Kota Solo - 1991
Aku sebenarnya sudah bilang kepada Ibuk tentang sol sepatuku yang sudah mulai agak mangap lagi di bagian belakang. Tetapi Ibuk hanya terdiam dan menenangkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ibuk menyarankan aku untuk berjalan dengan hati-hati, tidak perlu pecicilan, niscaya sepatuku akan baik-baik saja, sampai Bapak punya uang untuk membeli sepatu baru sebagai pengganti.
“Lagian kan memang harus ganti nanti kalau orientasi sekolah selesai. Ibuk dengar begitu saat pertemuan orangtua murid kemarin, bakal diseragamkan sepatunya, jadi sabar saja. Nanti sore biar Ibuk suruh Bapak bawa lagi ke Pak Teguh,” ujar Ibuk. Pak Teguh adalah tukang sol sepatu yang menjadi andalan satu kampung untuk soal reparasi sepatu.
“Tapi ini sudah tiga kali dilem lho, Buk ....,” kataku dengan nada agak pasrah. Masak iya dilem terus. Lama-lama kan jebol juga, pikirku.
“Iya, masih bisa kok ... kamu sarapan dulu,” Ibuk mencoba mengalihkanku dari masalah dengan menyodorkan sepiring nasi dengan lauk tempe goreng dan kecap. Aku mengikuti apa yang diminta Ibuk, menikmati sepiring nasi hangat dengan lauk dua potong kecil tempe dan kecap. Ibuk mengambil sepatu kananku, lalu mencoba menekan-nekan bagian solnya yang mulai agak mangap. Setelah itu Ibuk bangkit, menyisir rambutku yang mulai agak panjang. Ibuk selalu memuji rambutku yang lurus dan tebal hitam seperti rambut Bapakku.
Ketakutanku terbukti. Ini masuk minggu kedua aku mengikuti orientasi di sekolah. Minggu pertama diisi banyak teori dan dilakukan di dalam kelas, termasuk wajib mengikuti penataran P4 alias Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Hari ini mendadak ada baris berbaris. Semua murid di kelas 1E dikumpulkan di lapangan basket oleh Pak Awi, guru olahraga. Meskipun guru olahraga, secara fisik Pak Awi ini jauh dari atletis. Badan kurus hitam, rambut keriting, ngerokoknya kenceng. Beberapa kali aku lihat beliau ngerokok di parkiran sepeda yang berada di dekat toilet belakang kelasku. Bagi murid lama, mungkin sudah biasa melihat Pak Awi begitu.
Aku sudah khawatir ini adalah kegiatan fisik. Semua murid berdiri tiga baris memanjang ke belakang. Anak-anak dengan tubuh tinggi berada di satu ujung, lalu berurutan hingga ujung lain adalah anak-anak yang pendek. Aku berada di baris kedua karena relatif pendek, tinggiku 150 cm. Aku juga heran, ada teman sekelasku yang sudah memiliki tinggi 170 cm. Masak iya, anak kelas 1 SMP tinggi 170 cm? Makannya apa ya kira-kira?
“Hari ini, kalian akan sedikit belajar tentang kedisiplinan dan baris-baris. Ini serius, jangan ada yang bercanda. Sebagai murid baru di SMPN 10, kalian harus digembleng kedisplinan sebagai fondasi awal pembentukan karakter,” Pak Awi berteriak-teriak seperti berbicara dengan orang dari jarak jauh padahal kami cuma berada di depannya, paling jauh ya cuma 3 meteran.
Kulirik sampingku, ada Indra. Belakangku persis Elmo. Hanya Budi yang berada di depanku yang aku kenal baik, yang lain baru kukenal namanya. Tinggi kami memang di kisaran 150-155 cm. Elmo mungkin sekitar 155 cm, sementara Budi yang berada di depanku sebenarnya hampir sama denganku. Sisanya ya itu tadi, sudah ada yang tingginya sekitar 170 cm.
“Kalian tahu kan cara berbaris yang baik? Harus kompak, serempak, karena kalau ada yang salah, akan membuat rusak barisan,” seru Pak Awi lagi. Tak ada yang menjawab pertanyaan Pak Awi, karena beliau bertanya sekaligus menyampaikan jawaban. Setelah puas berteriak-teriak dan sesekali batuk, Pak Awi lalu memulai kegiatan baris-berbaris.
