“Di sini ada jodoh, di sana ada jodoh
Namun, aku terlalu bermasa bodoh.”
—Nara dalam mode bloon.
IBRAM BERJANJI UNTUK MENGHUBUNGIKU NANTI malam. Namun, sampai aku terbangun di samping Kei yang memelukku erat, tak ada notifikasi panggilan yang masuk.
Yeah, Kei akhirnya ikut pulang bersamaku. Gadis itu tak mungkin kubiarkan tidur di sofa rumah sakit semalaman. Dan tentu saja kami pulang diantar Abim, sekalian dirinya mengambil beberapa barang dari apartemen, kemudian dia kembali ke rumah sakit. Oleh karena itu, begitu alarm-ku berbunyi aku langsung bangun, meski ini masih subuh banget. Well, biasanya aku kembali tidur lagi, tapi sekarang aku harus menyiapkan sarapan untuk Kei. Dia harus berangkat sekolah hari ini.
Seperti yang dibilang Kin, Kei punya selera makan yang sama sepertiku dan itu masalah. Asal tahu saja, makanan yang bisa kami makan itu terbatas dan susah.
Aku memasak makanan versi seadanya. Sandwich isi sayur yang masih ada di kulkas—buncis kalengan, selada, dan tomat. Untungnya sisa roti gandum dan mayones vegan cukup untuk membuat tiga porsi makan pagi. Sementara, untuk bekal makan siang, aku membuat bento. Isinya tentu hanya olahan tempe sisa dan sayur sisa. Makanya kubilang ini masakan seadanya.
Kei akhirnya bangun bertepatan dengan Abim yang main nyelonong ke dapur. Dia pulang untuk mengantar Kei ke sekolah. Meski kesal karena main datang kayak jelangkung, namun dengan adanya Abim, pekerjaanku pagi ini bisa cepat selesai. Sembari aku menyiapkan makan, dia menyiapkan anak gadisnya. Bahkan, juga ikut membantuku di dapur. Begitu masakan matang, aku meminta Abim menatanya, selagi aku mandi dan bersiap.
Satu jam kemudian, kami sudah berada di depan sekolah Kei. Abim baru masuk kembali ke mobil yang kami tumpangi—setelah mengantar Kei ke Miss—ketika aku memoleskan lipstik di bibirku. Yeah, aku menghemat waktu pagi ini dengan make-up-an di mobil. Tadinya aku memilih untuk tidak berdandan, tapi kemudian wajahku tampak begitu lesu tanpa perona wajah, jadi kuputuskan untuk berdandan selama perjalanan.
“Lo bakalan ke kantor hari ini?” tanyaku saat Abim mulai menjalankan kembali mobilnya.
“Nggak, sih, gue bakal stay di RS. Pekerjaan gue bisa gue remote, nggak ada janji sama klien juga.”
Aku manggut-manggut mendengar jawaban Abim. Sebenarnya aku berencana mengunjungi Kin ketika jam makan siang nanti, berhubung Abim menemaninya kurasa aku tidak begitu dibutuhkan di sana.
Sisa perjalanan kugunakan untuk membaca rekapan medis beberapa pasien transferan dari Tita karena dia cuti menikah. Ngomong-ngomong soal Tita, dia tidak ada kabarnya sampai hari ini. Begitu pula Mik. Mereka terlalu sibuk honeymoon, sampai lupa padaku. Well, sebenarnya mereka tidak honeymoon ke mana-mana, karenanya nyatanya mereka memilih mem-booking hotel tempat mereka menyelenggarakan pernikahan kemarin selama tiga hari. Dan kurasa itu jauh lebih bagus daripada menghabiskan jutaan rupiah untuk honeymoon ke luar kota bahkan luar negeri yang pada akhirnya mereka justru stay di hotel.
Hell, kenapa aku justru membahas honeymoon dan hotel?!
Aku segera menyingkirkan pikiran kotorku dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa lo? Habis mikir yang enggak-enggak ya?” Abim menyeringai tampak mengejekku.
Lah, kampret! Bisa-bisanya dia tahu pikiranku!
Aku menutup tablet yang kubawa untuk mengecek dokumen pasien, lalu menatap Abim. “Gue cuma lagi mikir, gimana kalo tiba-tiba gue nikah besok.”
“Wah, kalo itu sih gue angkat tangan, melambai ke kamera,” balasnya dengan gerakan tangan melambai ke atas seolah ini acara TV gitu. Mana habis itu dia tertawa keras banget lagi.
“Lo teman kampret, sih.”
“Ya, gini, kalau mau nikah cari jodoh dulu. Lah, lo kalau ada kesempatan ketemu jodoh malah kabur, ya gini deh hasilnya. Jomblo seumur hidup!”
OK, Abim emang teman yang berengsek banget!
“Lo itu harusnya lebih aware sama sekitar, siapa tahu jodoh lo sebenarnya udah di sekitar lo? Cuma lo-nya aja yang udah telanjur bloon.” Lagi-lagi Abim berpetuhan yang sebenarnya lebih mirip mengejekku.
Aku mendengus jengkel. “Iya, deh, gue emang bloon banget kalau masalah beginian.”
Dan pagiku yang kukira indah ini berubah menjadi petaka karena tawa kemenangan Abim. Hell!
*
AKU MENJALANI RUTINITASKU sebagai fisioterapis seperti biasa. Hari ini, hariku semakin murung karena mendadak aku merasa kesepian tanpa Tita. Sobatku itu bahkan belum menghubungiku. Ah, sialan!
Aku memang punya rekan kerja yang menyenangkan, meski begitu Tita adalah sobat pertamaku di sini, sehingga rasanya aneh bekerja tanpa dirinya.
“Mbak, yuk, ikut kita makan di luar, daripada makan sendirian gitu,” ajak Sella—rekan kerjaku yang baru setahunan ini menyandang gelar fisioterapis.
“Gue bawa bekal, nih,” balasku menunjukkan kotak makan siangku. “Tapi, kalau lo mau bayarin makan di resto langganan gue, gas aja, sih. Lagi bokek, nih, gue. Habis diporotin Tita,” lanjutku dengan muka memelas.