fisik yang bisa dibawa pulang.

Alya mengangkat satu kepala Wyvern dengan kedua tangan, lalu meletakkannya ke tumpukan. "Ugh… berat juga. Tapi ya, aturannya begini."

Ravyn justru terlihat menikmati, senyum lebarnya muncul setiap kali ekor atau kepala Wyvern terlepas. "Heh. Aku bisa melakukan ini seharian."

Lilith memutar sabit Sanguis Luna dengan gerakan anggun, memenggal kepala seolah itu hanya bunga mawar. Darah yang menempel di bilahnya terserap oleh aura merah sabit itu, lenyap begitu saja. "Mengerikan bagi manusia biasa, tapi… untukku, darah hanyalah bagian dari keindahan."

Berbeda dengan yang lain, Elaria tampak pucat. Tangan halusnya sempat bergetar ketika harus menyentuh leher Wyvern yang penuh darah. "M-memenggal… makhluk sebesar ini? Benar-benar… menjijikkan."

Alya nyaris tertawa terbahak. "Apa? Kau yang biasanya dingin malah nggak kuat darah begini?"

Ravyn ikutan meledek, sambil mengangkat kepala Wyvern ke arah Elaria. "Lihat, si Putri Salju ternyata bisa pucat beneran. Haha!"

Bahkan Lilith tersenyum tipis. "Mungkin karena ia terbiasa dengan es murni… bukan darah panas yang mengalir."

Wajah Elaria makin merah, campuran malu dan muak. Ia mendengus kecil, lalu menggertakkan giginya. Dengan cepat, ia mengayunkan sihir es pada kepala Wyvern di depannya, membekukannya setengah, lalu memotongnya dengan satu gerakan bersih.

Crack! Kepala itu jatuh mulus.

"Begitu. Lihat? Aku bisa melakukannya juga," ucap Elaria dengan nada yang dipaksakan tenang.

Alya menepuk pundaknya sambil menahan tawa. "Bagus, Elaria. Kau lulus ujian darah pertamamu."

Tawa kecil terdengar dari mereka bertiga, mencairkan ketegangan sejenak. Namun, hanya satu orang yang tidak ikut serta.

Kurogane.

Ia tidak sibuk memenggal kepala, melainkan berjalan pelan mengitari medan pertempuran. Armor hitamnya berkilau samar diterpa sinar matahari yang condong ke barat. Satu demi satu, tubuh Wyvern ia tarik, lalu ia kumpulkan ke satu sisi. Bukannya hanya kepala, ia tahu Guild juga membayar untuk sisik dan tulang—lebih banyak tubuh berarti lebih banyak uang.

Tapi bukan itu yang membuatnya bergerak dalam diam. Aura bayangan yang melingkupi tubuhnya bergetar, seakan ada sesuatu yang ia rasakan selain bau darah.

Lilith, yang memperhatikannya dari jauh, menyipitkan mata. "Kurogane… terlihat lebih sunyi dari biasanya."

Ravyn menaruh kepala Wyvern ke tumpukan lalu meludah ke tanah. "Biasanya setelah pertarungan, dia minimal bilang sesuatu. Sekarang? Diam kayak batu."

Alya akhirnya bersuara, menoleh ke arah Kurogane yang baru saja selesai menyeret bangkai Wyvern. "Hei, Kuro. Ada apa denganmu? Kau bahkan lebih dingin dari biasanya."

Kurogane berhenti, tangannya masih memegang tubuh Wyvern. Sesaat ia tidak menjawab, hanya berdiri menatap medan yang porak-poranda. Bayangannya tampak bergetar samar di bawah kakinya.

Hening itu membuat suasana terasa berat. Hingga akhirnya ia berbicara.

"…Setiap Wyvern ini, ada jejak sihir di tubuhnya."

Empat pasang mata menoleh kaget.

Kurogane menancapkan Jyuken ke tanah, suaranya tenang tapi tegas. "Normalnya, kawanan Wyvern hanya memangsa hewan atau manusia yang melintas di jalurnya. Tapi yang tadi… mereka mengitari kita, menunggu aba-aba. Itu bukan perilaku alami. Seseorang… mengendalikan mereka."

Alya menggenggam pedangnya lebih erat. "Mengendalikan Wyvern? Itu… gila."

