Sorak sorai penduduk kota Aurelford masih terasa menggema di benak mereka, meski suara itu telah jauh tertinggal di belakang. Jalan setapak yang membelah hutan hijau kini menjadi panggung baru bagi Party Black Fang. Pepohonan menjulang tinggi, dedaunan bergoyang tertiup angin, sementara aroma tanah lembab dan rerumputan liar menandai awal dari perjalanan panjang mereka berikutnya.
Di barisan depan, langkah Kurogane tetap tenang dan mantap, tak pernah goyah meski beban pedang terkutuk menggantung di punggungnya. Di belakangnya, Alya melirik punggung sang pemimpin gelap itu dengan tatapan menyipit.
“Kalau dipikir-pikir, kau itu nggak pernah sekalipun kasih dirimu waktu buat istirahat, ya?” celetuk Alya sambil mengibaskan poni pirangnya yang terkena angin. “Memang kau itu mesin berjalan, atau memang otakmu nggak pernah bisa berhenti mikir?”
Kurogane menoleh sedikit, helm hitamnya memantulkan bayangan dedaunan. Ia hanya menghela napas pelan, seolah tak ingin memberi jawaban panjang. “Berjalan ke depan adalah satu-satunya cara yang kupunya.”
“Ugh, jawaban standarmu lagi…” Alya menggerutu, tapi bibirnya menahan senyum samar.
Ravyn yang sejak tadi berjalan sambil menyeret kakinya tiba-tiba mengangkat tangan, wajahnya meringis. “Serius deh, apa kita harus terus jalan kaki begini? Kaki ini rasanya udah mau meledak! Aku kan punya darah naga, bukannya berarti aku pantas dapat sedikit perlakuan istimewa?”
Seketika Elaria yang berjalan di sampingnya melirik dengan tatapan dingin, rambut peraknya berkilau diterpa cahaya matahari yang menembus sela pepohonan. “Darah naga, katanya… tapi keluhanmu lebih mirip anak kucing manja yang tersesat di hujan.”
“Haah!? Apa kau barusan bilang aku kucing!?” Ravyn mendengus, ekornya bergoyang tak sabar, hampir seperti siap mengibaskan tinju api ke arah High Elf itu.
Udara di antara keduanya langsung memanas.
“Coba sekali lagi kau bilang itu, kupastikan es beku itu bakal retak jadi serpihan,” Ravyn menyalakan aura merah membara di tangannya.
Elaria hanya mengangkat alis, membalas dengan senyum tipis yang menusuk. “Silakan coba. Aku penasaran berapa detik sebelum tubuhmu membeku jadi patung naga.”
Kurogane langsung menghentikan langkahnya. Aura gelap samar keluar dari tubuhnya, membuat kedua heroine itu refleks mundur setengah langkah. Suara rendahnya menggema di hutan.
“Cukup. Kalau kalian punya tenaga buat bertengkar, lebih baik simpan itu untuk melawan musuh yang sebenarnya.”
Hening seketika menguasai jalan setapak. Ravyn dan Elaria mendengus bersamaan, sama-sama menoleh ke arah lain, jelas enggan mengalah tapi tak berani melanjutkan perdebatan.
Sementara itu, Lilith yang berjalan dengan elegan di belakang, gaun putihnya menyapu dedaunan jatuh, hanya tersenyum samar. Ia menatap punggung Kurogane dengan tatapan penuh arti, lalu tiba-tiba berkata dengan nada lirih namun menusuk.
“Kau memimpin kami tanpa arah yang jelas…” Ucapannya menggantung, membuat yang lain menoleh padanya. Senyum Lilith semakin melengkung. “…tapi anehnya, aku—dan mungkin yang lain—tetap merasa nyaman berada di belakangmu.”
Ucapan itu membuat suasana hutan terasa berbeda. Seakan angin yang bertiup membawa sedikit dingin yang tak biasa.
Elaria mengangkat kepalanya, menatap langit yang sebagian tertutup ranting. “Hujan… atau badai salju, mungkin sebentar lagi akan datang. Udara mulai berubah.”
Kurogane menatap pepohonan di depan, langkahnya tidak berhenti. Ia tahu, ucapan Lilith bukan sekadar candaan, sama seperti perubahan cuaca yang disebut Elaria—ada sesuatu yang perlahan mendekat, entah dari luar… atau dari dalam diri mereka masing-masing.
Udara malam merambat masuk ke dalam gua yang mereka pilih sebagai tempat berteduh. Hujan tipis di luar membuat suara tetesan air bergema di dinding batu, sementara di tengah-tengah mereka, api unggun menyala, menari liar dengan kobaran jingga yang hangat. Aroma daging segar yang dipanggang di atas bara mulai memenuhi udara, menggoda perut siapa pun yang lapar.
