p.u.l.a.n.g

Marina Dohitra Yanuparinda H
Chapter #6

Bab 5

Seperti biasa kafe malam ini lumayan ramai. Setidaknya setengah dari meja terisi. Aurora duduk di meja kasir sambil mengelus sikutnya yang luka sekaligus memar. Kejadian tadi pagi membuat badannya pegal-pegal semua. Belum lagi rasa kesalnya yang membuat moodnya seharian tidak bisa membaik karena yang menabraknya adalah Ale, cowok yang sangat menyebalkan. Ia tidak menyangka bisa bertemu Ale di Bandung. Kota yang cukup luas bagi dua orang untuk tidak sengaja bertemu. 

“Malam Mbak Aurora,” sapa Gilang tiba-tiba.

“Gilang. Lo nyariin Noni?”

“Nggak, gue nyariin lo.” Jawaban Gilang membuat Aurora diterbangkan ke langit ke tujuh. Ternyata Gilang masih ingin menemuinya.

“Ada apa ya?” tanya Aurora semanis mungkin.

Gilang memasang wajah bingung. “Bukannya kita janjian buat ngomongin jadwal open mic sama akustik ya?” Kali ini Aurora benar-benar dibanting dari lantai seratus. Ia terlalu cepat mengambil kesimpulan. Wajahnya merah karena malu.

“Oh iya gue lupa. Mana temen lo katanya lo mau ngajak temen lo?”

“Itu di meja biasa, ngobrol disana aja yuk,” ajak Gilang.

“Oke, tapi gue panggil karyawan gue dulu ya biar dia gantiin gue disini.”

“Gue tunggu disana ya.”

Gilang menuju meja pojok yang bisa ia gunakan untuk ngobrol bisnis bersama Aurora. Ale terduduk di sana sendirian sambil celingukan seperi mencari sesuatu. “Lo nyari apaan Le?”

“Nyari orang,” jawab Ale singkat.

“Gila lo, baru aja seminggu di Bandung tapi udah kenal aja sama orang,” sahut Gilang kaget.

“Nggak usah banyak komen lo, gue pingin balas dendam nih.”

“Balas dendam sama siapa?”

“Sama cewek yang waktu itu gue ceritain. Tadi pagi gue ketemu dan kayanya dia kerja di sini deh tapi kok tadi pagi tuh cewek nggak pake seragam ya.”

“Ditaruh dalam tas kali,” jawab Gilang namun Ale tidak memperdulikannya. Ale masih mencari sosok cewek yang dianggapnya sangat bawel itu.

Aurora mengambil Tab dan segera menuju meja yang biasa ia tempati untuk ngobrol bersama Gilang. Ia sudah sangat tidak sabar menjalankan semua rencananya. Semoga semua rencana berjalan dengan baik dan Gilang setuju dengan usulnya. Aurora duduk di hadapan Gilang dan kaget melihat cowok yang dibawa oleh Gilang.

“Lang, kayanya kita harus batalin pertemuan kita deh,” ucap Aurora setelah melihat Ale berada di depannya.”

“Lho kenapa Ra? Lo sakit?” tanya Gilang sedikit khawatir.

“Nggak kok gue sehat tapi gue lagi alergi sama orang di samping lo,” jawab Aurora ketus dan bersiap untuk beranjak dari tempat duduknya.

“Tunggu dulu dong Ra, Ale maksud lo?” Beberapa menit tak ada komunikasi yang terjalin di antara mereka sampai akhirnya Gilang sadar sesuatu.

“Jangan bilang cewek yang lo cari itu Aurora?” tanya Gilang pada Ale.

“Kok lo nggak pake seragam sih?” tanya Ale pada Aurora tanpa menjawab pertanyaan Gilang.

“Dia yang punya kafe Le, dia juga yang minta tolong sama lo buat ngisi akustik disini. Lo mau kan?”

“DIA YANG PUNYA KAFE?” pekik Ale sampai semua pengunjung menoleh ke arah mereka bertiga.

“Kenapa emangnya kalo gue yang punya kafe? Lo pikir gue tukang sapu disini?” balas Aurora dengan wajah yang sangat jutek.

“Ya udah deh Lang gue nggak jadi manggung di sini. Kafe lain masih buka kan.”

“Terserah lo deh. Gue juga males lihat lo di sekitar gue. Lagipula gue juga sudah punya band akustik yang lain.”

Gilang berusaha menghentikan pertengkaran Aurora dan Ale namun ia tidak bisa. Sepertinya permusuhan Ale dan Aurora sudah sangat parah sehingga susah untuk disatukan. Gilang menyerah dan memutuskan untuk menghubungi Noni agar ia bisa membantu Gilang melerai kedua temannya ini.

Sepuluh menit kemudian Noni datang dengan tergopoh-gopoh. Ia segera menuju meja tempat teman-temannya berkumpul. Suasana di meja tersebut sangat panas karena Ale dan Aurora tidak berhenti berdebat. Gilang hanya dapat duduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Aurora menoleh, menyadari kedatangan Noni.

“Non, ini nih cowok yang kemarin gue ceritain. Nggak ngerti kenapa dia bisa ada disini dan dia bakal ngisi akustik di kafe ini. Bisa tutup nanti ini kafe,” cerocos Aurora ketika Noni berdiri di hadapan mereka.

“Iya gue tahu barusan Gilang yang telpon gue. Kalian ini belum coba buat kerjasama kenapa udah ribut duluan sih?” tanya Noni mencoba menenangkan Aurora dan Ale.

