“Pagi semua, kangen deh lama nggak ketemu kalian. Semua baik-baik aja kan selama gue tinggal?” sapa Aurora begitu ia sampai di kafe. Meninggalkan kafe selama empat hari membuat Aurora merindukan tempat yang dirintisnya mulai nol sampai sukses seperti sekarang.
“Kalian semua bisa kumpul sebentar nggak, ada yang mau gue tanyain tentang kafe selama empat hari ini,” ujar Aurora berdiri di tengah kafe menyuruh semua karyawannya untuk berkumpul.
Aurora ingin membahas kendala yang dihadapi karyawannya selama ia tinggal ke Jakarta. Walaupun ia tahu kafenya baik-baik saja namun ia harus benar-benar memastikan bahwa semua aman dan terkendali. Ia ingin mendapatkan semua laporan secara lengkap dan detail. Mulai dari keuangan, pelanggan, serta produk yang dihasilkan kafe.
Belum sempat Aurora menyelesaikan evaluasinya tiba-tiba pintu kafe terbuka. Aurora heran, kafenya belum buka namun pelanggan sudah datang. Ternyata yang datang adalah Gilang.
“Pagi Bu Aurora, maaf saya datang terlambat,” sapa Gilang yang sudah nyengir di depan Aurora.
“Eh, lo Lang. Ada apaan nih pagi-pagi udah nongol di kafe gue,” jawab Aurora mencoba senetral mungkin. Ia masih saja kaku jika bertemu Gilang semenjak kejadian beberapa bulan yang lalu.
“Kangen aja sama kafe, terutama yang punya kafenya,” ujar Gilang mencoba menggoda Aurora. Wajah Aurora menegang, ia tidak ingin gombalan Gilang membuatnya menjadi berharap pada Gilang. Meskipun Gilang hanya basa basi saja.
“Kayanya baru semalem juga kita ketemu,” jawab Aurora membuat karyawannya saling pandang tanda curiga.
“Oh iya lupa gue,” balas Gilang santai. Ia tidak tahu jika Aurora tida bisa santai jika berhadapan dengan Gilang.
“Bentar ya Lang, gue bubarin karyawan gue dulu. Lo ke meja biasa aja nanti gue susul.” Setelah Aurora menyelesaikan evaluasi dan membubarkan karyawannya, Aurora melihat karyawannya bekerja dengan baik, ia segera menghampiri Gilang. Aurora tidak lupa membawakan Good Morning Coffee, kopi kesukaan Gilang.
“Ada apa nih Lang? Kayanya penting banget sampai pingin ketemu gue pagi banget?” tanya Aurora setelah ia duduk di depan Gilang.
“Gue kangen open mic di kafe lo nih. Boleh dong ada acara open mic lagi?” Semenjak kejadian beberapa bulan lalu Gilang dan komunitasnya memang sangat jarang mengadakan kumpul komunitas di kafe.
Aurora menimbang permintaan Gilang. Dia takut jika Gilang datang setiap minggu ia akan jatuh cinta lagi pada Gilang. Ia tidak ingin mengkhianati sahabatnya sendiri. Aurora juga takut jika ia cemburu melihat Gilang dan Noni bersama.
“Ra?” panggil Gilang, menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Aurora.
“Eh sori Lang. Boleh deh tapi dua minggu sekali ya soalnya ada acara lain yang pingin gue buat biar pengunjung nggak bosan, gimana?” tawar Aurora.
“Hmm, oke. Kalau boleh tau lo mau ngadain acara apa Ra?”
Aurora gelagapan menjawab pertanyaan Gilang karena sebenarnya ia sendiri belum tau ia kan membuat acara apa di kafenya. “Akustik,” jawab Aurora asal.
“Boleh juga tuh. Udah ada band yang mau ngisi?”
Lagi-lagi Aurora dibuat berpikir keras atas pertanyaan Gilang. “Belum, habis ini gue mau pasang iklan di media sosial dulu.”
“Kemarin temen gue dari Jakarta datang, dia bakal tinggal di Bandung selama sebulan. Suaranya bagus terus dia juga mahir main gitarnya. Kalo lo mau gue bisa tawarin ke dia untuk ngisi akustik disini, gimana?” tawar Gilang
Aurora seperti mendapat sedikit angin segar mendengar tawaran Gilang. “Boleh tuh Lang. Rencana gue mau mulai bulan depan, kalo emang temen lo mau gue bisa atur jadwal secepatnya jadi open mic jalan akustik juga bisa jalan,” Aurora menjelaskan semua rencana yang keluar begitu saja di kepalanya.
“Secepatnya gue kabarin lo deh. Gue balik dulu ya Ra, thanks atas kerjasamanya,” Gilang meninggalkan kafe. Aurora segera menuju meja kasir. Ia segera menyalakan laptop, membuka semua sosial media Bumi Kopi dan memasang lowongan band. Harapannya hanya satu banyak band yang mendaftar.