Kurogane duduk bersandar pada dinding gua, helm hitamnya memantulkan cahaya api. Namun pandangannya kosong, menembus api unggun seolah sedang melihat sesuatu yang jauh di baliknya. Bayangan pertarungannya melawan Leonhardt di Aurelford kembali menghantui pikirannya.
Dentuman pedang yang beradu.
Terjangan cahaya melawan bayangan.
Sorakan penonton yang menggema, bercampur dengan amarah Leon yang menolak kekalahan.
Semua itu masih jelas seakan baru saja terjadi.
Kemenangan? Apa memang itu kemenangan…?
Kurogane menunduk sedikit. Ia tahu, sekalipun Leon dikalahkan, luka yang sudah terlanjur ditorehkan pria itu ke hati orang-orang tidak akan sembuh begitu saja. Membunuh satu orang bukan berarti menghapus semua penderitaan yang lahir darinya. Kenyataan itu menusuk lebih dalam daripada bilah pedang mana pun.
Sebuah tepukan lembut menghentikan lamunannya. Kurogane menoleh, mendapati Lilith berdiri di sampingnya, cahaya api membuat rambut peraknya berkilau seperti serpihan bulan. Senyum samar menghiasi wajah elegannya ketika ia menyodorkan potongan daging panggang.
“Dagingnya sudah matang. Kau akan kelaparan kalau terus menatap api tanpa mencicipi.”
Kurogane hanya terdiam sesaat sebelum akhirnya menerima potongan itu. Yang lain sudah mulai menyantap makanan masing-masing. Ravyn bahkan tak sabar meniup daging panas yang hampir jatuh dari tangkainya, sementara Alya makan dengan tempo teratur, sesekali melirik ke arah Kurogane. Elaria, seperti biasa, terlihat tenang namun penuh perhitungan, matanya sekali-sekali menatap api seolah menghitung arah angin yang masuk ke dalam gua.
Di tengah suara riang kecil yang tercipta dari mereka, Kurogane masih belum menggerakkan potongan daging di tangannya. Api unggun memantulkan siluet gelap di permukaan armor hitamnya.
Lilith kembali menunduk, suaranya pelan namun tegas. “Kalau kau terlalu lama menatap daging itu, aku bisa saja mengambilnya darimu, tahu?”
Ucapan itu membuat Kurogane sedikit tergerak. Ia mengangkat helmnya perlahan, tapi masih enggan untuk benar-benar makan.
Lilith menatapnya lebih dalam kali ini. “Apa yang ada di pikiranmu?”
Hening menguasai gua sesaat, hanya suara api dan tetesan air di luar yang terdengar. Lalu Kurogane menurunkan pandangan, suaranya rendah tapi jelas.
“…Aku hanya memikirkan satu hal. Setelah aku mengalahkan Leon, mungkin kita sempat merasa lega. Tapi aku tahu, pihak-pihak tertentu tidak akan diam saja. Mereka pasti menganggapku ancaman… dan mungkin juga kalian yang ikut berjalan bersamaku.”
Kata-katanya menggantung, membuat suasana di gua menjadi lebih berat dari sebelumnya. Alya berhenti mengunyah, Ravyn melirik dengan ekspresi tak nyaman, dan Elaria mengangkat kepalanya sedikit, menatap api yang memercik.
Lilith masih berdiri di samping Kurogane. Ia tersenyum samar, meski matanya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih gelap. “Kalau memang begitu… maka biarlah mereka datang. Karena selama kau masih di depan, aku rasa tidak ada yang perlu kami takutkan.”
Kurogane menatap api unggun, bayangan merah-oranye menari di permukaan helmnya. Kata-kata Lilith mengikat pikirannya, namun juga semakin menegaskan satu hal—perjalanan ini belum berakhir. Sebaliknya, justru baru akan membawa mereka menuju gelombang yang lebih besar.
Untuk pertama kalinya sejak mereka masuk gua, Kurogane akhirnya mengangkat potongan daging itu dan menggigitnya perlahan. Hangatnya daging panggang berpadu dengan aroma rempah sederhana, membuat tubuhnya sedikit rileks. Api unggun berkeriapan, menebar cahaya oranye yang membuat gua yang dingin terasa lebih hidup.
Di sampingnya, Ravyn sama sekali tak punya elegansi. Ia sudah menggenggam dua potong besar daging sekaligus, satu di masing-masing tangan, dan langsung melahapnya dengan brutal. Giginya mencabik daging, suaranya keras, bahkan minyak daging menetes dari ujung bibirnya tanpa ia pedulikan.
“Uwoooh! Inilah hidup! Tidak ada yang lebih nikmat dari daging panas yang langsung kau kunyah tanpa aturan!” serunya dengan mulut penuh.
Alya menepuk dahinya. “Kau itu… apa nggak bisa makan dengan cara normal sedikit, hah?”
Elaria mendengus pelan, meneguk sup herbal dari cangkir kecil buatannya sendiri. “Sungguh memalukan. Seekor naga seharusnya melambangkan kehormatan, tapi yang kulihat sekarang lebih mirip barbarian yang baru keluar dari penjara.”
“Eh!? Kau sebut aku barbarian lagi!? Dasar pohon beku!” Ravyn melotot, tapi tetap saja tangannya sibuk mencabik daging tanpa jeda.
Sementara itu, Lilith duduk dengan anggun seolah gua dingin ini adalah ruang makan kerajaan. Dengan tenang, ia menggerakkan jemarinya, dan dari bayangan merah darah yang membentuk kristal, muncul piring porselen putih lengkap dengan garpu dan pisau perak. Daging panggang diangkatnya perlahan, dipotong rapi, lalu dimakan dengan sopan dan penuh tata krama.
Alya, Ravyn, bahkan Elaria sama-sama terdiam menatapnya. Beberapa detik kemudian, ketiganya saling bertukar tatap… lalu tak tahan menahan tawa.
“Seriusan? Kita di gua, makan daging panggang, tapi dia masih kayak jamuan kerajaan.”
“Dia bahkan bikin piring sendiri! Gila!”
“Kalau ini masuk cerita, orang bakal kira kita bercampur dengan bangsawan iblis.”
Lilith hanya tersenyum kecil, mengangkat alis dengan tenang. “Sopan santun tidak mengenal tempat, bukankah begitu?”
Kurogane sendiri sempat tertawa kecil, melihat dinamika mereka yang sesaat terasa damai. Tapi tawa itu cepat sirna ketika tatapannya beralih ke bagian terdalam gua. Suasana hatinya tiba-tiba berubah.
Ia merasakan sesuatu yang asing—sebuah getaran samar, seperti kehadiran yang tak seharusnya ada di sana. Tanpa bicara panjang, Kurogane mengangkat tangannya. Dari telapak gauntlet hitamnya, cahaya ungu pekat terbentuk menjadi sebuah bola energi, lalu melesat menerangi sisi dalam gua.
Seketika, cahaya itu memantul pada sesuatu di balik batu besar. Bukan sekadar batu… melainkan bayangan seseorang yang berdiri di sana.
Kurogane langsung berdiri, tangannya terulur ke gagang Jyuken. Dengan suara rendah dan tegas, ia bergemuruh:
“Tunjukkan dirimu. Sekarang.”
Bayangan itu bergeming sebentar, lalu sosoknya muncul perlahan. Seorang pemuda berambut kusut dengan pakaian lusuh, wajahnya pucat dan ketakutan. Ia langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
“Ta-tunggu! Jangan bunuh aku! Aku minta maaf sudah menguntit! Aku… aku tidak bermaksud jahat!”
Ravyn berdiri setengah badan, matanya menyala merah. “Kalau tidak bermaksud jahat, kenapa sembunyi di balik batu?!”
Pemuda itu menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Aku… aku hanya seorang reporter! Dari organisasi Kronikel Arcana!”
Alya yang semula sudah siap menarik pedangnya terhenti mendengar nama itu. Matanya melebar sedikit. “Kronikel Arcana…? Itu kan organisasi koran dunia. Mereka mencetak berita lalu menyebarkannya ke seluruh penjuru Altaria…”
Kurogane masih belum menurunkan Jyuken, tapi tatapannya menyipit. Api unggun berderak, memberi ketegangan tersendiri.
Pemuda itu buru-buru membungkuk, berusaha menunjukkan ketulusannya. “Na-nama saya Lorian! Aku reporter baru, sumpah ini tugasku yang pertama! Bosku menyuruhku mencari tahu detail soal kalian, Party Outsider! Setelah apa yang kalian lakukan di Aurelford—mengalahkan Leonhardt si Hero sendirian—tentu saja berita itu akan… akan laku keras!”
Ia menelan ludah sekali lagi, wajahnya pucat pasi. “Tapi aku janji… aku tidak berniat mencelakai kalian. Aku cuma… ingin menulis artikel yang akan jadi debut pertamaku…”
Suasana yang tadinya hangat mendadak berubah jadi interogasi dadakan. Api unggun terus menyala, tapi setiap mata di gua itu kini menatap tajam ke arah sang reporter muda yang gemetar di hadapan mereka.
Rintik hujan semakin deras di luar, membuat suara gemericiknya menjadi latar yang konstan di balik obrolan mereka. Gua gelap itu diterangi hanya oleh api unggun yang berderak, sesekali memercikkan bara.
Kini, Lorian si reporter muda sudah ikut duduk bersama, meski sikapnya tampak canggung. Matanya sesekali melirik Kurogane yang duduk di seberang api, sosok hitam itu bagaikan bayangan tebal yang hampir menyatu dengan kegelapan gua.
“Jadi…” suara Kurogane pelan, tapi mengandung nada sinis, “kau menguntit hanya demi tulisan. Kalau memang ingin mencari berita sensasional, seharusnya kau lebih baik mengejar party yang lebih senior… atau kalau beruntung, Heroes Party itu sendiri.”
Api unggun memantulkan cahaya di mata Lorian. Ia langsung menggeleng cepat, kedua tangannya menepis udara seolah menyangkal keras. “Tidak, tidak! Semua party yang pernah kutemui ceritanya… terlalu normal. Mereka hanya menceritakan pertarungan biasa, misi biasa, dan kemenangan biasa. Semua itu membuat berita terasa… hambar. Orang-orang membacanya sekali lalu melupakan. Itu bukan yang kuinginkan.”
Ia menarik napas dalam, lalu menatap Kurogane dengan tekad yang baru saja terkumpul. “Tapi kalian… Party Outsider pertama. Bahkan tanpa sengaja kalian sudah memecahkan rutinitas dunia ini. Apa yang kalian lakukan di Aurelford tempo hari—itu bukan hal biasa.”
Ravyn yang masih mengunyah sisa daging panggang menoleh, matanya menyipit. “Maksudmu… pertarungan dengan Leon itu?”
Lorian mengangguk cepat. “Bukan hanya itu! Aku dengar langsung dari warga—kalian menyelamatkan seorang anak kecil bernama Lizel beserta keluarganya dari kebakaran hebat, lalu… mengalahkan seluruh Heroes Party, termasuk sang leader yang ternyata dalang dari kebakaran itu. Kalian sadar, kan? Itu… topik utama yang tak akan ada tandingannya!”
Alya yang bersandar di dinding gua menegakkan tubuhnya sedikit, kedua matanya berbinar tipis. “Kalau benar-benar ditulis… mungkin citra kita bisa berubah. Setidaknya orang-orang akan berhenti melihat kita hanya sebagai ‘Outsider’.”
Elaria menambahkan dengan nada tenang namun penuh perhitungan. “Memang, reputasi bisa terbentuk bukan hanya dari tindakan, tetapi juga dari bagaimana cerita itu disebarkan. Kalau berita ini benar-benar terbit, pandangan orang pada kita akan sedikit bergeser.”
Lilith tersenyum samar, menaruh tangkai kayu bekas daging di sisinya. “Menarik. Jadi reputasi kita akan dipoles oleh kata-kata seorang pemula… dunia memang suka ironi.”
Tawa kecil terdengar dari beberapa di antara mereka. Suasana gua untuk sesaat terasa lebih ringan.
Namun Kurogane yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat bicara lagi. Suaranya meredam keceriaan tipis yang sempat muncul. “Lorian… apakah kau berencana menuliskan semuanya dengan gamblang? Nama, tempat, siapa saja yang terlibat dalam kebakaran itu?”
Reporter muda itu langsung mengangguk mantap. “Tentu saja! Aku tidak ingin ada satu pun kebohongan dalam laporanku. Pembaca berhak tahu kebenaran—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Kurogane menyela, nadanya dingin dan tegas. “Kalau begitu dengarkan baik-baik. Memang benar dalang kebakaran rumah sekaligus restoran itu adalah Leonhardt dari Heroes Party. Alasannya… sesederhana egonya. Masakan keluarga Lizel dianggap tak cocok dengan seleranya.”
Lorian terpaku, matanya melebar mendengar fakta yang begitu brutal.
Tapi sebelum ia sempat menulis apa pun di buku catatannya, Kurogane menambahkan, suaranya kali ini menekan. “Namun ada satu hal. Jangan sebut nama Lizel, jangan sebut paman atau bibinya. Jangan biarkan identitas mereka masuk ke dalam koranmu.”
Suasana langsung sunyi. Api unggun berderak pelan, sementara sisa hujan di luar terdengar lebih keras.
Alya menatap Kurogane, bingung. Ravyn menghentikan kunyahannya. Elaria mengernyit tipis, dan Lilith hanya menatap penuh minat. Mereka semua berpikir hal yang sama.
Kenapa Kurogane melarang nama Lizel disebut…?
Api unggun terus berderak, cahayanya memantul samar di dinding-dinding gua yang basah oleh rembesan hujan. Asap tipis mengepul, seolah menyelimuti percakapan yang kian berat. Lorian masih menunduk, jemarinya gemetar mencengkeram buku catatannya. Sorot mata semua orang tertuju padanya, namun yang paling menusuk tetap tatapan Kurogane dari seberang api.
Diam cukup lama, Kurogane akhirnya angkat bicara dengan suara rendah tapi tegas, seperti bilah tajam yang menusuk ke hati.
“Aku tidak menolak kenyataan bahwa kau melihat dengan matamu sendiri. Ya… kami menyelamatkan Lizel dan keluarganya dari kobaran api yang Leon buat. Itu fakta yang tidak terbantahkan.” Ia berhenti sejenak, jemarinya mengetuk ringan sarung pedang Jyuken yang tergeletak di sampingnya. “Tapi fakta lain adalah… kita tidak tahu siapa sebenarnya orang-orang di belakang Leon.”
Lorian mengangkat wajahnya, bingung. “Maksudmu…?”
Kurogane mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, cahaya api membuat armornya berkilat samar. “Katakanlah koranmu benar-benar mencetak namanya—Lizel, pamannya, bibinya—dan menyebarkannya ke seluruh negeri. Berita itu sampai ke telinga orang-orang yang mengangkat Leon menjadi Hero… apa yang akan mereka lakukan menurutmu?”
Lorian terdiam.
Sebelum ia sempat menjawab, Lilith bersuara pelan tapi dingin, suaranya menyerupai bisikan yang menusuk tulang. “Demi membungkam kritik… target pertama mereka bukanlah kita. Tapi Lizel.”
Seketika keheningan menyelimuti gua. Api unggun berderak pelan, seakan ikut merasakan beratnya kata-kata Lilith. Alya yang tadinya bersandar dengan santai di batu, menegakkan tubuhnya, wajahnya mengeras. Ravyn yang biasanya selalu berisik pun menggertakkan gigi, ekspresinya murung. Elaria hanya menatap api dengan sorot dingin, seolah sudah mengantisipasi kemungkinan itu sejak awal.
Lorian menelan ludah, wajahnya pucat. “T-tapi… Lizel hanya seorang anak kecil yang tinggal berama keluarganya. Tidak mungkin pihak besar sekejam itu—”
Kurogane langsung menyela dengan nada lebih tajam. “Orang bermasalah seperti Leon saja bisa dilantik menjadi Hero, hanya karena status dan kepentingan. Kalau itu bisa terjadi, apa menurutmu orang-orang yang melantiknya tidak akan mengambil langkah ekstrim juga?”
Ia menatap lurus, suaranya menekan. “Mereka bisa saja menghapus bukti… membersihkan citra Leon. Dan itu berarti menyingkirkan siapapun yang tahu kebenarannya.”
Hening kembali. Hanya suara hujan di luar gua yang terdengar, seperti genderang ancaman dari dunia luar yang tak bisa mereka kendalikan.
Lorian terdiam kaku, tangannya yang memegang pena sedikit gemetar. Ia baru sadar—koran yang ingin ia jadikan senjata informasi, bisa berubah menjadi pedang yang mengiris nyawa orang tak bersalah.
Api unggun yang tadinya terasa hangat, kini seakan berubah jadi saksi bisu ketegangan di dalam gua itu. Kata-kata Kurogane yang sederhana tapi tajam barusan, menancap dalam ke hati masing-masing. Tidak ada yang menyela, tidak ada yang mencoba membantah. Diam—itulah jawaban semua orang, karena mereka tahu itu adalah kebenaran pahit yang tak bisa ditolak.
Lorian duduk membungkuk, matanya kosong menatap tanah basah. Dilema jelas membebani pikirannya. Di satu sisi, ia ingin namanya meledak, ingin korannya jadi bahan omongan orang se-Altaria. Tapi di sisi lain, gambaran Lizel yang polos, pamannya yang baik, dan bibinya yang sederhana membuat dadanya terasa sesak. Apa harga popularitas harus dibayar dengan nyawa orang tak bersalah?
Tangannya bergetar hebat, membuat pulpen dan notebook yang sejak tadi ia genggam jatuh terhempas ke lantai gua yang lembap. Suara thak! kecil itu bergema, mengisi ruang hening yang sudah sesak. Semua mata sejenak menoleh ke arahnya, tapi tak ada yang berkata apapun.
Kurogane akhirnya bergerak. Dengan tenang, ia mengambil sepotong daging bakar yang sudah matang dari dekat api unggun, menusukkannya ke sebuah ranting, lalu menyerahkannya ke arah Lorian. Gerakannya santai, namun sarat makna.
“Dengar baik-baik, Lorian.” Suara Kurogane terdengar rendah, tapi penuh wibawa. “Aku tidak melarangmu menulis. Aku juga tidak menolak kalau kau ingin membersihkan nama kami, Outsider, di mata orang-orang Altaria. Tapi aku tidak akan pernah membiarkan orang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terseret hanya karena pertarungan yang aku dan teman-temanku pilih untuk jalani.”
Sorot mata Kurogane yang kosong tanpa wajah tapi penuh tekanan itu membuat Lorian merinding.
“Kalau memang harus ada yang terluka atau mati… biar kami saja. Kami yang sudah memilih jalan ini. Bukan mereka.”
Api unggun memantulkan cahaya ke mata Alya. Gadis itu menghela napas panjang sebelum ikut menimpali, “Aku setuju. Lizel sudah cukup menderita. Kalau ada orang lain yang harus menanggung kebencian dunia… biar aku yang menanggungnya bersama kalian.”
Elaria yang biasanya dingin hanya mengangguk tipis, suaranya tenang tapi tegas. “Logika Kurogane benar. Tidak ada gunanya membakar orang-orang kecil hanya untuk memuaskan amarah pada yang besar.”
Ravyn mendengus, tapi kali ini tanpa nada menggertak. “Tch… memang nyebelin sih, tapi aku juga setuju. Aku lebih rela kepalaku sendiri yang jadi sasaran panah ketimbang anak kecil itu.”
Lilith tersenyum samar, menatap ke arah Lorian dengan tatapan yang entah menenangkan atau menakutkan. “Dan bukankah lebih indah begitu? Kisah besar akan tetap sampai pada telinga dunia, tapi tanpa noda darah yang tak perlu. Kau tetap bisa menulisnya… hanya dengan sedikit lebih bijak.”
Lorian menatap satu per satu wajah mereka—Alya dengan tatapannya yang penuh tekad, Elaria dengan kejernihannya, Ravyn dengan ketulusan yang terselip di balik sisik kasarnya, Lilith dengan elegansi misteriusnya. Lalu kembali pada Kurogane, yang meski tanpa wajah, jelas memikul beban kata-kata berat itu.
Ia meraih daging yang diberikan Kurogane, menggenggamnya erat, lalu menunduk dalam-dalam. “Aku… mengerti. Aku akan memenuhi permintaan kalian. Aku tidak ingin… juga tidak sanggup… melihat darah yang tidak perlu tumpah hanya karena tulisanku.”
Keheningan kembali hadir, tapi kali ini bukan lagi keheningan penuh ketegangan. Lebih seperti keheningan setelah semua orang menyadari—jalan yang mereka tempuh bukanlah sekadar perjalanan petualangan, tapi juga pilihan yang membawa konsekuensi besar.
Kurogane duduk kembali, seolah puas dengan jawaban itu. Ia menambahkan dengan nada datar, “Bagus. Karena aku bukan tipikal orang yang melarang sesuatu tanpa alasan. Dan aku bukan orang ceroboh yang memilih jalan salah.”
Kata-katanya menutup percakapan itu, seperti segel yang memastikan kesepakatan telah tercapai.
Langit malam itu diwarnai awan hitam pekat. Petir sesekali menyambar, menerangi hutan yang begitu suram. Ranting-ranting patah, tanah becek, dan kabut tipis seolah menutup jalan pelarian sekelompok orang yang berlari sekuat tenaga.
Leonhardt berlari paling depan, nafasnya tersengal, wajahnya pucat, peluh dingin bercucuran. Heroes Party di belakangnya tidak kalah panik, seolah ada sesuatu yang terus memburu mereka.
“Leon-sama! Apa yang mengejar kita?!” teriak sang mage dengan suara gemetar.
Namun sebelum sempat dijawab, suara bisikan mengerikan terdengar di telinga mereka, bergema seakan berasal dari seluruh penjuru hutan.
“Kalian tidak bisa lari…”
“Kalian semua… akan mati…”
Swordsman dari party itu hampir terjatuh karena kakinya tersandung akar pohon, matanya melotot menatap kegelapan di sekeliling. Sesosok bayangan hitam melintas cepat, membuat semua bulu kuduknya merinding.
“Di sana! Aku melihatnya!” jerit sang archer.
Namun ketika mereka menoleh, sosok itu sudah lenyap, menyisakan hanya desiran dingin yang menelusup ke tulang.
Akhirnya, setelah menembus belantara, mereka tiba di sebuah hamparan rumput luas. Petir kembali menyambar, dan kali ini mereka melihatnya jelas—seorang pria berbalut armor hitam pekat, berdiri tegak membelakangi mereka. Api hitam melingkupi tubuhnya, pedang putih panjang di tangannya memantulkan cahaya kilat. Perlahan, sosok itu menoleh. Sorot matanya bukan milik manusia, melainkan jurang kegelapan yang siap menelan segalanya.
“Dia… dia menunggu kita…” gumam Leon dengan suara parau.
Mereka semua spontan memasang kuda-kuda, senjata terangkat, napas tercekat. Namun sebelum sempat bergerak, kekuatan lain muncul.
Bayangan perempuan dengan rambut panjang berkibar menghampiri swordsman, kilatan petir di pedangnya membuat udara bergetar. Sekejap kemudian, tubuh swordsman itu terbelah tanpa sempat menjerit.
Tank mereka mencoba maju, tameng besar diangkat. Namun tiba-tiba, seorang perempuan dengan tanduk hitam dan sisik naga di tubuhnya menghantam tameng itu dengan tinju berlapis api merah. Tameng hancur, tubuh Tanker terpental, dan jeritan terakhirnya hilang ditelan malam.
Sang mage berusaha menyiapkan mantra perlindungan, tapi hawa dingin menusuk hingga tulang membuatnya kaku. Dari kabut, seorang elf berambut perak melangkah keluar, mantranya mengubah udara menjadi tombak-tombak es yang menancap ke tubuh mage tanpa ampun.
Archer yang panik melesatkan anak panah bertubi-tubi, tapi cahaya merah darah membelah kegelapan. Perempuan dengan gaun putih elegan dan sabit merah bersinar menghampirinya. Satu ayunan sabit, dan tubuh sang archer terseret dalam pusaran darah pekat, hilang tanpa jejak.
Kini tinggal Leon seorang diri. Lututnya gemetar, pedang di tangannya terasa begitu berat. Nafasnya memburu, matanya penuh ketakutan.
“Semuanya… mati…?” bisiknya tak percaya.
Sosok berarmor hitam itu akhirnya melangkah maju. Api kegelapan berkobar di sekelilingnya. Tanpa sepatah kata pun, ia mengangkat pedang putihnya dan menebas.
“Gh—!!!” Leon menahan, pedangnya beradu dengan dentuman keras. Percikan api hitam beterbangan, namun tenaga lawannya membuat tangannya bergetar hebat. Ia berusaha membalas dengan serangan balik, tapi setiap tebasannya dibaca dengan mudah, lalu dibalas luka demi luka di tubuhnya.
Sayatan di bahu, tusukan di pinggang, goresan di pipi—darah bercucuran. Hingga akhirnya lutut Leon menekuk, tubuhnya jatuh tersungkur di tanah berlumpur.
Sosok itu berdiri di hadapannya, pedang putihnya terangkat tinggi.
“Tu-tunggu! Tolong… aku mohon… jangan bunuh aku! Aku… aku Hero dunia ini!” Leon berteriak, suaranya pecah penuh ketakutan.
Tapi pedang itu tetap terangkat, tanpa belas kasih, tanpa ragu.
Kilatan petir menyinari tebasan pedang yang jatuh cepat menuju lehernya.
“AAAAAARGHHHH!!!”
Leon menjerit sekeras-kerasnya—dan tiba-tiba matanya terbuka lebar.
Ia terbangun di atas kasurnya, tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin. Nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdegup kencang hingga membuat dadanya sakit. Seluruh tubuhnya gemetar hebat.
Ia menatap sekeliling—bukan hutan, bukan hamparan rumput, bukan bayangan berarmor hitam. Hanya kamarnya sendiri, sunyi, ditemani kegelapan malam.
“…Mimpi… hanya mimpi…” Leon berbisik dengan suara bergetar, namun tatapan matanya kosong. Mimpi itu terlalu nyata, terlalu jelas, seakan sesuatu… atau seseorang… benar-benar mengutuknya dari kegelapan.
Jeritan Leon yang mengguncang seisi kamar bergema sampai ke lorong. Tergesa-gesa, pintu kamarnya didobrak. Swordsman, Tanker, Mage, dan Archer berhamburan masuk dengan wajah panik.
“Leon-sama!” sang mage mendekat lebih dulu, matanya jelas-jelas penuh kekhawatiran. Di meja, ia cepat-cepat menuangkan air ke dalam gelas kosong, lalu menyerahkannya dengan tangan bergetar.
Leon meraihnya dengan tangan yang masih basah oleh keringat. Air itu diteguk habis, sebagian menetes dari dagunya. Perlahan, nafasnya mulai teratur kembali. Gelas ia letakkan di atas meja, suara kaca beradu dengan kayu terdengar lirih di ruangan yang masih mencekam.
“…Terima kasih,” gumam Leon lirih, hampir tidak terdengar.
“Leon-sama… kalau kau mau, kami bisa menemanimu malam ini. Setidaknya sampai kau bisa tidur lagi,” ucap Tanker dengan nada hati-hati.
“Benar. Kau tidak sendirian, Leon-sama,” timpal Archer, suaranya berusaha menenangkan.
Namun Leon hanya menatap kosong ke depan, wajahnya tetap pucat. “Tidak perlu. Pergilah. Aku ingin sendiri.”
“Leon-sama…” Mage berusaha membujuk lagi, kali ini suaranya lebih lembut. “Kau sudah tiga kali terbangun seperti ini. Kami khawatir. Biarkan kami tetap di sini—”
“PERGI!” bentak Leon tiba-tiba, membuat semua orang terdiam. Suaranya pecah, penuh emosi yang tidak bisa lagi ia bendung. “Kalian tidak mengerti! Tinggalkan aku sendiri! SEKARANG!”
Keheningan menyelimuti kamar. Swordsman yang paling senior hanya bisa menghela napas, lalu memberi kode pada yang lain untuk mundur. Satu per satu mereka keluar dari kamar itu, menutup pintunya dengan hati-hati.
Di lorong yang remang, langkah kaki mereka terdengar berat. Tak ada yang bicara selama beberapa saat, hingga akhirnya Tanker memecah kesunyian.
“Ini… sudah ketiga kalinya, kan?” suaranya rendah, nyaris berbisik.
Mage mengangguk pelan. “Ya. Dan semuanya… mimpi buruk tentang Black Fang.”
Archer menyandarkan dirinya ke dinding, wajahnya muram. “Entah kenapa… aku juga melihat hal yang sama. Sosok mereka, bayangan yang menelan kita satu per satu. Tapi mimpi Leon jauh lebih parah.”
“Wajar saja.” Swordsman menatap lurus ke depan, nada suaranya getir. “Dia yang bertarung langsung dengan Kurogane. Dia merasakan kekuatan itu… dari jarak sedekat itu. Tidak ada yang bisa menghapus rasa takut seperti itu.”
Keempatnya terdiam sejenak, saling bertukar pandang. Ingatan mereka terseret kembali pada malam di Aurelford—ketika Kurogane, tanpa wajah, dengan armor hitamnya, menebas mereka hanya sekali.
Satu tebasan.
Dan dunia mereka gelap.
Meski tubuh mereka sudah pulih, rasa sakit itu masih membekas. Lebih dari itu—rasa takut yang merayap setiap kali nama Kurogane terlintas.
“Kalau saja Leon-sama tidak… terlalu memaksakan dirinya waktu itu,” gumam Mage, suaranya penuh penyesalan.
“Kalau saja dia bisa menekan egonya sedikit…” lanjut Archer.
“Kalau saja…” Tanker mengepalkan tinjunya, tapi suaranya pelan. “Kalau saja dia sadar, bahwa Hero bukan berarti kebal dari kekalahan…”
Tidak ada yang berani menyelesaikan kalimat itu. Mereka tahu, pada akhirnya, semua ini kembali ke satu titik: Leon. Statusnya sebagai Hero justru jadi kutukan. Kekalahan itu bukan hanya memukul harga dirinya, tapi juga meretakkan fondasi seluruh Party.
Di dalam kamar, Leon terduduk sendirian di kasurnya, kedua tangannya mencengkeram rambutnya dengan erat. Tatapan matanya kosong, tapi bibirnya bergetar.
“…Kenapa… kenapa aku masih mengingat wajah itu…? Kurogane…”
Kamar Leon kembali hening. Hanya suara detak jam dinding tua dan nyala lilin yang mulai redup, membuat bayangannya di dinding tampak bergetar. Para anggota Heroes Party sudah kembali ke kamar masing-masing, meski raut wajah khawatir mereka masih membekas di kepala Leon.
Ia terduduk di kasurnya, keringat dingin menetes dari pelipis, tubuhnya gemetar meski selimut menutupi sebagian badan. Nafasnya berderu pelan namun tak stabil.
“...Sialan...” bisiknya dengan suara serak.
Matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, tapi pikirannya melayang jauh ke belakang. Ke hari itu. Hari dimana semua hancur.
—Aurelford.
Ia masih bisa mendengar jelas riuh sorakan ribuan orang yang memadati arena. Sorak yang tadinya ditujukan untuknya, sang Hero, pahlawan yang diagungkan. Namun semua itu seketika membeku, berubah menjadi keheningan mencekam saat sosok hitam itu melangkah ke tengah arena.
Kurogane.
Bayangan berarmor hitam dengan pedang terkutuk di genggamannya. Sosok yang bahkan tanpa wajah pun terasa lebih hidup daripada dirinya.
Leon masih ingat bagaimana langkah kakinya terasa berat, seperti diseret oleh ribuan beban. Pedangnya bergetar di genggaman meski ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum angkuh yang dipaksakan.
Tebasan pertama Kurogane.
Satu ayunan sederhana—dan dunia Leon berputar.
Suara logam beradu masih terngiang di telinganya. Tubuhnya seolah masih merasakan getaran dari hantaman itu, seakan tulangnya diremukkan. Nafasnya tersengal, darah memenuhi mulutnya, dan sorak penonton berubah menjadi cemoohan yang menusuk telinga.
“Aku... kalah?” gumam Leon, suaranya tercekat. Tangannya menekan dada, seakan luka lama itu terbuka kembali.
Semakin ia mengingatnya, semakin tubuhnya bergetar. Kengerian bercampur dengan rasa hina.
Namun, bukannya menyesal... api lain justru membara dalam dirinya.
Bibir Leon meringis, matanya menyipit, menahan rasa sakit yang berubah menjadi amarah.
“Kalau saja... kalau saja dia tidak ada... aku tidak akan jadi bahan tertawaan... aku tidak akan dihantui mimpi-mimpi sialan ini...”
Ia memukul kasur dengan tinjunya hingga pegas di bawahnya berderit.
“Semua ini salahnya. SALAH Kurogane!”
Telinganya kembali dipenuhi bisikan yang samar—entah suara halus dari pikirannya sendiri, atau gema dari bayangan dalam mimpinya tadi.