Seperti pagi yang lain, Aurora akan berangkat ke kafe dengan mengayuh sepeda. Namun setelah beberapa menit ia mencari sepeda, ia baru sadar bahwa semalam ia pulang bersama Ale sehingga sepedanya ditinggal di kafe. Aurora memutuskan untuk berjalan kaki karena jika naik kendaraan umum akan semakin lama sampai. Walaupun sebenarnya ia sangat malas berjalan karena matahari sudah cukup terik pagi ini.
Aurora sudah sampai di depan kafe. Ketika ia mendorong pintu kafe tiba-tiba saja Ale menarik tangannya. “Lo ikut gue ya, ini penting banget.”
Aurora berusaha melepaskan tangannya dari Ale namun tangan Ale terlalu kuat menggenggamnya. “Kita mau kemana sih? Gue belum bilang sama karyawan gue di dalam, nanti mereka nyariin gue.”
“Gue udah bilang sama mereka dan mereka ngijinin kok. Lo nggak perlu khawatir, urusan lo hari ini cuma sama gue dan lo nggak boleh banyak protes.”
Sebenarnya Aurora ingin tahu kemana Ale akan membawanya. Namun ia terlalu nyaman jika bersama Ale sehingga kemanapun Ale membawanya ia akan ikut. Ia yakin Ale tidak akan menyakitinya.
Sepanjang perjalanan Ale tidak mengeluarkan sepatah katapun. Matanya menatap lurus ke depan. Aurora yang duduk di sampingnya ikut terdiam. Aurora hanya menoleh sesekali ke arah Ale. Memastikan bahwa mimik muka Ale tidak menampakkan ekspresi yang menakutkan.
“Kita mau kemana Le?” tanya Aurora yang tidak tahan dengan kebekuan yang tercipta antara dirinya dan Ale. Ale masih terdiam dan tidak sedikitpun ingin menjawab pertanyaan dari Aurora.
Aurora sebal karena pertanyaannya tidak dipedulikan oleh Ale. “Mau lo apaan sih Le? Lo ajak gue pergi tanpa tahu kemana tujuannya. Gue tanya nggak dijawab, daritadi lo juga diem aja. Kalo ada masalah cerita sama gue, gue siap jadi pendengar yang baik buat lo tapi please jangan diem gini terus.”
Ale menepikan mobil yang dikendarainya. Aurora yang ingin meneruskan omelannya seketika terdiam. Ale meraih bahu Aurora dan membuat mereka saling berhadapan. Ale menatap Aurora dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Aurora. Jantung Aurora berdegup kencang. Ia merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Ale mendekatkan wajahnya ke wajah Aurora. Aurora ingin mendorong tubuh Ale namun ia seperti beku tidak bisa bergerak. Ia hanya memejamkan mata pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Jangan sampai ciuman pertama gue, lo yang ambil ya Le. Gue maunya sama cowok yang lebih keren dari lo, please,” batin Aurora namun tidak bisa melakukan apa-apa.
Ale mendaratkan kecupannya di kening Aurora. Tubuh Aurora menegang namun ia menghembuskan nafas lega karena setidaknya Ale tidak mencium bibirnya. “Jangan bawel ya cantik. Lo aman kok sama gue, percaya ya sama gue.” Ale melepaskan bahu Aurora dan tersenyum ke arah Aurora. Dikemudikannya kembali mobilnya.
Jantung Aurora sudah bersiap untuk meloncat keluar ketika mendengar kata-kata Ale. Ale seperti punya ilmu magic yang membuatnya meleleh sejadi-jadinya. Sekarang Aurora hanya bisa duduk membeku di kursinya. Sesekali ia melirik Ale yang cengar cengir sendiri.
“Kurang ajar ya nih cowok, habis bikin jantung gue copot sekarang malah senyum-senyum sendiri. Girang banget kayanya,” ujar Aurora dalam hati. Ia ingin melampiaskan rasa sebalnya namun ia takut jika Ale melakukan tindakan yang lebih ekstrim lagi.
