Sudah dua minggu Aurora berada di Jakarta. Sejak ia datang Ale selalu menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Kata dokter kemungkinan dia sadar 80% jika terus ada yang mengajaknya berkomunikasi. Aurora tinggal di apartemen milik Gamila. Namun waktunya banyak ia habiskan untuk menjaga Ale di rumah sakit.
Setiap malam Aurora menelpon ke Bandung untuk memastikan Bunda dan Eyang dalam keadaan baik. Ia merasa aman karena sahabat-sahabatnya disana selalu memberi kabar baik. Laporan keuangan dari Adi juga sangat rapi. Noni juga menjaga Bunda dan Eyang dengan baik. Aurora hanya perlu berkonsentrasi dengan kesembuhan Ale.
“Bunda sehat?” tanya Aurora saat sedang menanyakan kabar Bundanya.
“Sehat Ra, Ale gimana?”
“Selama aku disini dia selalu menunjukkan kemajuan yang positif Bund. Doain aja dia cepet sadar biar aku cepet pulang ke Bandung,” jawab Aurora.
“Jaga Ale dulu aja Ra sampai dia bener-bener sehat. Kamu nggak perlu mikirin yang ada di Bandung, di sini semuanya baik-baik saja,” ujar Bunda menenangkan Aurora agar berkonsentrasi pada Ale saja.
“Bunda kok lebih mementingkan Ale, Bunda nggak kangen apa sama aku?”
“Bukan Ra, Bunda kangen banget sama kamu tapi kesehatan Ale jauh lebih penting.”
“Kenapa?”
“Cinta itu harus dipertahankan seburuk apapun keadaannya. Jangan sampai kamu menyesal karena bukan kamu yang membuatnya terbangun. Orang yang sedang koma memang tertutup matanya namun hatinya akan tetap hidup dan ia tahu siapa yang membuatnya kuat menjalani semua sampai ia terbangun.”
“Kalau dia bangun dan tidak memilihku?”
“Jodoh itu urusan Tuhan Ra, tapi setidaknya kita berusaha menunjukkan yang terbaik. Kalaupun kamu dan Ale tidak ditakdirkan disatu jalan yang sama pasti akan banyak jalan lain yang akan menuntunmu mencapai tujuanmu. Tuhan tidak tidur Ra.”
Setelah berbasi basi dengan Bunda, Aurora menutup teleponnya. Semua perkataan Bunda memang benar. Jodoh tidak akan pernah tertukar ataupun lari kemana. Sejauh-jauhnya jodoh itu pergi ia akan kembali dengan sendirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Tuhan tidak pernah tidur.
Gamila keluar dari kamar rawat Ale. “Lo capek ya Mil nungguin Ale, sori gue tadi lama ngobrol sama Bunda. Biar gue yang jagain Ale, lo pulang aja,” ujar Aurora.
“Nggak kok Ra, keadaan Ale jadi kaya gini juga karena gue,” ujar Gamila menampakkan wajah bersalahnya lagi. Gamila masih terus menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuat Ale celaka.
“Berhenti buat nyalahin diri lo sendiri. Tuhan sudah punya takdir sendiri-sendiri untuk umatnya.”
“Gue terlalu egois karena ingin memisakan lo sama Ale. Lo cewek baik dan Ale cowok baik kalian emang cocok.”
“Biarkan Tuhan yang atur semuanya Mil. Dengan siapapun Ale nantinya pasti cewek itu adalah yang terbaik untuk Ale.”
Gamila memandangi Aurora lekat-lekat. Cewek yang dianggapnya hanya ingin memanfaatkan kepopuleran Ale ternyata adalah cewek mandiri dan bijaksana. Ia salah menilai Aurora. Dirinya jauh lebih buruk dibanding Aurora. Ia hanya cewek yang selalu meminta fasilitas mewah pada orang tua dan tidak pernah mensyukuri apa yang ia punya. Jika dilihat, dirinya jauh lebih beruntung dari Aurora namun sebenarnya Aurora jauh lebih bahagia dari dirinya.
