p.u.l.a.n.g

Marina Dohitra Yanuparinda H
Chapter #4

Bab 3

Pagi semua, maaf telat,” sapa Aurora pada karyawannya ketika sampai di kafe.

“Pagi Mbak Ra, barusan Mas Gilang nyari mbak tapi dia langsung pulang waktu tahu Mbak Aurora belum datang,” ujar seorang karyawan Aurora.

 “Dia ninggalin pesan nggak?” tanya Aurora.

“Nggak, tapi katanya Mas Gilang balik kesini lagi nanti agak siangan.”

“Ya udah deh kalo gitu, makasih ya.”

Aurora duduk di belakang meja kasir sekaligus meja kerjanya. Dinyalakan laptopnya kemudian menyambungkan pada sinyal wifi. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang Gilang yang mencarinya. Sejak kejadian sebulan lalu, Gilang sudah tidak pernah datang untuk sekedar ngobrol dengan Aurora di kafe. Gilang hanya datang untuk urusan komunitasnya setelah urusannya selesai maka ia akan pulang tanpa ngobrol terlebih dahulu dengan Aurora seperti biasanya. 

Aurora tidak mengerti mengapa Gilang bersikap seperti itu namun baginya keadaan ini lebih baik. Mungkin Noni telah menceritakan semuanya pada Gilang. Sedangkan Noni masih sering ke kafe namun tidak sesering dulu. Ia telah diterima bekerja di perusahaan kontraktor sehingga tidak bisa menemani Aurora menjaga kafe setiap hari. Noni juga tidak pernah sedikitpun membahas masalah Gilang. 

“Pagi cewek,” sapa Gilang yang tiba-tiba muncul di depan meja Aurora.

Aurora cukup kaget melihat Gilang yang tak disangka akan muncul secepat ini. “Lo Lang, ada apa ya?” tanya Aurora kaku.

“Kalo pengen ketemu lo harus ada apa-apanya ya?”

“Nggak sih tapi tumben aja nyariin gue pagi banget.”

Wajah Gilang yang semula santai berubah menjadi serius. Ditariknya nafas panjang kemudian ia seperti menata sesuatu untuk dikatakan. “Boleh ngobrol bentar?”

“Boleh, mau ngomongin apa?” tanya Aurora mencoba sebiasa mungkin.

“Di meja biasa boleh nggak biar enak aja ngobrolnya,” ajak Gilang sambil mengulur waktu.

“Maaf Lang tapi meja kasir nggak ada yang jaga lagian Noni udah jarang kesini kalo hari kerja jadi gue nggak bisa ninggalin meja kasir. Ngobrolnya disini aja nggak papa kan?”

Wajah Gilang kembali menegang ketika mendengar nama Noni diucapkan. Ia seperti menata nafasnya kembali untuk melanjutkan pembicaraan. “Nggak papa Ra yang penting gue bisa ngobrol aja sama lo,” ujar Gilang setelah ia kembali bisa mengendalikan diri.

“Lo mau ngomongin soal Noni ya?” tanya Aurora mencoba menebak isi kepala Gilang.

Gilang terdiam sebentar kemudian mencoba menjelaskan tentang kejadian sebulan yang lalu. “Jadi gini Ra, kejadian sebulan yang lalu itu murni kesalahan gue. Gue cuma mau minta maaf aja karna waktu itu kita pergi nggak pamit atau ngajak lo untuk ikut kita.”

“Ngapain harus minta maaf terus seandainya lo ngerasa salah kenapa nggak langsung minta maaf waktu malam itu dan kenapa baru minta maaf hari ini?” berondong Aurora pada Gilang.

“Sekali lagi maaf Ra, gue tahu gue salah. Mungkin di mata lo, gue cowok yang nggak gentle. Gue harus ngelakuin apa biar lo mau maafin gue?” ujar Gilang berusaha menebus kesalahannya.

“Jujur malam itu gue marah sama lo dan Noni tapi gue punya hak apa Lang. Gue nggak punya kapasitas untuk melarang kalian jalan berdua. Gue kecewa sama lo tapi balik lagi gue nggak punya daya buat ngelampiasin kekesalan gue sama lo.”

“Harusnya lo ngomong kalo lo nggak suka lihat kita jalan berdua. Kalo lo diem aja kita nggak tahu Ra.”

