p.u.l.a.n.g

Marina Dohitra Yanuparinda H
Chapter #10

Bab 9

“Santai aja lo kaya di pantai,” tegur Noni dari halaman rumah Aurora.

“Lo nggak kerja Non?”

“Cuti gue masih sisa seminggu ya udah gue habisin aja sekalian. Lo sendiri nggak ke kafe?”

“Gue resign dari kafe Non.”

“Lo kan yang punya, kok bisa resign?” tanya Noni bingung.

“Gue sudah mempercayakan urusan kafe sepenuhnya sama Adi. Gue mau bikin usaha baru. Lo ada ide ga?”

“Bikin butik atau toko sepatu aja Ra, jaman sekarang orang kan pada gila sama penampilan.”

“Males ah, orang beli baju nggak kaya beli makanan. Kalau makanan tiap jam, tiap menit mereka butuh, kalau baju palingan seminggu sekali baru beli. Gue sih pinginnya tetep bikin usah kuliner tapi masih bingung mau bikin apa.”

Aurora dan Noni sama-sama terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Biasanya mereka saling melengkapi ide satu sama lain. Namun kali ini mereka seperti kehabisan ide. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun.

“Ra, lo laper ga, delivery order pizza yuk,” ujar Noni ditengah-tengah keheningan.

Mendengar keinginan Noni, Aurora langsung mendapatkan ide. Ia ingin membuka bisnis makanan yang sistemnya delivery order tanpa ada outlet. Aurora beranjak dari kursinya dan menuju kamar. Semua idenya dituliskan dalam notes kecil agar tidak kelupaan. Noni yang mengikuti Aurora heran, kata-kata delivery oder bisa membuat ide Aurora mengalir dengan begitu derasnya. Noni paham betul kalau Aurora sudah serius seperti ini, mau ada angin ribut atau gunung meletus dia tidak akan beranjak dari tempatnya.

Noni melemparkan dirinya ke atas kasur Aurora. Nanti kalau Aurora sudah selesai dengan ide-idenya pasti dia akan menceritakan semuanya. Semangat Aurora selalu menggebu-gebu jika membicarakan bisnis. Darah bisnis memang kental mengalir di tubuhnya. Noni membuka satu per satu majalah Aurora. Walaupun semua majalah di kamar Aurora sudah pernah dibacanya.

Sudah sekitar satu jam Noni berada di dalam kamar Aurora. Rasa bosan sudah menghampiri Noni namun Aurora belum juga berhenti menuangkan ide bisnisnya. Majalah di kamar Aurora sudah khatam dibacanya berulang-ulang. Noni kehabisan ide untuk mencari hiburan. Ia mengambil handphone Aurora yang digeletakkan di atas kasur. Sudah lama Noni tidak membajak handphone Aurora. Noni melihat ada foto Aurora dan Ale yang sedang koma di wallpaper handphone Aurora.

“Kenapa foto kaya gini sih yang lo pasang di wallpaper kaya nggak ada foto lain aja,” ujar Noni spontan. Aurora berhenti menulis. Ia menoleh ke arah Noni. Dilihatnya ponsel miliknya sudah berada di tangan Noni dan pasti Noni akan membajak semua isi ponselnya. Jangan harap selamat jika Noni sudah memegang ponsel milik Aurora.

“Jadi yang bisa bikin lo berhenti kerja cuma Ale doang nih, gue curiga sebenernya lo sama Ale udah jadian, ngaku sama gue,” sergap Noni.

“Ngomong apaan sih lo Non. Kalo gue jadian sama Ale bukan foto itu yang jadi wallpaper. Mending masang foto yang lain. Ale hilang ingatan Non,” Aurora memang belum bercerita pada siapapun tentang keadaan Ale sehabis kecelakaan.

“Hilang ingatan? Lo jangan bercanda Ra. Separah itu kah kecelakaan yang dialami Ale?” tanya Noni tidak menduga.

“Dia nggak pake helm waktu itu dan kepalanya terbentur keras ke aspal. Kayanya pemulihannya cukup lama Non makanya gue memutuskan pulang sebelum dia ingat.”

“Harusnya lo bantuin dia untuk mengembalikan ingatannya Ra. Mungkin dengan kehadiran lo ingatannya akan lebih cepat kembali.”

Aurora menggeleng lemah. Menunggu Ale sadar dari koma sudah membuatnya ingin menyerah. Saat Ale sadar namun tak sedikitpun mengingatnya membuat hatinya semakin sakit. Berada di samping Ale tanpa ingatan tidak akan membuatnya bahagia. Kalau suatu saat Ale mengingatnya mungkin hanya bonus dari Tuhan pikir Aurora.

“Gue harus ngelanjutin hidup Non. Tanggung jawab gue disini banyak banget dan gue nggak bisa ninggalin semuanya demi seseorang yang membuang semua ingatannya tentang gue.”

“Ale nggak membuang ingatan tentang lo. Dia hanya belum bisa menemukan lo diantara semua tumpukan ingatannya. Mungkin saat ini ingatannya sedang mencari keberadaan lo.”

“Dia cuma tahu gue sebagai cewek yang rebutan bangku sama dia. Mungkin hanya ingatan itu yang dia simpan, selebihnya gue cuma orang lain yang numpang lewat di hidupnya.”

