“Cinta itu hanya bermuara pada dua tujuan,
Bahagia atau kesakitan.”
—Nara yang sok tahu perihal cinta.
“LO BAIK-BAIK AJA, KAN?”
Aku segera menyingkirkan tangan menempel di keningku. Sudah kuduga pertanyaan ini akan menjadi pengganti sarapan yang kulewatkan pagi ini, padahal aku perlu kafein untuk membuatku tetap terjaga seharian.
Serta-merta Tita‒panggilan sayangku pada sobatku, Jelita‒menyatukan kedua lengannya di dada sambil menyipitkan matanya, menatapku horor. “Lo kesambet apa tiba-tiba mau nikah? Karena gue mau nikah?” selidiknya.
Maybe?
“Terus lo mau nikah sama siapa?”
Hell! I have no answer for that!
Aku menyeruput kopiku untuk mengalihkan pertanyaan Tita. Sedikit kafein mungkin bisa mengembalikan logika yang biasa kuagung-agungkan. Sayangnya, kopi yang biasa menemaniku memulai hari tak membantu sama sekali. Aku justru termenung ditemani Tita yang hanya menghela napas berat, sambil menatapku prihatin. Kita semua tahu bahwa kisah cintaku tak ada yang berhasil. Harap dicatat, tidak ada ya, bukan, nyaris tidak ada! Sehingga bisa disimpulkan bahwa selama 31 tahun aku hidup tak pernah merasakan romantisme kehidupan. Menyedihkan!
“Oke, pertama, lo harus cari cowok dulu!” Semua orang juga tahu itu kali! Masalahnya ini mencari suami! Cari cowok yang bisa digandeng ke acara nikahan temen kerja aja gagal, apalagi nyari lelaki potensial buat diajak ke KUA.
“Lo gak perlu tutor dari gue kan?” Aku balas dengan senyum merekah dan mata berbinar, tetapi langsung dipadamkan oleh kalimat Tita berikutnya. “Lo kan tahu gue sama Mik dijodohin.”
“Tapi setelahnya lo sama Mik jadi juga kan?”
Tita menaikkan satu sisi pundaknya. “Yah, setelah melalui proses yang panjang.”
Yeah, untuk orang yang memiliki trauma percintaan memang butuh waktu lama untuk sembuh, apalagi yang kasusnya kayak Tita ini. Sebelum menjadi jomlo berkarat bareng aku, Tita dulunya orang yang benar-benar bucin ke pasangannya. Dia selalu all in untuk mantan satu-satunya itu yang ternyata berengsek banget, bahkan rela memberikan seluruh tabungannya untuk usaha si cowok yang tidak ada hasilnya sama sekali. Mereka hampir menikah 5 tahun yang lalu, akan tetapi gagal karena tiba-tiba sahabatnya mengaku hamil anak si cowok.
Gila aja, sih! Katanya sahabat, tapi tidur sama calon suami sahabatnya sendiri.
“Setidaknya ada nyokap lo yang siap nyariin jodoh buat anaknya.”
Tita mengaduk iced americano-nya dengan sedotan. “Capek tahu tiap hari disodorin ke anak teman-temannya Mami. Bisa gila gue lama-lama—” Tita menjeda kalimatnya, kemudian disingkirkannya gelas iced americano yang sedari tadi dia aduk. “Gue punya solusi!” lanjutnya sembari mengambil hapenya.
“Hallo, Mam, anak temen mami masih ada yang jomlo gak?”
Hell!
“Gila lo!” Aku buru-buru merebut hp Tita, namun gagal karena terhalang meja. Oke, aku ralat perkataanku sebelumnya. Aku gak se-desperate itu sampai harus Mami yang turun tangan mencarikanku jodoh. Eww.
“Nara mau nikah, Mam!” teriak Tita heboh.
Aku yakin Mami lebih heboh lagi di seberang sana, sementara si bengek-gak-tahu-diri itu menanggapinya dengan kalimat-kalimat karangan yang terkesan melebih-lebihkan. Aku harus segera merebut hpnya sebelum semua makin rumit!