“Mil lo kok diem?”
“Ada yang pingin gue omongin sama lo serius.”
“Tentang?”
“Setelah gue denger omongan lo soal jodoh di tangan Tuhan, gue jadi mikir kayanya lo sama Ale memang ditakdirkan buat berjodoh deh.”
“Tau dari mana lo Mil?”
“Gue suka iri aja kalo denger cerita Ale soal lo. Dulu Ale nggak pernah memperlakukan gue kaya dia memperlakukan lo.”
“Dia cerita apa aja Mil?”
Belum sempat Gamila menjawabnya, dokter yang menangani Ale datang untuk kembali memeriksa keadaan Ale. Gamila dan Aurora menguntit di belakang dokter. Dokter sibuk memeriksa Ale sedangkan perawat memeriksa selang infus dan alat bantu pernafasan. Gamila dan Aurora menunggu di samping dengan cemas.
Tidak lama kemudian dokter selesai memeriksa Ale. Beliau mengajak Gamila untuk membicarakan keadaan Ale. Sedangkan Aurora memilih untuk menjaga Ale. Digenggamnya tangan Ale, berharap ada sedikit gerakan pada tangannya. Namun tetap saja tidak ada gerakan apapun dari tangan Ale. Aurora kembali meneteskan air mata. Ia bukan lelah merawat Ale namun ia khawatir akan keadaan Ale. Setiap hari Aurora diliputi rasa cemas jika ia tidak bisa bertemu Ale lagi. Ia tidak ingin berpisah dengan Ale di saat keadaan Ale seperti ini.
Tetesan air mata Aurora jatuh ke tangan Ale. Ia segera mengusapnya. Belum sempat Aurora menghapus air matanya di tangan Ale, ia melihat jari-jari Ale bergerak. Dilihatnya kebelakang, Gamila dan dokter masih serius membicarakan Ale.
“Mil, tangan Ale gerak. Dokter ini kenapa?” Aurora panik.
Dokter segera menghampiri Ale. Perawat memeriksa alat bantu pernafasan. Mata Ale sedikit demi sedikit terbuka. Ia masih bingung melihat sekelilingnya. Ale susah payah membuka mulutnya ingin berbicara. Aurora segera mengambilkan segelas air untuk diminumkan pada Ale.
Dokter sudah keluar dari kamar Ale. Kondisi Ale sudah mulai membaik namun dokter belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya karena dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan besok. Aurora masih duduk di samping tempat tidur Ale. Sejak Ale sadar ia belum mengeluarkan sepatah katapun. Ia lebih sering memandang ke arah Gamila dibanding Aurora.
“Le, akhirnya lo sadar juga. Gue khawatir banget sama lo,” ujar Aurora mencoba mengajak Ale berbicara.
Ale hanya terdiam, memandang Aurora heran. “Lo cewek yang gue temui di talkshow gue kemarin kan?” tanya Ale pada Aurora. Aurora tersentak. Kejadian itu sudah terjadi beberapa bulan lalu. Ale tidak mengenali dirinya dan hanya mengingat saat pertama kali mereka bertemu.
“Dasar, lo baru sadar aja udah bisa bercanda gini. Kelamaan tidur sih lo,” gurau Aurora mencoba meyakinkan bahwa Ale hanya bercanda.
“Gue beneran nggak tahu siapa lo. Gue juga bingung kenapa gue ada disini sekarang. Gue lupa sama semuanya,” Ale mencoba mengingat sesuatu namun ia tidak dapat mengingatnya.
“Ya udah lo istirahat aja Le, mungkin besok lo bisa ingat semuanya,” Aurora mencoba menenangkan Ale yang sudah mulai emosi. Sebenarnya ia sendiri sedih melihat Ale lupa semua tentang dirinya.
Aurora meninggalkan Ale sendiri di dalam kamar. Sebelum ia melangkahkan kakinya keluar Ale memanggilnya lagi. “Eh, lo,” Ale berusaha memanggil Aurora.