“Gue berusaha hubungin kalian berdua tapi apa, nggak pernah ada jawaban dari kalian. Semua itu sudah cukup menjelaskan kalo kalian emang lagi pengen berdua dan nggak mau diganggu.” Aurora menarik napasnya yang mulai naik turun karena terbawa emosi. Ia mencoba menstabilkan nafasnya kemudian melanjutkan berbicara.

“Waktu itu gue nggak tahu apa yang gue rasakan. Rasanya kaya ada yang hilang tapi kehilangan hanya akan dirasa jika memilikinya. Kenyataannya gue nggak miliki lo, jadi gue nggak berhak buat ngelarang kalian jalan berdua.”

Gilang memandang Aurora tajam. Ia mencoba mencerna perkataan Aurora. Pikirannya melayang pada sosok Noni. Perempuan yang dekat dengannya selama sebulan ini. Gilang merasa lebih memilih Noni untuk menitipkan hatinya. Sedangkan Aurora merupakan perempuan yang membuatnya nyaman sebagai teman, tidak lebih. Awalnya Gilang memang seperti menaruh hati pada Aurora namun setelah bertemu dengan Noni, hatinya lebih memilih Noni.

“Sekali lagi gue minta maaf kalau bikin persahabatan kalian jadi kurang harmonis. Jujur dari hati yang paling dalam, gue nggak pernah bermaksud bikin kalian musuhan,” jelas Gilang.

“Bodoh banget kalo sampai persahabatan gue sama Noni buyar gara-gara seorang cowok. Kita sahabatan udah lama kok dan nggak akan gampang buat dihancurin apalagi karena masalah sepele gini. Lebih baik gue yang ngalah, kalo emang kalian saling suka gue ikhlas kok.”

“Makasih Ra. Mungkin gue cuma bisa ngucapin itu ke lo. gue pamit dulu deh, sekali lagi makasih banget karena sudah ngerti posisi dan perasaan gue.” Gilang beranjak dari tempat duduknya kemudian melangkah keluar dari kafe. Hatinya sedikit lega mendengar permintaan maafnya diterima oleh Aurora. Setidaknya ia tahu bahwa Aurora ikhlas jika ia lebih memilih Noni dibandingkan dirinya.

Setelah kepergian Gilang dari hadapannya, Aurora tetap di tempat duduknya. Wajahnya dibenamkan diantara kedua lututnya. Hatinya hancur mendengar pengakuan dari Gilang. Waktu sebulan ternyata tidak membuatnya bisa membuang rasa yang masih tidak begitu dalam di hatinya. Aurora berpikir Gilang memiliki rasa yang sama dengan dirinya namun ternyata anggapannya salah besar. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini. Sebagai manusia kita tidak bisa mengatur kepada siapa hati ini akan jatuh.

Sinar matahari pagi menerobos masuk ke sela-sela jendela kamar Aurora. Hari ini ia sengaja bangun lebih siang dari biasanya. Ia ingin memiliki waktu untuk sendiri terlebih dahulu. Kafe miliknya tetap ia kunjungi setiap hari namun tidak seperti dulu yang selalu ia tunggu dari pagi hingga petang. Ia telah mempercayakan semua urusan kafe kepada salah satu karyawannya. Sesekali ia hanya mengontrol saja.

Aurora keluar dari kamar tidurnya. Ia belum bersiap-siap untuk pergi karena ia tak tahu mau pergi kemana hari ini. Aurora berjalan menuju dapur untuk mencari Bundanya. Dapur adalah tempat pertama yang Aurora kunjungi jika ia ingin bertemu Bunda. Di tempat inilah Bunda selalu menyibukkan diri sebelum ataupun setelah berdagang di pasar.

“Bunda,” panggil Aurora di depan pintu dapur.

“Kamu Ra, Bunda kira siapa. Kamu udah laper ya, sebentar lagi nasi gorengnya matang kok,” jawab Bunda yang masih sibuk berkutat dengan masakannya. Aurora melangkahkan kaki menuju tempat Bunda berdiri.

“Aurora sayang Bunda. Maaf ya Bund akhir-akhir ini Aurora jarang banget merhatiin Bunda karena sibuk sendiri sama kafe,” ujar Aurora sambil memeluk Bunda dari belakang. Bunda menghentikan kegiatan memasaknya. Ia sangat kaget dengan pelukan Aurora. Sudah lama memang Aurora jarang pulang ke rumah di sore hari. Ia lebih sering pulang larut malam karena mengurusi usaha kafenya.

