Overcompensation

Him
Chapter #4

[3] Proses Pencarian Jodoh

“Cari jodoh itu gampang,

Segampang mencari lubang semut di lapangan.”

—Nara dalam ekspedisi mencari cinta.

 

MIKAIL. NAMANYA MIKAIL.

“Kamu ngagetin tahu!” Aku lantas mengambil hapeku yang malang.

Dia meminta maaf atas ketidaksengajaannya, “Sorry, my bad.” Kemudian berinisiatif mengulurkan tangannya, membantuku turun dari podium sebagai area berkaca setinggi 10 senti. Well, wedding dress ini panjang pada bagian bawah dan heels yang aku kenakan membuatku cukup kesulitan bergerak. Aku lantas berterima kasih, sementara tanganku menggenggam erat telapak tangannya.

My pleasure!” balasnya tulus. “Anyway, aku nggak bohong, kamu emang cantik.”

Aku menyengir lebar. “Kamu berharap aku balas dengan bilang kalau kamu juga gak kalah ganteng, gitu?” Tanpa malu-malu Mikail mengangguk diikuti senyuman lebar di bibirnya. “Not bad-lah.” Senyumnya makin lebar, tetapi harus kandas ketika aku melanjutkannya, “Tapi ya nggak bagus-bagus amat, sih.”

“Minta dijitak emang.” Dan keningku menjadi sasaran empuk Mikail.

Nenek-nenek juga tahu kalau Mikail tampak memesona dengan setelan yang ia kenakan itu. Jas hitam bersih membalut tubuhnya yang terasupi gizi seimbang juga hasil olahraga rutin, sehingga menampilkan bahu yang tegap nan lebar. Seseorang yang bisa menyandarkan kepalanya di sana adalah orang yang beruntung. Dan, kebetulan orang yang beruntung itu adalah sobatku, Tita.

Aku menepuk kedua bahunya dengan gerakan yang cukup dramatis, kemudian menyengir sambil menunjukkan kedua jempolku. “Oke banget, kok. Serius.”

Mik mengangguk-angguk, kemudian berujar, “Kamu juga udah oke banget.” Senyum lain yang sangat tidak aku sukai muncul di sana, dibarengi oleh kalimat yang membuatku berharap bisa menenggelamkan cowok itu ke dalam tanah yang kami injak. “Tinggal ke KUA aja.”

Aku segera memukul lengannya keras-keras, sementara dia tertawa. Sialan emang om-om satu ini!

“Kayaknya aku perlu semedi dulu di lapangan, deh. Nyari lubang semut, siapa tahu dapat wangsit biar cepat nikah.”

Yeah, katakanlah aku cukup pesimis dalam hal ini, tetapi memang itu kenyataannya.

Wanita, usia kepala tiga, dan tinggal di Indonesia. Mungkin itu semacam kutukan. Kebanyakan orang bilang wanita yang usianya lebih dari tiga puluh tahun dan belum menikah, dia akan mengalami kesulitan bertemu jodohnya. Jadi, perasaan pesimistis dalam diriku ada alasannya, terlebih sampai saat ini tidak ada cowok potensial yang dekat denganku. Hell, aku baru sadar kalau mainku tidak terlalu jauh.

Sejujurnya, aku pernah dekat dengan beberapa cowok, seperti Rad‒teman SMA-ku dulu yang akhirnya hilang kontak setelah aku pergi ke London, Bryan Lee‒cowok asli Korea Selatan yang menjadi teman pertamaku di kampus karena kebetulan kampusku berbeda dengan Abim, atau mungkin beberapa cowok yang sempat flirting sekembalinya aku dari London. Namun, kebanyakan dari mereka sering aku banding-bandingkan dengan my first love yang akhirnya membuatku ilfeel, kemudian kabur-kaburan.

Yeah, mungkin perasaanku memang habis di orang pertama‒seperti quotes yang tengah naik daun akhir-akhir ini‒yang bahkan belum sempat kumiliki.

Anyway, kamu kayaknya hutang sesuatu, deh.”

Oh, c’mon, aku terlalu malas membahasnya sekarang. Tidak untuk saat ini. Dan, sorot mata hitam legam di balik kacamata itu tahu persis aku akan menghindarinya kalau tidak dia kejar. Sementara aku tahu persis dia akan tetap mengejarku walau sampai neraka sekalipun. Untunglah Tuhan begitu sayang padaku sehingga aku bisa lepas dari mata Mikail yang terkadang cukup mengintimidasiku itu dengan kemunculan Tita.

“Wow, wow, wow,” Tita langsung menerjang tubuhku. “Gue bilang juga apa, tulang selangka lo bagus, Na! Lo cocok banget pakai baju-baju yang kek gini! Cantik banget, sumpah!” Tita muncul mengenakan kebaya putih panjang model kutu baru yang mana bagian depan lebih banyak detail payetnya.

Lihat selengkapnya