Aurora hanya menoleh tanpa mengeluarkan sepatah katapun. “Gue ngerasa deket sama lo tapi gue sama sekali nggak ingat sama lo. Gue harap lo bisa bantu gue untuk mengingat semuanya.” Aurora hanya tersenyum dan meninggalkan Ale.
“Lo udah ngobrol apa aja sama Ale?” tanya Gamila yang baru saja menebus obat Ale.
“Dia amnesia Mil. Dia lupa sama gue.” Obat yang dipegang Gamila terjatuh. Gamila tidak menyangka kecelakaan bukan hanya membuat Ale koma namun juga membuat Ale amnesia dan melupakan Aurora.
“Lo nggak bercanda kan Ra?”
“Nggak, dia cuma ingat saat pertama kali gue sama dia ketemu. Nama gue aja dia nggak ingat,” Aurora menyandarkan kepalanya di tembok. Ia memejamkan matanya. Susah payah ia berusaha membuat semuanya kembali seperti semula ternyata sia-sia. Ale tidak mengingatnya sama sekali. Akan sangat panjang jika ia harus membuat Ale ingat semuanya.
“Ra, lo nggak boleh nyerah. Perjuangan lo selama ini udah panjang banget. Kalau Ale ingat dimana pertama kali dia ketemu sama lo berarti masih ada memori tentang lo. Gue yakin Ale akan ingat secepatnya,” Gamila berusaha membuat semangat Aurora hidup lagi.
“Makasih Mil. Kalau boleh setelah Ale keluar dari rumah sakit gue pingin balik.”
“Lo nggak pingin ngerawat Ale sampai dia ingat kembali?”
“Terlalu panjang Mil. Gue punya tanggung jawab yang sudah gue tinggal cukup lama. Saatnya gue kembali untuk menyelesaikan tanggung jawab gue.”
“Apa lo yakin dia masih bisa ingat sama lo tapi lo nggak ada disamping dia.”
“Banyak hal yang kita lalui selama di Bandung. Gue yakin memori itu akan berontak ketika ia tidak dipertemukan dengan tuannya. Memori punya ruang tersendiri di otak dan hati setiap manusia. Mungkin dengan cara itu dia bisa ingat.”
Ale sudah diijinkan untuk pulang. Kondisinya sudah sangat baik namun seminggu sekali ia memang harus kontrol kesehatan. Aurora memilih untuk pulang sehari setelah kepulangan Ale dari rumah sakit. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan sahabat dan keluarganya di Bandung.
Gamila masih saja menahan Aurora untuk pulang. Gamila ingin Aurora merawat Ale lebih lama lagi. Hanya Aurora yang bisa membuat Ale jauh lebih semangat untuk sembuh. Namun Aurora memutuskan untuk pulang ke Bandung saja. Ale juga tidak menahan Aurora untuk pulang sehingga Aurora lebih mantap pulang ke Bandung.
Aurora sudah menyiapkan semua barang-barangnya. Ia bersiap untuk pulang ke Bandung. Sebelum pulang ia ingin mampir ke makam Ayah. Beberapa minggu ia di Jakarta belum pernah ke makam Ayah. Gamila menawarkan diri untuk mengantar Aurora ke makam Ayah namun Aurora menolaknya.
Taksi Aurora berhenti di depan komplek makam Ayah. Aurora membeli seikat bunga untuk makam Ayah. Bunga mawar kesukaan Ayah dan Bunda. Aurora membersihkan makam Ayah dari dedaunan kemudian ia membaca doa untuk Ayahnya.
“Yah, maaf Aurora baru bisa kesini sekarang padahal Aurora sudah lama banget di Jakarta. Ayah baik-baik kan disana? Aurora terlalu sibuk sama Ale. Ayah belum kenal sama Ale ya, dia cowok yang Aurora sayang tapi sekarang dia lagi sakit dan hilang ingatan. Dia nggak ingat sama Aurora Yah. Aurora sedih Yah, Aurora kangen Ayah,” tidak terasa air mata Aurora jatuh. Ia tidak sanggup lagi untuk melanjutkan ceritanya.