“Aurora kenapa, ada masalah?” tanya Bunda sambil melepaskan pelukan Aurora kemudian beralih mengelus kepala Aurora.

“Nggak kok Bund. Aurora cuma kangen aja sama Bunda dan Ayah.” Bunda kaget dengan pernyataan Aurora. Ia tidak menyangka bahwa ditengah kesibukan Aurora mengurus kafe ternyata ia masih merindukan Ayahnya yang telah lama meninggal dunia.

“Kamu banyak berdoa aja, minta sama Allah biar dipertemukan sama Ayah lewat mimpi.”

“Aurora boleh minta sesuatu nggak Bund?”

“Boleh, selama Bunda bisa pasti akan Bunda lakukan.”

“Minggu depan Aurora pingin ke Jakarta. Aurora mau ke makam Ayah buat ngebersihin sekalian ngelepas kangen karena udah lama nggak kesana.” Permintaan Aurora cukup sederhana namun membuat Bunda tercengang. Ia tidak ingin melihat Aurora menangis lagi karena ingat Ayahnya.

“Bunda nggak usah khawatir Aurora bisa jaga emosi kok. Aurora sudah tahu dimana harus meluapkan emosi dan dimana harus menahan emosi,” Aurora mencoba meyakinkan Bunda agar ia diizinkan untuk pergi ke Jakarta.

“Tapi Ra...,” perkataan Bunda terpotong. Bunda tidak kuasa menahan air matanya.

“Bunda kok nangis? Kalau memang nggak diizinkan berangkat ke Jakarta nggak papa kok. Aurora bisa berdoa dari sini aja yang penting doanya kan Bund,” ujar Aurora mencoba menenangkan Bunda yang mulai menangis sesenggukan.

Beberapa saat kemudian Bunda memeluk Aurora dengan erat. Ia mengelus puncak kepala Aurora dengan sangat lembut. Aurora yang berada di dalam pelukan Bunda hanya bisa terdiam, ia merasa mungkin Bunda juga rindu dengan Ayah sama seperti dirinya.

“Kamu sudah besar ternyata Nak, Bunda nggak menyangka kamu punya pikiran yang sangat dewasa. Bunda semakin bangga sama kamu. Bunda izinkan pergi ke Jakarta tapi jangan lebih dari tiga hari ya. Kalau terlalu lama Bunda khawatir juga.”

“Bunda,” Aurora tak bisa membendung air matanya lagi. Ia hanya bisa memeluk Bunda dengan erat. Rasanya ia sangat beruntung dilahirkan oleh Bunda yang begitu hebat dan kuat. Tidak ada yang pernah bisa menggantikan posisi Bunda sampai kapanpun itu.

Aurora mengemasi barang yang akan dibawanya menuju Jakarta. Besok lusa adalah hari keberangkatannya. Ia membawa satu tas ransel untuk keperluannya beberapa hari. Rencananya ia menginap di Jakarta selama tiga hari. Di sana ia menginap di hotel dekat Bundaran HI.

Hotelnya memang cukup jauh dari makam Ayah namun Aurora memilih hotel ini karena ingin sekalian bernostalgia saat masa SMAnya dulu. Dulu saat SMA, Aurora sering berkeliling di pusat kota bersama teman-temannya hanya untuk melepas penat. Pusat kota memang lebih dekat dengan daerah manapun sehingga memudahkan Aurora untuk menemukan transportasi.

Kereta Aurora berangkat pukul 06.30 dari Stasiun Bandung. Ia akan sampai di Stasiun Gambir pada pukul 09.40. Sesampainya ia di Jakarta Aurora langsung menuju ke hotel tempat ia menginap. Lokasi hotelnya berada di dekat pusat perbelanjaan. Setelah berbenah diri ia langsung menuju ke kafe tempat ia biasanya nongkrong bersama teman SMAnya dulu.

Aurora masih menjumpai suasana yang sama dengan beberapa tahun lalu saat masuk ke dalam kafe. Masih tetap ramai dengan anak muda. Aurora sampai bingung karena sudah tidak ada bangku kosong. Ia celingukan mencari meja yang bisa ia tempati untuk duduk. Beberapa menit Aurora berkeliling kafe namun tak ada pengunjung yang ingin meninggalkan mejanya. Ia memutuskan untuk menghampiri seorang cowok yang duduk sendiri di mejanya.

“Maaf mas ada orangnya nggak?” tanya Aurora sambil menunjuk kursi kosong.

Lihat selengkapnya