Noni memeluk Aurora dengan erat. Ia tidak tega jika melihat sahabatnya sedih. Aurora memang perempuan tangguh yang pernah dilihatnya. Ia belum pernah melihat perempuan setangguh Aurora. Ditinggal pergi oleh Ayah, pindah ke luar kota dengan harapan yang luar biasa. Membangun bisnis mulai dari nol, jatuh kemudian bangun tanpa bantuan siapapun. Sekarang ia harus patah harti karena lelaki yang dicintainya lupa ingatan dan tidak tahu kapan akan ingat. Jika ia adalah besi maka ia adalah besi paling kuat yang sudah melewati tempaan begitu banyak sehingga tidak mudah untuk dipatahkan.

“Ra, gue yakin suatu saat akan ada orang yang akan membahagiakan lo. Seorang laki-laki yang menyayangi lo sepenuh hati melebihi dirinya sendiri,” Noni hanya bisa menenangkan Aurora. Ia yakin Aurora bisa menghadapi semuanya.

“Udah Ra nggak usah dipikirin, mending sekarang lo ceritain rencana bisnis lo yang baru biar gue bisa kasih saran dikit-dikit,” ujar Noni berusaha menetralkan keadaan.

“Cengeng ya gue Non, gitu aja nangis. Gue pingin usaha tapi di rumah aja, gue pingin bikin delivery order susu segar dalam botol kaya jaman dulu.”

“Menurut gue jaman sekarang orang lebih milih susu olahan yang ada di toko soalnya lebih praktis nggak perlu direbus lagi,” ujar Noni memotong pembicaraan Aurora.

“Jadi susunya itu sebenernya ready to drink cuma kemasannya aja yang dibedain dari yang di toko. Biar beda aja.”

Noni dan Aurora terlibat percakapan yang cukup panjang. Mereka menuangkan idenya satu per satu, memikirkan kelebihan dan kekurangan, menghitung modal awal dan kerugian jika tidak laku, sampai siapa yang harus menjadi pengantar susu.

Waktu sudah hampir tengah malam. Noni dan Aurora akhirnya selesai membahas rencana mereka. Noni memutuskan untuk menginap di rumah Aurora karena pintu rumahnya pasti sudah dikunci oleh Mama. Aurora menoleh ke arah Noni, ia sudah tertidur pulas. Aurora membuka ponselnya, dipandanginya foto di layar depan. Ia masih sangat ingat perasaannya saat itu. Setiap hari ia selalu menunggu mata Ale untuk terbuka, bercanda lagi dengannya. Ia rindu pelukan hangat dari Ale. Rasa nyaman yang selalu ingin ia rasakan.

Harapan Aurora saat itu adalah Ale sadar dan Aurora yang melihat senyum pertama dari Ale. Namun harapannya harus musnah begitu saja. Ale hanya mengingat kejadian saat pertama kali mereka bertemu. Selebihnya Ale harus memaksa memorinya untuk bekerja lebih keras dan Aurora tidak tahu sampai kapan memori Ale akan kembali.

Pagi ini Aurora ingin mengunjungi kafe. Ia rindu suasana kafe. Noni memutuskan untuk ikut dengannya. Hari ini Noni ingin bertemu dengan Gilang di kafe sehingga ia memilih ikut dengan Aurora. Toko Bunda yang sudah memiliki karyawan membuat hati Aurora sedikit lega karena Bunda tidak perlu setiap hari pergi ke toko. Saat ini Bunda lebih banyak di rumah sambil membuat rajutan, melanjutkan hobi beliau sejak dulu.

“Non, lo ketemu sama Gilang jam berapa?”

“Nggak tau gue, kalo jam segini dia masih molor. Palingan jam makan siang, kenapa?”

“Soalnya hari ini gue kayanya bakal lama di kafe nanti kalo lo mau pulang, duluan aja sama Gilang biar gue pulang dianter sama Adi.”

“Gampang deh lihat nanti aja.”

Suasana kafe pagi ini masih sepi. Mungkin masih banyak orang yang berada di kantor. Anak sekolahan juga belum pulang sekolah. Hanya tiga meja yang terisi. Karyawan Aurora masih banyak yang nganggur, belum sesibuk jika waktu makan siang tiba. Aurora menuju bar, ia membuat satu espresso untuk dirinya sendiri. Kopi pahit selalu jadi kegemarannya. Baginya setiap kopi itu pahit namun tergantung siapa yang meminumnya. Kalau yang meminum bahagia pasti sepahit apapun kopinya akan terasa manis. Begitu pula sebaliknya. Aurora merasakan hal yang sama. Kopi pahitnya pagi ini terasa sangat pahit, sepahit rindunya pada Ale.

“Ra,” panggil Noni dari meja yang biasa jadi tempat mereka berkumpul.

Aurora menoleh ke arah Noni. Sudah ada Gilang di samping Noni. Sebenarnya Aurora malas menuju meja itu, nantinya ia akan jadi obat nyamuk sebab Noni dan Gilang asik ngobrol sendiri. Namun ia juga belum ada kerjaan jadi sebaiknya ia gabung bersama Noni dan Gilang.

“Kata Noni jam segini masih molor, kok udah nongol?” tanya Aurora pada Gilang tanpa menyapanya terlebih dahulu.

“Itu sih bisa-bisanya Noni aja. Ngomong-ngomong Ale apa kabar?” tanya Gilang tanpa rasa bersalah.

Lihat selengkapnya