Elaria yang tadinya masih sibuk menahan rasa muaknya, kini wajahnya serius. "Benar. Wyvern bukanlah binatang jinak. Jika ada orang yang mampu menanamkan sihir kontrol ke makhluk sebesar ini… maka lawan kita bukan sembarang penyihir."

Ravyn mendesis rendah, ekspresinya berubah tajam. "Heh. Jadi ada bajingan yang sengaja mengatur mereka buat menyerang kita? Itu berarti… kita bukan kebetulan target, kan?"

Lilith menyentuh dagunya, senyum samar muncul di bibirnya. "Menarik. Bayangan kita ternyata sedang diperhatikan oleh seseorang… entah musuh, atau hanya ‘penonton’."

Kurogane mengangkat kembali Jyuken, menatap ke arah hamparan luas yang sudah dipenuhi bangkai naga. Suaranya rendah, nyaris terdengar seperti gumaman.

"…Gimanapun, ini bukan sekedar misi. Ada seseorang di balik semua ini."

Angin sore berhembus, membawa aroma darah yang semakin pekat. Dan untuk pertama kalinya sejak pertempuran usai, kelima anggota Black Fang merasa bahwa perburuan mereka baru saja membuka pintu menuju bahaya yang lebih besar.

Hamparan rumput luas di luar tembok Aurelford kini hanya tinggal kenangan di belakang mereka. Cahaya mentari sore menyinari Party Black Fang yang berjalan gagah, setiap karung besar berisi kepala Wyvern tersampir di punggung mereka.

Adventurer lain yang melihat di kejauhan menundukkan kepala dengan campuran hormat dan heran—tidak setiap hari ada kelompok yang pulang dengan bukti pembantaian kawanan Wyvern sebanyak itu.

Namun, tepat saat mereka hendak menapakkan kaki menuju pintu Guild, sebuah suara familiar terdengar memotong langkah mereka.

“Berhenti di situ.”

Langkah Alya otomatis terhenti. Ravyn mendesis pelan. Lilith hanya tersenyum samar, sementara Elaria mengerutkan alisnya.

Kurogane menoleh perlahan.

Di hadapan mereka, berdiri Leonhardt dengan jubah putih emasnya yang memantulkan cahaya sore. Hero Party berdiri di belakangnya, berpose seolah mereka sedang berada di atas panggung. Beberapa warga kota ikut berkumpul, mengitari mereka, penuh rasa ingin tahu.

“Apa ini?” tanya Kurogane dengan nada santai, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Pertunjukan jalananmu lagi, Leonhardt?”

Leon mengangkat dagunya, bibirnya tersungging dalam senyum angkuh. “Pertunjukan? Tidak. Aku hanya melakukan kewajiban seorang Hero. Menyampaikan pada warga Aurelford… bahaya yang kalian bawa.”

Suasana seketika menegang. Beberapa warga yang berdiri di sisi jalan mulai berbisik, lalu suara-suara sumbang terdengar.

“Mereka Outsider, kan? Orang-orang buangan…”

“Aku dengar ras itu bisa menghancurkan satu kota kalau marah…”

“Mereka bukan manusia biasa, kenapa Guild mengizinkan mereka?”

Leon mengangkat tangannya, seolah menyulut api di dalam kerumunan. “Kalian lihat sendiri, bukan? Mereka bukan adventurer biasa. Outsider… barbar yang tidak mengenal aturan, yang bisa menghancurkan kalian kapan saja.”

Suara makian pun pecah.

“Pergi dari kota ini!”

“Kami tak butuh monster berpakaian manusia!”

“Faceless keparat!”

Ravyn menggertakkan gigi, tangannya sudah mengepal. “Bajingan ini…”

Alya menahan pundaknya, meski wajahnya sendiri memerah karena marah.

Sementara itu, Leon hanya tertawa kecil. Sinis. Tatapannya menusuk ke arah Kurogane dan keempat gadis di sisinya, seakan berkata: Rencanaku berjalan lancar.

Kurogane hanya menarik napas panjang. Lalu ia melangkah maju satu langkah.

“Lucu.”

Kata itu terlepas ringan, tapi cukup untuk membuat kerumunan perlahan diam.

