Sinar matahari menerobos masuk ke kamar Aurora melalui celah kecil jendela kamar Aurora. Sudah seminggu ini Aurora selalu bangun siang. Semangatnya tidak seperti dulu lagi. Baginya ada yang kurang dalam hidupnya namun ia tidak tahu bagian mana yang kurang. Setiap hari Aurora hanya datang ke kafe sebentar kemudian pergi menuruti kakinya mengayuh sepeda. Entah, ia seperti tidak punya tujuan.
Bunda dan Noni sebenarnya khawatir dengan keadaan Aurora yang sekarang. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka karena Aurora selalu menghindar jika ditanya soal masalahnya. Karyawannya di kafe juga khawatir melihat keadaan Aurora. Mereka kehilangan Aurora yang selalu ceria dan mengayomi. Sekarang Aurora lebih suka uring-uringan sendiri tanpa sebab dan selalu meninggalkan kafe tanpa pesan.
Siang ini Aurora mengayuh sepedanya menuju taman. Tempat dimana seharusnya ia datang malam itu menemui Ale. Terbesit rasa sesal dihatinya, namun ia cepat-cepat menghapus dari pikirannya. Percuma menyesalinya sekarang, Ale juga sudah tidak pernah muncul lagi dihadapannya. Mungkin sekarang ia sudah bahagia bersama Gamila.
“Lo lagi nungguin Ale?” tanya Gilang yang datang tiba-tiba.
“Eh lo Lang, sejak kapan lo disini?”
“Barusan kok. Lo ngapain disini sendirian, nungguin Ale? Percuma dia nggak akan datang. Dia udah balik ke Jakarta.”
Aurora terdiam sesaat. Ia tidak menyangka Ale secepat itu kembali ke Jakarta. “Oh....” hanya jawaban singkat yang keluar dari mulut Aurora. Walaupun sebenarnya banyak pertanyaan yang ada di kepalanya.
“Lo beneran nggak pingin tahu gimana kabar Ale waktu lo nggak datang ke taman malam itu?”
“Palingan dia seneng gue nggak datang. Apa pentingnya sih gue buat dia. Gue cuma cewek yang numpang lewat aja di hidup dia.”
“Numpang lewat lo bilang? Lo nggak pernah ngerasa Ale punya rasa yang sangat besar buat lo?”
“Buat gue? Buat Gamila kali,” jawab Aurora getir.
“Lo salah Ra. Bertahun tahun Ale mencoba untuk melupakan mantannya sampai belasan buku ia tulis, puluhan lagu ia ciptakan, sampai ia harus meninggalkan Jakarta untuk melupakan mantannya. Di sini dia ketemu sama lo, gue sebagai temen ngerasa ada semangat baru dalam diri Ale dan gue rasa itu dari lo.”
“Buat apa dia ngerasa nyaman sama gue. Di sini dia juga sudah menemukan mantannya kan.”
“Gamila maksud lo?”
“Iya siapa lagi kalo bukan si nenek sihir berparas mbak-mbak SPG kosmetik.”
Gilang terkekeh mendengar perkataan Aurora. “Gamila memang mantannya Ale tapi sebenernya mereka nggak pernah serius untuk pacaran. Sebenernya Gamila pacar kakaknya Ale.”
“Hah?” Aurora mencoba mencerna kata-kata dari Gilang. “Jadi Gamila bisa macarin kakak sama adiknya sekaligus?”
“Makanya harusnya lo datang malam itu biar tahu cerita yang sebenarnya. Ceritanya panjang Ra, gue males cerita ke lo.”
“Jadi lo kesini cuma mau bikin gue penasaran aja, kelakuan lo sama aja kaya pacar lo. Sama-sama nyebelin.”
“Salah sendiri lo batu banget kalo dibilangin. Selamat penasaran ya Ra. Lo kira-kira aja sendiri ceritanya, siapa tahu bener.”
“Terus lo tadi kesini ngapain, mau mainin perasaan gue doang?”
“Gue tadi nggak sengaja lewat terus lihat lo disini. Gue ingat kalo Ale nitipin surat buat lo. Dari kemarin gue lupa terus mau nitipin surat ini ke Noni, untung ketemu lo disini.” Gilang menyerahkan surat dari Ale, kemudian ia segera beranjak pergi.
