“Cari jodoh itu hampir sama seperti mencari barang hilang.
Semakin dicari, semakin susah didapatkan.
Giliran sudah di depan mata, keduluan dicomot orang.”
—Nara dalam ekspedisi mencari cinta.
MIKAIL. NAMANYA MIKAIL.
Ada seseorang yang menuntutku menjelaskan soal Mikail ini lebih lanjut. Namun, aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan, kecuali aku sudah mengenal Mikail jauh sebelum ini. Bahkan, jauh sekali sebelum mengenal Tita. Atau bahkan sebelum aku mengenal apa itu cinta.
Aku hanya ingat waktu itu belum lulus SD ketika menjabat tangan Mikail pertama kali. Sementara, Mikail seingatku sudah masuk SMA, terlihat dari seragamnya yang sudah tak karuan bentuknya ketika Om Ridwan mengenalkan kepada kami—aku dan mama—sebagai putranya. Well, Mama dan Om Ridwan—Ayah Mikail—satu SMA hingga kuliah sehingga mereka saling mengenal satu sama lain.
Mikail yang dulu aku ingat sangat berbeda dengan sekarang. Dia dulu cukup urakan dan susah diatur, karenanya hampir setiap kali kami bertemu, Om Ridwan selalu mengeluh soal putranya itu. Dan, kalau aku tidak salah ingat, ketika pertama kali bertemu, Om Ridwan baru pulang menjemputnya dari kantor polisi karena terciduk ikut tawuran antarpelajar.
Dari sekian perbedaan, ada hal yang tidak berubah dari Mikail. Adalah hobinya yang gemar sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat orang berpikir keras. Sekeras itu pula aku berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan, “Kenapa tiba-tiba sekarang berubah pikiran?”
Saking seriusnya memikirkan hal itu, aku tidak menyadari bahwa hape-ku sudah menjerit-jerit sejak tadi. Hell, lima panggilan tak terjawab dari Abim. Kututup lipstik yang baru kupoles pada bibirku, kemudian mengangkat telepon tersebut. Aku menyeka ujung bibirku yang tergores lipstik hasil dari melamun sembari menyapa Abim. Namun, kurasa dirinya terlalu sibuk hingga tak membalas sapaanku.
“Na, gue sama Kin nggak bisa datang ke nikahan Mikail,” ucapnya terburu-buru.
Hah?
“Ken tiba-tiba muntah-muntah, badannya panas banget—”
Mendengar kabar buruk soal keponakanku seketika membuatku memotong kalimat Abim. “What?! Dari kapan?! Kok lo baru bilang sekarang, sih?! Lo kan bisa—”
“Calm down, Na—”
“Gimana gue bisa tenang? Sekarang di mana?” Aku memasukkan barang-barangku ke dalam sling bag dengan tergesa.
“Udah di rumah sakit, lagi diperiksa sama dokter.”
Otakku segera memerintah untuk secepat mungkin menyusul, meski dari kostum yang kukenakan harusnya aku menghadiri acara pernikahan. Namun, saat tanganku menyentuh gagang pintu apartemen bersiap keluar, suara Abim menyusul. “Tenang, udah ada gue sama Kin juga.” Seketika itu langkahku berhenti.
Aku sadar ada beberapa hal yang bukan lagi kekuasaanku. Lalu aku mengangguk pelan ketika Abim berpesan untuk membawa kado yang telah disiapkan sebagai hadiah pernikahan dan juga permintaan maaf karena tidak bisa hadir.
Beberapa saat seusai sambungan terputus aku masih bergeming. Bahkan tidak menyadari ada panggilan masuk lainnya.
*
HELL. AKU MENGUMPAT PELAN.
“Maaf, aku bikin kamu nggak nyaman dengan tiba-tiba datang.” Namun, ternyata tidak cukup pelan ketika diucapkan dalam mobil yang sempit ini. Aku meringis karena merasa tak enak pada seseorang yang duduk di balik kemudi.
Well, aku memang terkejut ketika mobil yang harus kutumpangi—kiriman Mikail—ternyata dikendarai Ibram—begitulah orang-orang memanggil Ibrahim. Sempat ingin protes, tetapi Mikail buru-buru bilang, “Cepatlah datang dan selamatkan pernikahanku.” Begitu aku membuka puluhan pesan dari Tita, yang kutangkap berisi ancaman macam, “Gue nggak akan nikah kalo lo nggak datang.” Ew.
Repot kali anak itu!
Sebab itulah, saat ini, aku duduk di samping pengemudi dan merasa tidak enak karena telah mengumpat setidaknya tiga kali. Hell, empat kali dengan ini.