Langit Jakarta masih petang, Aurora sudah bersiap diri untuk fitnes di basement apartemen. Gamila masih belum bangun karena semalam ia pulang dini hari dalam keadaan mabuk. Aurora berjalan pelan agar tidak mengganggu tidur Gamila.
Sepagi ini penghuni apartemen masih berada di dalam kamarnya masing-masing. Satpam yang menjaga apartemen saja heran melihat Aurora sudah berlari lari mengelilingi kolam renang sepagi ini. Udara pagi Jakarta yang dingin membuat banyak orang malas untuk keluar dari kamarnya. Bagi Aurora olahraga pagi sudah menjadi kewajiban kecuali jika sedang dilanda galau.
Aurora memasuki gym. Masih sepi, hanya ada trainer dan satu muridnya. Aurora memilih menggunakan treadmil untuk pemanasan. Tidak beberapa lama kemudian di sampingnya berdiri seorang cowok, Aurora menoleh memastikan orang disebelahnya.
“Lo?”
“Pagi Aurora,” sapa Ale dengan senyum sok imutnya.
“Kok lo ngegym disini sih, emang rumah lo dimana?”
“Di sini, lantai delapan.”
“Jadi selama ini lo tinggal satu lantai di atas lantai kamar Gamila? Kenapa nggak perna bilang,” protes Aurora yang baru mengetahui fakta mengejutkan.
“Kan lo nggak pernah tanya,” bantah Ale membela diri.
Setelah itu percakapan Ale dan Aurora mengalir begitu saja. Aurora lupa bahwa hari ini waktunya Ale dan Gamila menceritakan yang sejujurnya tentang hubungan mereka di masa lalu. Ale memang paling pintar membuat seseorang menjadi bahagia dan tersenyum sehingga banyak cewek yang mengaguminya.
Sehabis Ale dan Aurora ngegym, Ale mengajak Aurora sarapan di kafe apartemen. Aurora teringat jika hari ini waktunya Ale untuk jujur. “Le, habis ini lo mampir ke kamar Gamila ya, ada yang mau gue omongin.” Perasaan Ale tidak enak, pasti yang akan dibicarakan oleh Aurora adalah hubungannya dengan Gamila.
Aurora membangunkan Gamila yang masih tertidur pulas saat sampai di dalam kamar apartemen. Ale menunggu di ruang tamu sambil was-was. Gamila keluar kamar dengan wajah yang masih sangat kacau. Rambutnya acak-acakan tanpa disisir dan bajunya masih baju semalam. Aurora duduk di ruang makan sedangkan Ale dan Gamila masih di ruang tamu.
“Kalian berdua ngapain masih di sana, gue pingin ngobrol disini biar wajah kalian kelihatan kalo bohong,” Aurora memasang muka serius.
Ale dan Gamila bergidik, mereka segera menuju meja makan dan duduk di depan Aurora. “Siapa yang mau cerita duluan?” tanya Aurora tanpa basa basi dengan wajah sangarnya.
Gamila dan Ale saling berpandangan, saling menunjuk siapa yang harus bercerita lebih dulu. Namun tetap tidak ada inisiatif dari keduanya. Aurora kecewa salah satu dari mereka tidak ada yang mau jujur.
“Kalian kenapa sih tinggal cerita aja susah. Seburuk apapun masa lalu kalian gue bakal terima kok. Gue kesini cuma mau bantu kalian biar bisa kumpul lagi bareng keluarga kalian,” Aurora habis kesabaran.
“Ini alasan gue nggak mau jujur sama lo Ra, lo pasti bakal nyari keluarga gue dan memaksa gue untuk pulang,” ujar Ale.
“Iya memang itu tujuan gue. Apa salah Le, apa lo nggak kangen sama keluarga lo?” tanya Aurora penuh penekanan.
“Kita berdua sudah dibuang sama keluarga itu, kita berdua sudah nggak mungkin masuk kembali dalam rumah itu. Percuma kita mau memohon sampai nangis darah mereka juga nggak bakal terima kita, apalagi lo orang baru di kehidupan mereka,” tambah Gamila dengan mata menerawang.
“Mil, Le, kalian berdua harus balik ke keluarga itu. Bagaimanapun caranya, seberat apapun rintangannya. Keluarga itu tempat kita untuk pulang, sejauh apapun kalian pergi kalian harus pulang menuju rumah kalian, keluarga. Apa salahnya sih mencoba berbicara lagi.” Aurora mencoba meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setelah tawar menawar yang alot, Ale dan Gamila akhirnya setuju dengan Aurora. Mereka mau mencoba lagi untuk meminta maaf pada keluarga mereka. Besok Aurora ingin sekali membawa Ale dan Gamila menuju rumah Ale. Aurora sudah siap menanggung resiko yang akan terjadi. Diusir atau bahkan diseret keluar dari rumah Ale sudah ia perhitungkan matang-matang.
