“Don’t judge a book by it’s cover
Masalahnya fisik adalah hal pertama yang tertangkap mata.”
—Nara yang butuh jodoh.
AKU MELIRIK JAM DINDING BESAR yang terpasang di salah satu dinding di lobi tempat kerjaku. Jam enam sore lewat sedikit, tetapi suasananya masih seramai pasar pagi. Bahkan aku datang berbarengan dengan beberapa mobil ambulan membawa korban kecelakaan beruntun yang melibatkan beberapa mobil. Tentu IGD sedang ramai-ramainya sekarang.
Namun, tujuanku bukan itu. Aku hanya perlu ke arah lain dari arah IGD untuk sampai di kamar rawat inap. Di sini suasananya jauh lebih sepi dari IGD tadi. Hanya beberapa perawat yang lewat untuk mengecek keadaan pasien. Aku menyapa beberapa dari mereka, juga beberapa pasien yang kurawat. Sisanya menatapku aneh karena mengenakan kebaya dengan heels setinggi tujuh senti. Sebelah tanganku membawa bunga dari Mikail tadi, sementara tanganku yang lain membawa setas besar pesanan Kin. Outfit yang sangat-sangat tidak oke untuk menjenguk orang sakit.
“Ounty!!”
Dari ujung sana Kei berteriak lantang, kemudian berlari menyusulku. “Hei, siapa yang ngajarin kamu lari-lari di koridor rumah sakit gini?” kataku berjongkok di depan gadis itu ketika dia sudah berada di depanku.
Kei terkekeh, kemudian segera memeluk leherku. “Kei kangen Ounty.”
Aishh, ini anak udah kayak anak sendiri aja!
“Sun dulu gak, sih.” Aku memaparkan pipi kananku ke depan muka Kei yang langsung dihadiahi kecupan manis gadis itu. Aku membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis, kemudian menggendongnya. Kei langsung memeluk leherku erat, bahkan enggan lepas meski Kin memintanya turun.
“Udah, sih, gak papa. Nih, makan gih.” Aku mengangsurkan tas besar yang kubawa pada Kin dan langsung diterima dengan baik olehnya.
Aku segera digiring menuju ruang inap Ken. Kamar yang sebenarnya diperuntukkan untuk 2 pasien, hanya saja ranjang satunya kosong. Dalam ruangan pun hanya ada Abim yang terlihat sibuk dengan laptop yang dia letakkan pada meja kecil di samping ranjang. Begitu kami masuk, dia menoleh dengan kacamata melorot.
Abim tersenyum melihat kami. Oh, bukan, dia tersenyum untuk Kin, tentu saja. Melihat Kin yang membawa bingkisan tas besar, dia segera memindahkan laptopnya ke pangkuan.
“Heran gue, anak gue kok bisa kayak elo, sih, Na? Makannya ribet banget,” kata Kin sambil menurunkan isi bingkisan tas yang tadi kubawa. Terdapat kotak-kotak berlabel Honet Lemon yang isinya menu makanan vegan dari tempat makan langgananku.
“Yeee, itu karena kita berkelas! Ya, nggak, Kei?” tanyaku pada gadis itu yang dibalas oleh anggukan.
Wajah Kei masih di leherku ketika dia ikut membalas perkataan ibunya. “Makanan mahal itu, Ma.”
Abim yang sedari tadi diam saja akhirnya tertawa. Dia menutup laptopnya, kemudian berdiri menghampiri Kei yang kugendong. “Duh, pinter banget. Anak siapa, sih, ini?” Diciumnya pipi gembul Kei sebelum mengambil alih gadis itu dari gendonganku dengan satu tangan. Hanya beberapa detik digendongan Abim, kini Kei sudah mendarat di kursi yang tadi diduduki ayahnya. Lagi-lagi Abim mencium anak pertamanya yang kali ini di kening, tak lupa mengelus rambut Kei.
“Makan yang banyak, ya, anaknya Papa,” ujarnya sebelum beralih padaku. “Thanks, udah bawain makan, Na. Lo juga makan gih, kalo belum makan. Gue keluar dulu.”
“Lo masih ada kerjaan?” tanyaku melihat Abim berlalu menuju ke pintu dengan laptopnya.
Abim mengangguk. “Tinggal dikit, sih. Gue kerjain di luar dulu,” balasnya sembari berjalan ke arah luar.
Tinggallah aku, Kin, dan kedua anaknya. Kei tampak senang melihat satu per satu menu yang kubawa. Dia juga tampak bersemangat untuk menyantapnya, matanya berbinar ketika suapan pertama dari Kin masuk ke mulutnya. Sementara itu, Kin tampaknya cukup kewalahan menghadapi Kei yang heboh sendiri. Sayangnya, aku tak lagi memperhatikan interaksi ibu dan anak itu. Perhatianku kini tertuju pada bayi mungil berusia lima bulan terbaring di ranjang.
Ken tampak lemah di sana. Salah satu tangannya terhubung dengan selang infus. Matanya memejam dengan sisa air mata di pipinya. Aku mendekat, menghapus sisa air mata itu.