Aurora masih memegang surat, yang katanya dari Ale, di tangannya. Ia ragu untuk membukanya. Rasa penasaran akan isi dari surat itu membuatnya membuka lipatan surat, namun menutupnya kembali. ia tidak ingin isi surat itu membuatnya menyesal dan tidak bisa membuatnya bertemu dengan Ale lagi. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Aurora memutuskan untuk membacanya di rumah. Ia mengayuh sepedanya kembali ke kafe. Mungkin ini saatnya ia untuk kembali kekenyataan hidup dan memulai semuanya seperti biasa namun tanpa Ale kali ini. Sudah banyak waktu yang terbuang hanya untuk memikirkan Ale.
Aurora memasuki kamarnya yang berantakan karena seminggu ini ia sudah tidak memperdulikan sekelilingnya. Ia mulai membereskan barang-barang yang tidak berguna disekelilingnya. Memasukkan baju kotor yang berserakan di setiap sudut kamarnya kedalam tempat cucian. Sisa tisu untuk menghapus air matanya disapunya hingga bersih. Berharap setiap kesedihan akan ikut terbuang bersamanya.
Kamar Aurora sudah rapi. Ia merebahkan diri di tempat tidur. Aurora teringat surat yang diberikan oleh Gilang kemarin. Ia belum sempat membaca. Diambilnya surat itu dari dalam jaket. Tangan Aurora bergetar, jantungnya berdegup kencang, bayangan Ale perlahan berputar di dalam otaknya.
Dear Aurora
Mungkin saat kamu baca surat ini aku sudah meninggalkan Bandung untuk menebus semua kesalahanku sama kamu.
Terimakasih atas semua bantuanmu.
Terimakasih sudah mau meluangkan waktumu untuk menemaniku.
Terimakasih sudah mengajarkanku banyak hal.
Terimakasih sudah memberi senyum terindah untukku di setiap pertemuan kita.
Terimakasih sudah membuat hari-hariku menjadi lebih berwarna sejak awal aku bertemu denganmu.
Maaf telah membuatmu masuk dalam kehidupanku yang aku yakin kamu tidak akan pernah mau.
Maaf jika kehadiranku membuatmu terganggu.
Maaf telah membuatmu terluka, tapi percayalah sedikitpun aku tidak pernah berniat untuk membuat hatimu sakit.
Mulai hari ini sampai nanti kita bertemu kembali, aku akan selalu meminta pada Tuhan agar kita ditakdirkan dalam satu garis yang sama agar suatu saat kita bisa berjalan berdampingan mewujudkan setiap mimpi.
Semoga kamu mengAmini permintaanku agar doaku bisa cepat terkabul.
Aku pergi dulu Ra, nanti saat kita dipertemukan kembali percayalah aku sudah menjadi orang yang jauh lebih baik.
Ale
Aurora mendekap surat Ale rapat-rapat. Air matanya kembali menetes. Seharusnya dia datang saat itu agar ia bisa melihat Ale untuk terakhir kalinya. Seharusnya ia membuang segala ego yang ada. Sekarang Ale sudah kembali ke Jakarta dan Aurora hanya bisa menyesali yang sudah terjadi. Ponsel Aurora tiba-tiba berbunyi. Telpon dari Noni.
“Halo,” jawab Aurora dengan suara masih serak.
“Ra, lo nangis ya. Suara lo kenapa serak banget?”
Aurora tidak menjawab pertanyaan Noni. Ia terisak dalam tangis. “Ra, lo dimana sekarang?” tanya Noni panik.
Aurora menghapus air matanya. Mencoba untuk menenangkan diri agar Noni bisa mendengar jelas suaranya. “Gue di rumah Non.”
“Lo jangan kemana-mana ya gue kesana sekarang.”
Noni memarkir motornya sembarangan. Ia belum sempat melepas helmnya dan langsung masuk ke dalam rumah Aurora. Diketuknya pintu kamar Aurora. Ketika pintu terbuka Noni hanya terpaku di depan pintu. Ia tidak menyangka Aurora yang dikenalnya sangat rapi menjadi sangat acak-acakan. Kamarnya dipenuhi tisu, selimutnya berada di lantai, bantal dan guling sudah berpencar di setiap sudat kamar. Aurora sendiri matanya bengkak, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya terlihat sangat capek. Noni kehilangan Aurora yang biasanya.