Sore ini Aurora ingin sekali ke makam Ayah. Semenjak di Jakarta ia belum pernah ke makam Ayah sama sekali. Awalnya Aurora ingin pergi ke makam Ayah sendirian tapi Ale menawarkan diri untuk mengantarkannya. Aurora menolak namun Ale tetap memaksa untuk mengantar.
Aurora sudah berdiri di samping makam Ayah. Air matanya selalu saja menetes ketika berada di samping makam Ayahnya. Semua memori dengan sang Ayah selalu berputar dengan sangat jelas di kepalanya. Kesuksesannya saat ini terasa kurang jika Ayah belum bisa merasakannya. Ale mengelus pundak Aurora lembut, perempuan yang dianggapnya kuat selama ini ternyata punya hati yang begitu rapuh. Ale sadar Aurora perlu sosok yang bisa mendampinginya di saat ia sedang rapuh seperti ini.
Lama Aurora berada di makam Ayahnya. Ia sangat rindu bercerita dengan Ayah walaupun keadaannya saat ini Ayah hanya bisa mendengar tanpa bisa menjawab. Ale dengan sabar menunggu Aurora. Ia khawatir jika meninggalkan Aurora sendiri akan membuat emosi Aurora tidak terkontrol.
“Ra, gue boleh tanya sesuatu ga?” tanya Ale ketika di perjalanan pulang.
“Apa Le?”
“Apa Ayah sebegitu berartinya buat lo sampai gundukan tanah yang nggak bisa ngomong bisa bikin lo nangis kaya tadi?” tanya Ale penuh hati-hati.
“Siapa sih Le yang mau ditinggal Ayahnya tanpa bisa memberi sesuatu yang berarti buat dikenang. Memang sosok Ayah sekarang cuma berupa gundukan tanah yang nggak bisa ngomong tapi setiap gue berada di makam Ayah semua memori tentang Ayah terus berputar tanpa bisa gue stop. Gue cuma bisa menikmatinya dengan cara menangis.”
Ale menggenggam tangan Aurora lembut, “Gue memang nggak pernah tahu sosok Ayah lo kaya apa tapi gue bisa ngerasain gimana beliau dalam menyayangi dan mendidik lo.”
Aurora melihat ke arah Ale. Ia tahu di dalam hati Ale pasti ada rindu yang teramat dalam untuk keluarganya. Di luar memang Ale seperti cuek dengan masalah hidupnya namun di dalam hatinya Aurora yakin Ale ingin pulang ke rumah. Aurora berjanji akan membawa Ale pulang secepatnya.
Hari ini merupakan hari dimana Aurora ingin membawa Ale dan Gamila pulang. Gamila memang bukan bagian dari keluarga Ale namun setidaknya ia pernah menjadi bagian dari keluarga Ale. Gamila dan Ale sudah duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tegang. Sedangkan Aurora masih berada di kamar untuk bersiap-siap.
“Berangkat yuk,” ajak Aurora.
Ale dan Gamila saling pandang kemudian beranjak dari sofa. Aurora melihat wajah keduanya sangat tegang. “Kalian berdua lucu deh, mau ketemu keluarga kok tegang banget wajahnya. Jangan takut ada gue kok, sebisa mungkin gue nggak akan bikin kalian diusir dari rumah.”
Mereka bertiga sudah berada di depan pagar ruamh Ale. Pagar rumah Ale yang tinggi membuat aktivitas di dalamnya tidak terlihat. Aurora memandang Ale dan Gamila. Keduanya sama-sama tegang. Aurora menggenggam tangan keduanya dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Ale berjalan di depan diikuti Gamila dan Aurora. Dipencetnya bel yang menempel di bagian kanan pagar. Tidak lama kemudian keluar seorang satpam yang usianya cukup tua untuk menjaga rumah sebesar ini. Wajah satpam itu cukup kaget ketika melihat sosok Ale dan Gamila.
“Mas Ale, Non Gamila apa kabar. Selama ini kemana kok nggak pernah kelihatan?” tanya bapak satpam itu kemudian.
“Kami berdua baik pak. Mama sama Papa ada pak?”
“Ada Mas, mari masuk saya antarkan.” Gamila, Ale, dan Aurora berjalan menuju pintu utama rumah Ale. Jarak antara pagar dan pintu utama cukup jauh. Pintu garasi yang berada lurus di depan pagar sedang tertutup namun sudah bisa dilihat bahwa di dalamnya paling tidak ada tiga mobil yang terparkir. Di depan rumah ada taman yang sangat luas yang terdapat kolam ikan di tengahnya.