Aurora tidak tahu dimana sekarang dirinya berada. Lembang sudah sejak tadi terlewati namun Ale belum juga menghentikan mobilnya. Jalan yang dilewati semakin menanjak. Ale menghentikan mobilnya di sebuah bukit yang tinggi. Ale tidak berkata sepatah katapun. Ia keluar dari mobil dan duduk di cap mobil. Aurora ingin menyusulnya namun ia takut Ale akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi. Ia memutuskan tetap berada di dalam mobil.
Ale menghirup udara Lembang yang masih segar dalam-dalam. Beban pikirannya sangat banyak sehingga ia ingin melepaskan semuanya disini. Mengajak Aurora untuk pergi bukan pilihannya. Rencana awal ia ingin pergi sendiri namun di tengah jalan tiba-tiba kepikiran Aurora dan memutar arah untuk menjemput Aurora.
Ale tahu Aurora pasti akan bawel dan menanyakan kemana mereka akan pergi. Tindakannya mencium kening Aurora diluar kendalinya. Sebenarnya ia ingin mendaratkan ciuman itu di bibir Aurora namun ia tidak tega melihat wajah Aurora yang ketakutan. Keringat dingin sudah memenuhi wajah Aurora sehingga ia hanya mencium keningnya. Kehadiran Aurora membuat hidupnya yang abu-abu menjadi lebih banyak warna.
Sudah lama Aurora berada di dalam mobil. Matanya terasa berat sekali. Diambilnya bantal yang ada di kursi belakang dan ia memejamkan mata. Ia memutuskan untuk tidak mengganggu Ale di luar, mungkin Ale butuh sendiri, pikirnya.
Ale menoleh ke belakang. Ia baru sadar Aurora masih di dalam mobil. Dilihatnya Aurora dari kaca mobil. Aurora sudah tertidur pulas. Ale menuju kursi kemudi dan terduduk melihat wajah pulas Aurora. Tidak pernah sekalipun ia berpikir bahwa cewek yang setengah mati ia benci ternyata sekarang ada disebelahnya. Membuatnya nyaman dan ingin selalu melihat senyumnya. Dunia memang serba terbalik.
Semenjak ia mengenal Aurora pola pikirnya berubah drastis. Aurora cewek bawel yang punya sifat bijak membuatnya ingin terus berubah lebih baik. Mungkin benar kata Gamila, ia terlalu kekanak-kanakan. Hingga Gamila hanya menjadikannya pelarian sementara. Ale memukul keras kemudi. Aurora terbangun karena mendengar pukulan keras Ale.
“Lo kenapa sih doyan banget gangguin orang tidur,” ujar Aurora terbangun dan sudah menatap Ale dengan tajam.
“Sori Ra, lo keganggu ya. Tadi ada nyamuk di setirnya jadi gue pukul aja.”
“Dasar!” Aurora menjitak kepala Ale. Ale mengaduh kesakitan hingga meletakkan kepalanya di atas kemudi. Aurora panik melihat Ale kesakitan.
“Le, sakit ya? Gue nggak maksud buat nyakitin lo. Gue cuma bercanda, lo mau gue cariin obat?” Aurora mencari kotak obat di kursi belakang namun ia tak menemukannya. Ia memutuskan untuk mencari warung di daerah tempatnya berada. Namun belum sempat ia keluar dari mobil Ale menarik tubuh Aurora dalam pelukannya. Aurora ingin melepaskan pelukan Ale namun pelukan Ale terlalu kuat.
Cukup lama Aurora berada di dalam pelukan Ale. Ale belum juga melonggarkan pelukannya. Aurora mencoba untuk menjauhkan tubuh Ale namun Ale semakin menguatkan pelukannya.
“Le, lo kenapa?” tanya Aurora tetap dalam pelukan Ale.
“Biarin gue peluk lo dulu ya.” Aurora terdiam. Mungkin Ale butuh tempat untuk bersandar sejenak. Sebenarnya ia juga sangat nyaman berada dalam pelukan Ale. Rasa aman dan nyaman membuatnya betah di dalamnya.
