Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #2

Hari Bahagia Bersama Stallone

Aku tidak pernah menyembunyikan kondisiku sebenarnya, tentang kemiskinan, tentang rumah berdinding anyaman bambu yang penghuninya harus berjejal di dalamnya, tentang hal-hal yang bagi orang lain lebih memilih untuk disembunyikan karena malu. Tetapi meskipun aku tidak menyembunyikan, bukan berarti aku menceritakan semua kesulitan hidupku. Aku tidak berbohong, aku hanya memilih untuk tidak menceritakan.

Tapi sangat heran bila Elmo ternyata masih kaget dengan kondisi rumahku. Kupikir, sejak kami berteman setelah tragedi sepatu bolong itu dia sudah memiliki bayangan betapa miskinnya aku.

Elmo mengikuti kayuhan sepeda bututku dari belakang. Sepeda Elmo bagus, model sepeda gunung merek Federal asli, bukan abal-abal, dengan warna hitam doff yang terlihat mewah, dengan tulisan Federal warna perak dengan huruf timbul. Keren banget pokoknya! Aku kerap bermimpi punya sepeda semacam itu, yang mereknya palsu atau hanya tempelan sticker aja juga nggak apa-apa. Bukan sepeda mini yang dicopoti keranjangnya dan terkesan sepeda cewek bukan, cowok juga bukan seperti yang kupakai ini. Orang bilang, sepedaku adalah sepeda Jengki!

Sejak berteman dengan aku dan Satya, Elmo memilih berhenti berlangganan becak dan memilih ke sekolah naik sepeda. Hanya kadang-kadang saja sih dia naik becak langganannya, yaitu Pak Badrun, seperti misalnya kalau lagi capek atau sepedanya bocor. Kalau naik sepeda, dia biasa berangkat sekolah menjemput Satya dulu, sebelum menuju ke sekolah karena rumahnya searah. Satya biasa duduk di dalangan atau rangka besi utama di depan sadel sepeda, karena memang sepeda gunung seperti itu tentu tidak dilengkapi boncengan di belakangnya.

Satya, dia hidupnya lebih susah daripada aku, tidak punya sepeda malah. Satya beruntung karena pulang pergi sekolah dijemput Elmo. Awalnya memang Satya dan Elmo bersahabat lebih dekat daripada Elmo denganku. Aku ibaratnya masuk belakangan di geng ini. Sebenarnya ada dua lagi anggota geng pelengkap, yaitu Dimas dan Ndaru, tetapi mereka berdua kerap tak ikut serta saat kami ngumpul di luar sekolah seperti ini. Dimas, yang juga anak orang kaya, juga punya geng lain di luar geng kami, yaitu geng anak-anak orang kaya yang masing-masing baru kenal saat masuk sekolah ini tapi sudah punya nama: Geng Borju!

Elmo anak seorang dokter, Bapak dokter kandungan, sementara Ibunya dokter mata. Kedua orangtuanya juga mengajar di sebuah universitas di Semarang, yang membuat mereka harus sering bolak-balik Solo-Semarang. Hal ini membuat Elmo kerap di rumah hanya ditemani pembantunya.

Elmo tinggal di kawasan Tirtamaya Regency, yang merupakan kawasan perumahan orang kaya, di mana kawasan itu dikelilingi tembok tinggi dengan akses masuk terdapat pos satpam dan portal. Rumahnya gede banget, bahkan kamar pembantunya jauh lebih bagus daripada rumahku secara keseluruhan. Aku kerap berseloroh dengan Satya, apa enaknya aku jadi pembantu Elmo saja ya? Jadi tukang kebun juga boleh. Rumah Elmo dua lantai, tetapi sebenarnya ada satu lantai lagi yang biasa digunakan untuk menjemur baju saja. Elmo anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya paling tua, Dewita, cewek masih kelas 2 sekolah menengah, tepatnya di SMAN 4 Solo, sementara anak kedua, Brian, masih kelas 1 di SMAN 1 Solo. Sekolah-sekolah itu terkenal sebagai sekolah favorit dan banyak murid dari golongan kelas menengah ke atas.

Aku juga heran kenapa Elmo sekolah di SMPN 10 yang merupakan sekolah yang biasa saja dan banyak murid yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pengetahuanku tentang keluarga Elmo ini kudapatkan sejak aku dan Elmo bersahabat dan dia sering mengajak aku dan Satya main ke rumahnya. Kata Satya, hidup Elmo bak di negeri dongeng. Kuamini itu setelah aku main ke rumahnya untuk pertama kali. Hanya perlu lepas sepatu dan melempar tas di sofa, kemudian Elmo mengajak kami ke meja makan di mana sudah terhampar aneka makanan dan buah. Tak perlu membereskan sepatu dan tas tadi, karena ada pembantu yang mengemasinya. Soal makanan, aku belum pernah melihat makanan semelimpah ini, padahal tidak sedang ada pesta.

Aku memilih ayam goreng karena kapan lagi aku makan ayam kalau tidak sekarang. Tapi mataku tak berhenti melirik ke daging rendang dan berharap ada sesi kedua. Buahnya pun ada macam-macam, dari anggur, apel, kelengkeng, sampai pisang. Lemari esnya ada di samping meja makan, tinggi dan gede, lebih besar daripada peti mati orang Tionghoa yang pernah kulihat. Aku sempat melirik isinya saat Elmo membuka, astaga penuh banget entah makanan apa saja. Lalu kubandingkan dengan kegiatanku sepulang sekolah, copot sepatu, seragam lalu duduk menunggu Ibuku datang dari pasar membawa lauk. Tempe lagi-tempe lagi. Kadang diselingi ikan asin dan sambal. Kalau beruntung, ada hantaran sayur sisa dari tetanggaku.

Pembantu Elmo membuka lemari es, lalu mengeluarkan kue ulang tahun dan meletakkan di meja makan sambil menyiapkan pisau pemotongnya. "Siapa yang ulang tahun?" bisikku kepada Elmo. Elmo ngakak mendengar pertanyaanku, sementara aku bengong.

"Itu bukan ulang tahun ya, Ka. Itu kue buatan Tante Rini adik Mamahku. Kemarin dikasih. Ntar kamu icipi, enak lho," jelas Elmo. Aku mangut-mangut. Kupikir kue ulang tahun karena gede dan ada hiasan gula-gulanya. Aku baru tahu, bagi orang kaya, kue semacam itu bisa hadir setiap saat tak perlu menunggu siapa yang ulang tahun. Oya, meskipun kaya, Elmo adalah orang yang rendah hati, tidak pilih-pilih teman, juga sangat royal pada teman-teman baiknya, seperti kepadaku dan Satya. Kalau mau milih, bisa saja dia memilih Dimas yang anak orang kaya sebagai teman sebangkunya.

Aku menghentikan sepeda, turun di depan WC umum. Benar, di samping rumahku ada WC umum, tempat warga di RT-ku buang hajat. Ada lima bilik WC jongkok dan satu kamar mandi yang bisa digunakan bersama. Di tembok luar bagian tengah, ada semacam kotak kayu serupa kotak amal yang menempel. Habis buang hajat, harus masukin koin. Besarannya nggak wajib, seikhlasnya saja untuk penjaga dan untuk perawatan. Banyak warga di RT-ku yang miskin, meskipun kami tinggal di kampung yang berada di tengah kota.

Lihat selengkapnya