Udara pagi masuk ke jendala kamar Aurora. Rutinitas pagi yang selalu ia kerjakan adalah membuka jendela dan menghirup nafas panjang untuk merasakan udara segar pagi hari. Tak ada yang bisa mengalahkan kesegaran udara pagi bagi Aurora.
Beruntung Aurora karena rumah yang ditinggali masih banyak sawah dan pepohonan sehingga ia tidak kesulitan menemukan udara segar. Sebentar kemudian Aurora menyambar handuk untuk segera mandi. Walaupun udara sangat dingin namun tidak membuat Aurora menjadi malas mandi. Baginya mandi pagi adalah awal untuk memulai hari agar lebih bersemangat.
“Ra, sudah selesai belum siap-siapnya?” tanya Bunda dari arah dapur.
“Sudah Bun, sebentar lagi selesai,” jawab Aurora sambil merapikan kemejanya.
“Jangan lupa sarapan ya, Bunda sudah siapkan nasi goreng di meja makan.”
“Siap Bun,” jawab Aurora dari dalam kamar. Ia masih menyisir rambut panjangnya dan mengikatnya tinggi. Diliriknya jam tangan miliknya, sudah pukul delapan ternyata, lima belas menit lagi sahabatnya, Noni, akan menjemput untuk pergi ke kampus bersama.
Piring Aurora sudah kosong, diteguknya segelas susu yang ada dihadapannya. Perutnya sudah kenyang menyantap nasi goreng paling enak bikinan Bunda. Ia sudah siap meluncur ke kampus bersama Noni. Sebelum berangkat ia tidak lupa untuk berpamitan kepada Bunda dan Eyang Kakung, keluarga kecil yang sangat ia sayangi.
Noni merupakan sahabat Aurora yang ia kenal sejak tiga tahun lalu ketika baru saja pindah dari Jakarta ke Bandung. Usianya sama dengan Aurora sehingga mereka bisa satu kampus namun berbeda jurusan. Aurora masuk Jurusan Manajemen sedangkan Noni Jurusan Arsitek. Rumah Noni bersebelahan dengan rumah Eyang sehingga setiap hari Aurora bisa nebeng pergi ke kampus. Seperti pagi ini, Aurora sudah siap di teras rumahnya untuk menunggu jemputan Noni.
“Ra, yuk berangkat,” ajak Noni yang sudah siap di atas motor maticnya.
“Bentar gue ambil helm dulu ya Non,” jawab Aurora berjalan ke arah garasi untuk mengambil helmnya.
Jalanan menuju kampus sangat macet. Sepertinya, semua lapisan masyarakat berangkat memulai aktivitas pada jam yang sama. Ditambah kebiasaan orang Indonesia yang lebih memilih berangkat mepet dibanding berangkat lebih awal, sehingga berlomba untuk sampai duluan. Hal ini berakibat naiknya emosi dan tidak sedikit yang bertengkar antar pengendara motor.
Beruntung Noni adalah pengendara motor yang handal, ia bisa melewati mobil besar yang sama-sama ingin cepat sampai tujuan. Kalau sudah begini Aurora hanya bisa berpegangan kuat pada tas ransel Noni dengan bibir komat-kamit dan memejamkan mata.
“Non, ati-ati bawa motornya, skripsi gue tinggal dikit nih masa mau mati duluan sebelum lulus,” gurau Aurora di boncengan dengan perasaan yang was-was.
“Sstt, jangan ganggu konsentrasi gue, daripada telat masuk kelas,” jawab Noni masih lurus menatap jalanan untuk mencari celah mana yang akan ia lewati.
“Gue hari ini udah nggak ada kelas, tinggal skripsi aja Non makanya pelan-pelan ya.” Tidak ada jawaban dari Noni, ternyata ia sudah bersiap untuk memasuki celah antara mobil box catering dan bis besar pengangkut murid panti asuhan. Mata Aurora memejam, ia ingin berteriak namun suaranya seperti terhenti di tenggorokan saking takutnya. Aurora mengencangkan pegangannya dan hanya bisa pasrah.