Aurora sedikit kaget dengan pernyataan Noni. Rupanya Gilang memang butuh Noni setiap saat. Sampai keributan kecil seperti ini saja membuat Gilang langsung menghubungi Noni. Aurora diam, bukan karena ia setuju dengan Noni namun ia lebih berfikir ke arah Noni dan Gilang. Entah mengapa ada yang mengganjal sampai saat ini.

“Kok diem, ngerasa kalah?” sahut Ale.

“Gue males ngomong sama lo, capek. Lang nanti semua yang udah gue rencanain gue kirim lewat email deh, kalo lo setuju sama usul gue lo bisa langsung email gue aja. Gue cabut dulu ya,” ujar Aurora kemudian meninggalkan meja. Gilang, Noni, dan Ale langsung melongo. Mereka heran dengan sikap Aurora yang berubah drastis. Sedari tadi Aurora memang ngomel sana sini namun ia tetap di tempatnya. Secara tiba-tiba Aurora pergi dari meja.

Perasaan Aurora sudah campur aduk antara kesal dengan Ale dan sirik dengan Noni. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah saja daripada menunggu sampai kafe tutup. Semua urusan kafe ia serahkan pada Adi, karyawan kepercayaannya. Ia melangkah menuju tempat parkir samping, mengambil sepedanya, dan mengayuhnya menjauhi kafe. Sedangkan ketiga temannya masih di meja yang sama.

Ale beranjak dari mejanya. Ia merasa ada yang aneh dengan Aurora. Kalau Aurora ngomel seharian mungkin Ale akan lebih maklum daripada Aurora diam dan tiba-tiba pergi. Ia memutuskan untuk menyusul Aurora sebelum Aurora pergi terlalu jauh. Dipinjamnya motor milik Noni dan bergegas keluar kafe.

Ale menyusuri jalan yang tadi pagi dilewatinya saat menabrak Aurora. Kalau Aurora pulang ke rumah pasti ia akan melewati jalan yang sama. Seharusnya Aurora belum terlalu jauh dari kafe namun Ale belum menemukannya juga.

Hampir putus asa Ale mencari Aurora namun tiba-tiba ia melihat sepeda Aurora di warung kecil pinggir jalan. Hanya sepeda Aurora yang ia jumpai sedangkan pemiliknya tidak ada. Pemilik warung juga tidak tahu kemana perginya Aurora.

“Lo nyari gue?” tanya Aurora tiba-tiba.

“Gila lo, udah kaya kuntilanak aja muncul tiba-tiba,” pekik Ale karena kaget dengan kedatangan Aurora yang tiba-tiba.

“Nggak usah mulai cari gara-gara deh. Gue pulang dulu ya,” pamit Aurora.

“Selain bawel ternyata lo juga nggak tahu sopan santun ya. Gue udah jauh-jauh kesini buat nyariin sekarang lo malah mau ninggalin gue pulang. Parah banget,” sindir Ale.

“Siapa suruh lo nyusulin gue. Mending sekarang lo balik ke kafe deh terus pesen Cafe Con Miel biar pikiran sama hati lo hangat,” saran Aurora bersiap untuk pergi.

“Nggak salah lo bilang gitu ke gue. Lo kali yang butuh bukan gue,” balas Ale.

“Udah deh Le, gue lagi males ngelanjutin perdebatan nggak penting sama lo jadi mending lo jauh-jauh dari gue.”

“Lo sebel sama gue?”

“IYA! Lo nggak sadar?” bentak Aurora.

“Sebelnya sampai bikin lo pergi dari kafe milik lo sendiri?” tanya Ale menekankan kata ‘kafe milik lo sendiri’.

Aurora terdiam dengan pertanyaan Ale. Ia bingung harus menjawab apa. Sebenarnya ia tidak terlalu sebal dengan Ale karena ia tahu bahwa Ale memang sudah begitu tabiatnya. Ia hanya tidak ingin melihat atau mendengar Noni dan Gilang berinteraksi. Semenjak kejadian beberapa bulan yang lalu Gilang dan Noni memang jarang datang ke kafe bersamaan mungkin mereka menjaga perasaan Aurora. Namun Aurora tetap saja tahu bahwa Noni dan Gilang pasti sering jalan berdua. Malam ini Aurora belum siap melihat Noni dan Gilang datang bersamaan ke kafe. Apalagi Noni datang atas permintaan Gilang.

“Woi!” teriak Ale di telinga Aurora.

Aurora refleks memukul bahu Ale dengan keras karena kaget. Ale mengaduh kesakitan sambil memegang bahu kanannya.

“Lo cewek tulen apa cewek jadi-jadian sih sakit banget mukulnya.”

“Salah sendiri teriak di kuping orang, gue belum budek.”

“Lo kenapa sih ngelamun terus?”

“Lo dari waktu kita ketemu di Jakarta radar keponya tinggi banget ya. Mau tahu aja urusan orang lain.”

“Kalo lagi punya masalah terus dipendem sendiri itu nggak baik bisa jadi penyakit.”

“Penyakit apa?”

“Batu ginjal.” Aurora tertawa mendengar jawaban dari Ale. Candaan yang sangat garing tapi entah mengapa terasa lucu di telinganya. Setidaknya pikiran tentang Noni dan Gilang sedikit terlupakan.

Lihat selengkapnya