Malam ini kafe tidak terlalu ramai sehingga Aurora bisa duduk santai di belakang meja kasir. Ia memainkan tabnya sambil sesekali melihat kinerja karyawannya. Keramahan pelayan baginya adalah yang utama sehingga pelanggan bisa betah di dalam kafe.
“Dor!”
“Astaghfirullah! Huh gue kira siapa Non. Lo ngagetin gue aja,” Aurora masih memegang dadanya karena kaget dengan kedatangan Noni.
“Cemen lo Ra gitu aja kaget.”
“Lo pikir jantung gue balon yang kalo meletus bisa dipompa biar hidup lagi.”
“Udah deh ngapain juga ngebahas jantung lo. Gue denger dari Gilang lo mau bikin acara akustik ya?”
Aurora masih malas mendengar nama Gilang yang keluar dari mulut Noni begitu pula sebaliknya. Ia hanya bisa menjawab dengan anggukan pelan. Kalau saja kejadian itu tidak pernah terjadi mungkin sekarang Aurora akan menceritakan semua rencananya pada Noni. Ia akan bercerita dengan semangat seperti biasanya.
“Dapet ide darimana lo, katanya dulu accoustic is too mainstream kenapa sekarang jadi pake akustik?”
Lagi dan lagi Aurora seperti termakan omongannya sendiri. Ia bingung harus menjawab apa. “Kemarin waktu di Jakarta lihat kafe ada akustik jadi keren banget. Romanticnya dapet terus suasananya jadi adem banget,” jawab Aurora spontan. Ia jelas-jelas ngarang jawaban karena disana ia tak menemukan kenyamanan di kafe karena cowok jutek bernama Ale. Aurora tiba-tiba teringat dengan sesosok cowok yang membuatnya kehilangan mood seharian sekaligus membuatnya aman berada di sampingnya.
“Ra, lo kenapa jadi ngelamun sih. Rencana lo besar banget ya sampai diajak ngobrol malah ditinggal ngelamun.”
“Nggak, keingat seseorang aja di Jakarta kemarin.”
“Ciee, pasti orangnya spesial makanya nggak bisa lupa.”
“Spesial gimana. Dia itu bikin mood gue ancur banget.”
“Biasanya yang bikin sebel itu yang nyangkut di hati Ra. Buktinya lo sampai sekarang masih inget dia kan.”
Aurora terdiam mendengar pernyataan Noni. Ada benarnya juga yang dikatakan Noni. Sampai sekarang Aurora masih ingat kejadian demi kejadian yang ia lalui bersama Ale. Walaupun singkat namun terekam dengan baik.
“Ngelamun lagi. Bener-bener ya nih anak minta diapain sih biar nggak ngelamun terus.”
“Tapi gue sama dia kan cuma bentar ketemunya Non. Seandainya berkesan kita nggak akan pernah ketemu lagi.”
“Jadi daritadi lo masih ngelamunin cowok yang kata lo nyebelin itu. Gue bilangin ya Ra yang sebentar itu justru membuat kenangan semakin dalam. Lagian kok lo ngeduluin kehendak Tuhan sih, belum tentu lo nggak ketemu lagi sama dia. Lo percaya deh sama gue.”
“Ah udah deh males juga gue mikirin dia. Cowok nyebelin gitu mending dibuang ke laut aja.”
“Terserah lo deh Ra. Gue balik dulu ya. Lo mau pulang bareng gue nggak?”
“Duluan aja deh. Gue mau nungguin sampe kafe tutup. Lo ati-ati di jalan ya.”
“Lo juga jangan ngelamun mulu ntar kesambet, kafe lo masuk headline koran besok.”
“Ada-ada aja lo.”
Sepeninggal Noni, Aurora sebenarnya masih teringat kejadian di Jakarta namun ia segera menghapus semua ingatannya tentang Ale. Ia mencoba fokus tentang akustik yang ingin ia hadirkan di kafenya. Namun sebenarnya ide akustik berasal dari Ale. Ia teringat saat di toko buku Ale bernyanyi sambil memainkan gitar.
“Mbak, kafenya mau ditutup sekarang atau nanti?” tanya seorang karyawan Aurora. Ia tidak sadar ternyata kafenya sudah sepi, hanya tinggal ia dan dua karyawannya.
“Kalian pulang duluan aja ya, kuncinya taruh di meja kasir aja.”
“Kalo gitu kita pulang duluan ya Mbak. Malam Mbak Aurora.”
“Malam, makasih ya. Kalian hati-hati di jalan.”
Hanya tinggal Aurora yang berada di dalam kafe. Ia ingin sedikit lebih lama di dalam kafe. Ia menyalakan laptop di meja kasir. Jika malam tiba jaringan wifi bisa sangat cepat sehingga ia bisa leluasa menjelajah internet. Dibukanya semua media sosial kafe mungkin sudah ada band yang ingin mengisi acara di kafe.