“Lucu sekali, Leonhardt. Kau bicara tentang bahaya, tapi justru kau sendiri yang membawanya.”

Leon mengangkat alisnya, masih memasang wajah angkuh. “Apa maksudmu, Faceless?”

Kurogane menatapnya lurus, suara dalam helm hitamnya terdengar seperti gema dingin.

“Sehari sebelum kau tiba di Aurelford, kami mengambil quest untuk melindungi sepasang lansia di luar tembok kota. Ladang mereka diserang seekor Earth Dragon.”

Beberapa warga berbisik, wajah mereka berubah kaget. Leon masih terdiam.

“Kami mengusirnya. Tapi sesuatu terasa aneh. Earth Dragon itu tak seharusnya datang berkali-kali hanya demi ladang kecil.” Kurogane berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih tajam. “Kami menemukan bahwa bubuk pengusir hama yang biasa digunakan pasangan lansia itu telah ditukar. Diganti dengan bumbu dapur bercampur aroma darah.”

Kerumunan warga membelalak.

“Bumbu dapur? Aroma darah?”

“Itu… bisa memancing naga, kan?”

Elaria ikut maju, menambahkan dengan nada dingin. “Benar. Itu umpan. Bukan kebetulan. Seseorang menaruhnya di sana dengan sengaja, untuk memastikan Earth Dragon datang lagi.”

Kurogane mengangguk pelan. Tatapannya kini menusuk Leonhardt.

“Dan ketika kami kembali malam itu untuk mengusir Earth Dragon… siapa yang kebetulan sudah ada di sana, menunggu dengan gagah seolah seorang pahlawan?”

Keheningan menelan jalanan Aurelford. Semua tatapan kini beralih ke Leonhardt.

Hero Party di belakangnya mulai tampak gelisah. Leon sendiri masih tersenyum, meski sudut bibirnya sedikit kaku.

Kurogane melanjutkan dengan suara rendah, namun setiap kata menggema.

“Pahlawan yang sesungguhnya tidak menunggu korban jatuh agar terlihat bersinar. Ia mencegah, melindungi, bukan bermain sandiwara.”

Kerumunan mulai bergumam—kali ini bukan makian, melainkan kebingungan, bahkan keraguan.

Leon tertawa kecil, meski terdengar lebih terpaksa daripada sebelumnya. “Heh… kau berani menuduh Hero seperti itu? Faceless benar-benar tahu cara mengarang cerita.”

Namun tawa itu tidak mampu menghapus bisikan-bisikan di sekitar. Aura angkuhnya mulai retak, meski ia masih berusaha menutupi dengan senyum sinis.

Langit Aurelford mulai berubah jingga keunguan. Matahari merayap turun, meninggalkan cahaya terakhir yang membalut kota dengan suasana tegang. Di depan kantor Guild, dua kubu berdiri berhadap-hadapan: Party Black Fang dengan karung-karung bukti pembantaian Wyvern di sisi mereka, dan Leonhardt bersama Hero Partynya yang perlahan mulai kehilangan aura gemilangnya.

Warga yang awalnya bersorak memuja Leon kini mulai saling berbisik, keraguan merambat di antara mereka.

“Kalau yang dikatakan Faceless itu benar…”

“Mungkinkah Hero kita… membohongi kita semua?”

“Tidak mungkin… atau… iya?”

Senyum angkuh Leonhardt yang biasanya jadi senjata pamungkasnya kini tampak kaku. Setetes keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski ia masih berusaha berdiri gagah.

“Kau bicara banyak, Faceless,” ucapnya, suara bergetar tipis. “Tapi… buktinya? Tunjukkan bukti kalau kau tidak sedang mengarang cerita murahan untuk menjatuhkan Hero!”

Sebelum Kurogane sempat membuka mulut, suara berat menggema dari arah pintu Guild.

“Bukti itu sudah ada, bocah.”

Semua kepala menoleh.

Seorang pria paruh baya dengan tubuh kekar, rambut memutih di sisi kanan-kiri, dan tatapan tajam seperti baja melangkah keluar. Bajunya sederhana, namun emblem Guild berbentuk taring serigala di dadanya membuat semua adventurer segera mengenalnya.

Lihat selengkapnya