“Menikah?
Makanan apaan tuh?”
—Nara, si high-quality jomlo.
[Lima bulan sebelumnya]
“ISTRI, GUE GIMANA SEKARANG?”
Bercampur rasa syukur, amarah yang membara di dalam kepalaku hampir tumpah begitu suara Abim yang sedari tadi sulit kuhubungi keluar melalui pengeras suara hape-ku. Entah jimat macam apa yang ia pakai hingga awan keberuntungan setia memayunginya. Lelaki bernama lengkap Rehanda Abimanyu ini mulai berteman denganku sejak masuk klub sains zaman SMA dulu. Lebih tepatnya, memanfaatkan diriku untuk mendekati Kin, si primadona sekolah. Sayangnya tiga tahun masa putih abu-abu tak mampu membuat Kin yang terkenal playgirl meliriknya, hingga Abim memutuskan ikut aku pergi ke Inggris sampai menyelesaikan pendidikan tingkat S2-nya, bahkan sempat bekerja di perusahaan IT terkemuka Negara Ratu Elizabeth. Dan, yang kubilang keberuntungan selalu setia memayungi si berengsek itu terbukti ketika Kin yang terbiasa gonta-ganti cowok akhirnya mentok padanya hingga menghasilkan satu anak dari pernikahan mereka enam tahun silam. Satu? Ralat, hampir dua maksudku. Hampir dua, sebab itulah amarahku sampai pada taraf siap sembur.
Seharusnya Abim yang ada di samping Kin saat ini, menggenggam erat tangannya sambil mengucapkan kalimat cinta atau sekadar memberi semangat sampai anak kedua mereka lahir ke dunia dengan selamat. Atau setidaknya menemani Kei yang masih menangis karena ketakutan saat melihat mamanya terjatuh hingga menyebabkan air ketubannya pecah. Well, siapa lagi yang harus mengatasi segala kekisruhan ini kalau bukan aku?
“Cepat ke sini! Lo mau kehilangan kesempatan nemenin istri lo lahiran kedua kalinya?! Nggak pengin jadi orang pertama yang lihat anak—”
Tanganku yang menjadi sasaran empuk Kin ditariknya tiba-tiba, sehingga hape baruku yang masih menempel di telinga terjatuh. Aku baru membelinya beberapa hari yang lalu setelah hape lama hancur di tangan Kei. Namun, sekarang sudah mencium lantai dengan kerasnya. Ah, seribu hape supercanggih tak akan menggantikan adikku!
“Lo bisa, Kin! Lo kuat! Sebentar lagi lo bisa ketemu Kennzo!”
Mendengar nama yang telah disepakati pasangan suami-istri ini, Kin yang hampir kehilangan tenaga kembali bersemangat. Wajah putih bersihnya semakin berseri-seri, meski keringat membanjiri. Kecantikan Kin semakin bertambah berjuta kali lipat. Seperti kebanyakan orang yang mengatakan bahwa wanita hamil adalah wanita tercantik di dunia. Namun, aku tak bisa memungkiri bahwa wanita yang berjuang melahirkan anak mereka lebih terlihat seperti bidadari yang turun ke bumi.
“Na ... Abim ... Dia baik-baik aja, kan?” Di sela-sela rintihannya, Kin masih memikirkan suami berengseknya. Masih kurang beruntung apa si Abim ini?
Dia oke banget! Kelewat baik malah, sampai-sampai dia lembur saat si baby hampir mbrojol begini! Namun, aku tak sampai hati mengutarakan kekesalanku pada Kin yang kini sedang berjuang hidup dan mati. “Dia nggak pa-pa, sebentar lagi juga sampai. Sekarang lo fokus sama baby lo dulu. Ayo, dikit lagi! Breathe in, breathe out ....”