Sebelum Ale, Gamila, dan Aurora masuk, pak satpam terlebih dahulu memberitahukan pada tuannya bahwa ada tamu. Lama mereka menunggu, orang tua maupun kakak Ale belum juga keluar. Ale dan Gamila hanya menunggu dengan wajah sangat cemas dan tegang. Keduanya tidak berani saling tatap apalagi berbicara.
“Gila, gue grogi banget udah ngalahin kalo gue mau talkshow nih,” ujar Ale memecah keheningan.
Gamila hanya tersenyum simpul tanpa menjawab apapun. Dari wajahnya terpancar kegelisahan yang luar biasa. Dalam hatinya mungkin juga sama was-wasnya dengan Ale. Tidak lama kemudian seorang perempuan berparas sangat cantik dan keibuan keluar dari dalam rumah. Rambutnya yang dijepit ke atas, menggunakan dress hitam panjang sederhana namun terkesan mewah, tanpa make up apapun namun aura kecantikannya sangat terlihat. Mungkin ini ibu Ale batin Aurora.
Ibu itu lama berdiri di tempatnya. Beliau tidak mengatakan apapun sejak pertama kali muncul. Air matanya sudah mengalir deras ketika melihat kedatangan mereka bertiga. Ale bangkit dari tempat duduknya kemudian mencium tangan ibu itu. Ibu tersebut tetap di tempatnya tanpa berkata apa-apa. Tangannya mengusap lembut rambut Ale namun hanya isak tangis yang terdengar.
“Mama apa kabar?” tanya Ale ketika suasana sudah sedikit mencair.
“Mama baik Le, kamu selama ini dimana. Papa sampai sakit karena kangen sama kamu,” ujar wanita itu lembut.
“Ale takut Ma pulang ke rumah, takut kalo Bang Rifky marah sama Ale.”
“Mama juga nggak habis pikir kenapa abang kamu masih saja dendam sama kamu sampai saat ini. Daridulu waktu kamu diusir dari rumah Mama selalu mikirin kamu. Mama kepikiran makan kamu, tempat tinggal kamu tapi Mama bisa apa.”
“Tante, semoga tante masih ingat sama saya. Saya Gamila tante. Saya yang membuat Ale diusir dari rumah, saya tahu saya salah tante tapi tolong tante terima Ale lagi di rumah ini,” pinta Gamila sambil bersimpuh di depan Mama Ale.
Mama Ale memandang Gamila dengan tatapan yang kurang bisa dijelaskan. Ada gurat kemarahan namun seperti sudah mengikhlaskannya. Dari dalam kemudian keluar seorang laki-laki yang duduk di kursi roda dengan nafas berat didorong oleh seorang suster. Laki-laki itu menatap ke arah Ale dan Gamila bergantian.
Ale bangkit dari tempatnya kemudian menghampiri laki-laki itu. “Papa, ini Ale pa. Ale kangen sama Papa?”
Laki-laki itu tidak menjawab. Beliau hanya memandang kosong ke arah depan sambil mengatur nafasnya yang berat. “Papa jantungnya kumat, kemarin lusa baru keluar dari rumah sakit. Dia sakit mikirin kamu Le,” jelas Mama.
Ale mendorong kursi roda Papanya sampai di samping tempat Mamanya duduk. “Papa, maafin Ale ya karena nggak pernah jenguk Papa. Ale takut Pa kalo Ale pulang Bang Rifky marah sama Ale.” Air mata Ale menetes melihat kondisi Papanya yang lemah dan wajahnya yang masih pucat.
“Ale,” panggil Papanya dengan suara lemah. “Harusnya Papa dulu nggak usah turuti apa kata Abang kamu. Harusnya Papa sebagai kepala keluarga bisa menengahi kalian berdua. Papa terlalu sayang sama Abang kamu sampai semua kemauannya Papa turuti walaupun Papa harus merelakan anak Papa sendiri.”
Nafas Papa terasa berat. Harusnya beliau tidak boleh banyak bicara dulu. Pikirannya harus stabil agar jantungnya tidak bekerja terlalu berat. Ale berusaha menenangkan Papanya dengan menceritakan kejadian yang baik-baik selama ia di luar rumah.
“Kamu balik lagi ke rumah ya Le. Rumah sepi nggak ada kamu, nggak ada yang nungguin Mama masak, nggak ada yang berisik nyanyi kenceng,” tambah Mamanya.
Belum sempat Ale menjawab permintaan Mamanya, datang seorang cowok dengan wajah kaget namun penuh emosi. Cowok itu bertubuh tinggi berisi, wajahnya mirip sekali dengan Ale namun terlihat lebih tegas dan dewasa.