Hanya perlu waktu lima menit bagi Noni untuk menerobos kemacetan dan sampai di kampus dengan jantung Aurora yang masih deg-degan. Noni memarkir motor persis di depan fakultasnya. Ia melepaskan helm dan bersiap turun dari motor namun ada yang aneh dibagian boncengannya. Noni masih merasa berat dibagian belakang, ia menoleh kebelakang dan seketika itu pula tertawa tebahak-bahak.
“Lo kenapa Ra, kok pucat gitu?” tanya Noni yang masih tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah sahabatnya. Aurora masih diam di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya tadi apabila Noni gagal memasuki celah kecil diantara mobil besar.
“Ra, lo nggak mau turun dari motor? Mau diatas motor sampai kapan, sampai gue balik dari kuliah?” tanya Noni yang heran melihat Aurora dengan sikap patungnya.
Aurora tersadar dan melepas helmnya, ia melompat turun dari motor. “Lo ya Non nggak sadar apa bawa anak orang, pake nyelip diantara mobil segede itu. Kalau kita jatuh gimana kan bisa mengkhawatirkan orang tua kita,” cerocos Aurora pada Noni.
“Kita? Gue sama lo maksudnya?”
“Iya Noni, mau siapa lagi.”
“Ih, lo aja kali gue nggak. Gue jelasin ya kalau gue sampai berani masuk ke celah yang kecil kaya gitu, tandanya 1000% pasti lolos. Kalaupun nggak lolos palingan yang diboncengan ketinggalan karena kejepit,” jawab Noni dengan santai tanpa ada rasa bersalah. Ia tidak sadar kalau yang diajak bicara bibirnya sudah maju semeter saking takutnya.
“Amit-amit, kalo ngomong suka ngasal deh,” jawab Aurora sembari mengetok kepala Noni.
“Lo mau kemana sekarang? Bukannya udah nggak ada kuliah ya?” tanya Noni pada Aurora yang mungkin dalam waktu dekat ini akan segera melaksanakan ujian skripsi.
“Mau konsultasi sama dosen pembimbing terus ke perpustakaan.”
“Emangnya belum kelar ya skripsinya?”
“Di bab pembahasan masih ada yang kurang aja, kaya nggak mantep.”
“Iya deh percaya yang perfeksionis dan nggak mau ada yang kurang. Tapi kalo lo lulus gue berangkat kuliah sama siapa dong jadi sepi deh nggak ada yang teriak-teriak sambil komat kamit nggak jelas diboncengan.”
“Gampang nanti lo yang nganterin gue ke tempat kerja aja biar gue nggak telat terus lo nggak kesepian deh.”
“Kayanya nggak ada bedanya ya gue sama tukang ojek depan gang.”
Mereka berdua berjalan menuju gedung fakultas masing-masing. Noni menyebrang jalan dan memasuki gedung fakultasnya, sedangkan Aurora harus berjalan lebih jauh untuk sampai di gedung fakultasnya.
Langkah Aurora terhenti di depan ruangan bertuliskan Prof. Dr. Rachmat Gazali, SE, Msi. Akt, dosen pembimbing skripsinya. Diketoknya pintu ruangan dosen pembimbing namun tak ada sahutan dari dalam. Ia mencoba membuka pintunya, ternyata dikunci. Aurora menghela nafas panjang, dosennya tidak ada di ruangan.
Menurut keterangan pegawai akademik dosennya sedang pergi untuk waktu yang cukup lama. Aurora memutuskan untuk menuju perpustakaan jurusan sekedar menunggu waktu hingga Noni selesai kuliah.
Di perpustakaan jurusan rupanya sudah banyak teman seangkatan Aurora yang serius menatap laptop masing-masing. Tak ada yang menghiraukan kedatangan Aurora kecuali Pak Kum, penjaga perpustakaan.
“Tumben Ra mampir ke sini, bukannya skripsinya sudah selesai?” tanya Pak Kum ketika menyadari kedatangan Aurora.
“Iya nih pak, Prof Gazali lagi nggak ada di ruangannya jadi mampir deh kesini, sekalian jenguk Pak Kum,” jawab Aurora sambil menampakkan senyum manisnya.