“Langkah tegap majuuuuuuu ... jalaaaan!”
Proookk ... proookk ... proookk ... prookkk ....
Langkah tegap terdengar. Semua tampak baik-baik saja dan baris berendengan menuju ke ujung lain lapangan basket. Saat barisan terdepan akan sampai di ujung lapangan basket, Pak Awi memberi komando, “Balik kanan majuuuuu ... jalaaan!”
Itu artinya barisan akan berbalik 180 derajat tanpa berhenti. Serentak semua anggota barisan memutar badan lalu berjalan lagi ke arah berlawanan dari semula, lalu melanjutkan langkahnya. Saat itulah bencana terjadi, karena tidak semua anak memahami perintah ini. Ada yang mendadak ketinggalan, ada yang salah langkah dan balik kiri, ada yang mencoba memperbaiki, dan aku ... sebenarnya tidak salah langkah, cuma telapak kaki kananku terasa sangat panas menyentuh lantai lapangan basket. Karena itulah aku terpincang-pincang sehingga merusak kekompakan barisan. Kulihat ke arah kakiku, sol sepatu kananku sudah mengelupas ... copot separuh!
Keringat dingin sudah bermunculan, lebih banyak malu daripada merasakan panasnya telapak kaki yang hanya tertolong kaos kaki tipis. Untuk menyelamatkannya, aku harus berbaris dengan menekan sol sepatu dan menyeret langkah. Aduh, aku malu sekali!
Telapak kaki kananku hanya berbalut kaos kaki tipis, terasa panas karena langsung menyentuh semen lapangan basket. Sol sepatu kananku sudah nyaris lepas. Bagian belakang hingga tengah telapak sudah lepas, hanya lem di ujung telapak yang masih melekat dan membuatnya tetap bertahan tidak copot.
“Deka ... sst ... Deka ... kamu nggak papa?” kudengar suara dari belakang, suara Elmo agak lirih dan tertahan. Aku menganggguk tanpa berani menoleh ke arah Elmo. Takut ketahuan Pak Awi dan dihukum.
Aku hanya berharap kegiatan ini segera berakhir sebelum sol sepatu kananku benar-benar lepas. Elmo menowel pundakku, “Deka ... Deka ... kamu keluar barisan cepat. Pura-pura pingsan,” suara Elmo kembali kudengar. Aku menggeleng cepat, takut. Nekat berjalan dengan menyeret kaki kanan.
Mendadak kaki Elmo menjegal langkahku dari belakang, sehingga aku terhuyung ke depan nyaris roboh. Elmo merangsek ke depan dengan cepat, menyenggol tubuhku hingga aku terjatuh keluar barisan. Sekarang tubuhku berada di pinggir lapangan. Elmo dengan cepat menghampiriku yang masih terduduk di lantai lapangan dan belum menyadari benar apa yang terjadi.
“Merem ... merem ... pura-pura pingsan ....”perintah Elmo setengah berbisik. Barisan tidak berhenti, tapi Pak Awi sudah berteriak-teriak.
“Apa itu pakai tiduran di lapangan? Kalau mau istirahat sana di kantin!” seru Pak Awi.
“Deka pingsan, Pak!” seru Elmo cepat.
Aku mendelik ke arah Elmo. Elmo mencubit kakiku agak keras dan mengerjapkan mata sambil sesekali merem. Aku menangkap kode itu lalu langsung menutup mata menuruti perintahnya. Dengan agak memicingkan mata, kulihat Pak Awi datang menghampiriku. Aku langsung menutup mata penuh-penuh takut ketahuan bohong.
“Elmo ... kamu bawa ke UKS cepat. Minta teman lain bantu ... ini pasti tadi pagi belum sarapan. Merepotkan saja,” perintah Pak Awi ditutup dengan gerundelan. Pak Awi kemudian tetap melanjutkan kegiatan baris berbaris tanpa mempedulikan aku. Alhamdulillah juga karena berarti kebohonganku tidak akan terungkap.