“Le, udah dong gue pegel nih,” ujar Aurora. Ale melonggarkan pelukannya namun Aurora tidak menjauhkan tubuhnya dari Ale. Ia sudah terlalu nyaman berada di dalam pelukan Ale. Merasa Aurora tidak menjauhkan tubuhnya, Ale mendekap Aurora kembali dengan pelukan yang lebih kuat.
“Kok lo meluk gue lagi sih Le?”
“Lo suka kan gue peluk. Udah diem aja kalo lo mau tidur, tidur aja. Gue mau meluk lo sampai gue capek.”
“Emang lo belum capek apa meluk gue segini lamanya?”
“Belum,” Ale menjawab pertanyaan Aurora dengan singkat. Ia nyaman sekali berada sedekat ini dengan Aurora. Energi positif dari Aurora seperti menjalar ke tubuhnya.
Aurora merasa sangat pegal berada di dalam pelukan Ale sejak tadi. Sudah sekitar tiga puluh menit Ale belum juga melepaskan pelukannya. Jika memang Ale tertidur harusnya ia akan melonggarkan pelukannya. Namun Aurora tetap tidak bisa melepaskan pelukan Ale. Aurora terus menggerakkan badannya, mencoba untuk melepaskan.
“Lo nggak usah gerak terus deh Ra,” ujar Ale sadar Aurora menggerak-gerakkan tubuhnya.
“Le, lepasin dong. Gue gerah banget nih.”
“Gue nggak gerah kok, gue masih betah deket-deket sama lo.”
Aurora yang sebal dengan Ale nekat menggigit bahu Ale. “Aww,” sahut Ale kemudian melepaskan pelukannya.
“Kok lo gigit gue sih Ra?” tanya Ale sambil memegangi bahunya.
“Gue capek daritadi lo peluk. Pegel badan gue.”
“Bukannya lo suka ya?” Wajah Aurora memerah.
“Makan yuk, laper nih,” ajak Aurora untuk mengalihkan pembicaraan. Ale menyalakan mobilnya dan membawa Aurora untuk mengisi perut. Tidak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka. Sepertinya mereka tenggelam dalam rasa nyaman masing-masing.
“Pagi semuanya,” sapa Aurora pada karyawannya setibanya di kafe.
“Pagi Mbak. Kemarin seharian jalan kemana sama Mas Ale, Mbak?” goda salah seorang karyawannya.
“Mau tau aja lo.”
“Pasti seru ya Mbak jalan-jalannya kemarin,” sahut karyawannya yang lain.
“Sok tahu banget deh kalian.”
“Kalo nggak seru pasti wajahnya Mbak Aurora nggak secerah ini,” sahut Adi dari meja Bar.
Aurora terdiam di depan laptopnya. Apa iya wajahnya bersinar hari ini. Mungkin hanya bercandaan dari karyawannya saja. Aurora beranjak menuju pintu kafe. Ia membalik tulisan ‘CLOSE’ menjadi ‘OPEN’. Harinya akan panjang jika ia sudah membalik tulisan tersebut. Belum sampai Aurora di meja kasir seseorang perempuan dengan dress merah selutut, pump shoes hitam mengkilat, tas dengan warna yang sama dengan dress, dan rambut ikal dibiarkan terurai, masuk ke dalam kafe.
“Pagi semua. Kenalin gue Gamila. Bisa ketemu sama yang punya kafe?” ujar perempuan tersebut sambil mengangkat kacamata hitamnya ke atas kepala.
Aurora belum bergerak dari tempatnya. Ia masih terheran-heran dengan dandanan dan perkataan perempuan tersebut. Adi menyenggol lengan Aurora untuk menyadarkan lamunan Aurora.
“Gue yang punya kafe ini,” jawab Aurora sedikit gelagapan.
“Jadi lo,” Gamila mengamati Aurora dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia berjalan mengitari Aurora. Wangi parfumnya sangat menyengat hingga Aurora menutup hidung.
“Bisa kita ngobrol sebentar?” tanya Gamila.
“Silahkan duduk dulu Mbak, mau pesan apa?” tawar Aurora mengajak Gamila duduk dan menyodorkan buku menu.