Seisi kelas tahu, selain bukan orang kaya aku juga murid yang bodoh untuk mata pelajaran matematika. Sekelas tahu dan mengamini itu. Sialnya, guru matematika kami adalah jenis guru killer dibanding guru-guru lain. Namanya Pak Parno, guru killer yang khas dengan sisiran rambut belah pinggir berminyak, yang selalu rapi dari pagi sampai sekolah selesai.
Dia kerap menunjuk murid untuk maju dengan berdasar nomor absensi. Namaku adalah Dharma Karunendra dan biasa dipanggil “Deka” di sekolah, sementara di rumah aku dipanggil Dharma. Nama yang bagus dan kata bapakku dia menemukan nama itu dari sebuah buku yang tertinggal di bangku belakang bus kota. Dharma, versi yang bapak baca di buku itu bermakna kebaikan, sementara Karunendra dalam buku itu bermakna kekuatan, ambisi, gigih dan mandiri. Jadi Bapak memahami Dharma Karunendra sebagai orang yang baik dan berambisi, serta gigih, juga mampu hidup mandiri. Itu cerita Bapakku dan harapannya.
Huruf awal namaku “D” dan aku beruntung bila diurutkan abjad anak sekelas, maka aku mendapatkan nomor absen 13 alias angka sial! Dan memang benar kok. Setiap mata pelajaran Pak Parno aku sering banget sial. Seperti yang kubilang sebelumnya, Pak Parno sering menunjuk murid untuk maju ke depan kelas mengerjakan soal. Mereka yang ditunjuk adalah yang nomor absennya kebetulan sama dengan tanggal saat pelajaran berlangsung, atau berdasarkan angka bilangan prima.
“Tanggal 13, nomor absen 13 maju yok ....” Baru juga masuk ke kelas dan belum duduk di kursi guru Pak Parno sudah mulai bertingkah.
Apes memang. Aku maju dan seperti biasa sama sekali tidak bisa menyelesaikan soal yang dia berikan. Biasanya kalau sampai murid yang ditunjuk tidak bisa menyelesaikan, maka Pak Parno akan meminta murid lain untuk ditunjuk, berdasarkan urutan bilangan prima. Setelah angka 13, bilangan prima yang paling dekat berikutnya adalah 17. Maka nomor absen 17 maju untuk membantu nomor absen 13. Bila tak juga bisa menyelesaikan soal, maka bilangan prima berikutnya adalah 23, nomor urut 23 maju untuk membantu si 13 an 17. Pernah dalam satu mata pelajaran ada delapan orang murid berdesakan di depan kelas tanpa bisa menyelesaikan soal. Kami berjejal di depan kelas dengan cengar-cengir tanpa merasa malu atas kebodohan kami.
Pak Parno bukan guru galak. Tapi Pak Parno meneror muridnya dengan caranya sendiri. Teguh temanku, bahkan sebelum mata pelajaran matematika berlangsung selalu beser pengen kencing. Itu pun masih akan izin kencing lagi saat pelajaran berlangsung. Tidak pernah terjadi di pelajaran lain.
Pak Parno membuka les matematika dan banyak murid ikut. Aku sebenarnya ingin ikut, tetapi tidak punya uang untuk membayar meskipun hanya Rp 5.000 sebulan untuk empat kali pertemuan. Aku ingin ikut semata-mata karena semua murid yang ikut les selalu lolos dari incaran Pak Parno untuk mengerjakan soal di depan. Atau saat ulangan selalu mendapatkan nilai bagus karena materi ulangan sudah diberikan satu hari sebelumnya saat les. