“Harta paling berharga bagi seorang kakak adalah adiknya.”
—Nara yang menyayangi adiknya.
AKU TELAH GAGAL SEBAGAI KAKAK.
Satu kalimat yang langsung terlintas dalam benakku begitu menerima telepon dari Kin‒satu-satunya saudara kandung yang kumiliki. Dia menangis tersedu-sedu hingga suaranya hampir hilang ketika dirinya menyebut satu nama yang langsung membuatku kalang kabut memesan taksi online, meninggalkan Ibram di kencan pertama kami.
Harusnya, hari ini menjadi hari bersejarah bagiku. Terutama ketika Ibrahim Salim‒dokter spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di rumah sakit tempatku mengumpulkan pundi-pundi rupiah‒mengajakku dinner di sebuah restoran Perancis yang terletak di satu sisi Pantai Ancol. Aku cukup menyayangkan reservasi yang Ibram lakukan jauh-jauh hari dengan harga mahal hanya untuk mengajakku mencicipi hidangan salah satu negara di Eropa malam ini yang akhirnya malah gagal total.
Argh! Persetan dengan kencan ini, Kin jauh lebih penting bagiku!
Dan waktu yang harusnya kugunakan untuk membahas hubungan kami‒maksudnya hubunganku dan Ibram‒juga kencan kedua kami dan seterusnya, habis hanya untuk menyuruh sopir mengebut agar segera sampai di gedung apartemenku di kawasan Setiabudi. Giliran aku mengancam tidak memberikan ulasan terbaik, si sopir justru menyuruhku turun dan menggunakan jasa ojek online. Oke, mungkin itu pilihan yang tepat untuk sebagian penduduk ibu kota, tapi bukan pilihan yang tepat untukku. Jadilah, aku hanya duduk tak lupa terus merapal doa, terlebih ketika Kin tak lagi bisa kuhubungi.