“Profesor Gazali lagi ke Hongkong sampai minggu depan Ra, kok kamu sampai nggak tahu emangnya tadi nggak janjian dulu?” tanya Pak Kum.
“Tadi malem sih saya telpon tapi nggak diangkat jadi saya pikir langsung ke ruangannya aja akhirya terpaksa pulang dengan tangan kosong deh.”
“Ngapain pulang Ra, sana nongkrong dulu di taman siapa tahu ada yang nyantol daripada stres mikirin skripsi kan bisa sekalian refreshing.”
“Pak Kum bisa aja, kalo duduk di taman suka ngantuk Pak soalnya angin disana seger banget.”
Sehabis bercengkrama dengan Pak Kum, Aurora memilih untuk nongkrong di kantin sebentar. Saat ini ia butuh hiburan karena sejak tiga bulan yang lalu waktunya hanya dihabiskan untuk mengerjakan skripsi.
Meja kosong di sudut kantin dipilih Aurora untuk menghabiskan yogurt kopi kesukaannya. Kecintaannya pada yogurt membuat Aurora tak bisa melewatkan sehari tanpa minum yogurt. Rasa yang paling ia sukai adalah rasa kopi. Baginya yogurt kopi diibaratkan seperti kehidupan, rasanya memang asam namun aroma kopi yang kuat akan meninggalkan sensasi tersendiri.
Pikiran Aurora terus melayang mengingat-ingat apa yang sudah ia jalani selama 5 tahun belakangan ini. Hidupnya yang semula sangat bahagia tiba-tiba saja harus berbalik menerima kenyataan pahit bahwa Ayahnya terkena kanker paru-paru. Selama satu tahun Bunda banting tulang mengelola perusahaan Ayah sampai akhirnya Ayah meninggal. Aset yang dimiliki Ayah sudah habis untuk biaya berobat sehingga Aurora dan Bunda harus pindah ke Bandung untuk tinggal bersama Eyang Kakung.
Bandung masih sangat asing bagi Aurora. Bahasanya yang menggunakan Bahasa Sunda membuatnya kikuk untuk berkomunikasi dengan orang lain. Belum lagi didikan keras dari Eyang membuat Aurora yang semula merupakan gadis manja menjadi gadis yang mandiri. Pilihannya memilih jurusan Manajemen di Universitas Harapan Bangsa semata-mata ingin menjadi pengusaha sukses seperti Ayahnya. Ia bercita-cita suatu saat bisa memiliki usaha yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tidak terasa gelas yogurt Aurora sudah kosong, tapi rasanya ia belum ingin beanjak dari bangkunya. Jam tangannya masih menunjukkan pukul 11.50, adzan dhuhur sudah berkumandang. Aurora memutuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Ia menuju masjid yang ada di belakang gedung fakultas. Sesampainya di masjid Aurora segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat.
Aurora memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Noni setelah selesai sholat.
Aurora: masih lm kuliahnya? Gue plng duluan ya
Tak berselang lama balasan dari Noni sudah sampai ke ponsel Aurora.
Noni: 5 menit lagi beres, tungguin di parkiran ya.....
Aurora melipat mukenanya dan memasukkan dalam tas. Ia mempercepat langkahnya karena jarak antara masjid sampai ke tempat parkir cukup jauh. Langkahnya harus diperlebar untuk sampai ke tempat tepat waktu.
Nafas Aurora naik turun ketika sampai di tempat parkir. Noni yang sudah menunggu di atas motornya sedikit bingung dengan tingkah sahabatnya. “Lo kenapa Ra, habis lari marathon?”
“Gue takut lo nunggu lama jadi gue lari-lari deh, udah nggak usah banyak tanya yuk pulang.” Aurora memilih diam selama beberapa menit saat berada di boncengan Noni sambil mengatur nafasnya yang naik turun. Tiba-tiba ia ingin makan pancake.
“Non, mampir ke Frape Kafe yuk, pingin makan pancake nih,” ajak Aurora pada Noni sambil mencondongkan badannya ke arah depan agar Noni dapat mendengarnya.
“Siap bos, tapi gue lagi nggak ada duit nih, bayarin ya,” jawab Noni kemudian terdiam, kembali konsentrasi mengendarai sepedanya.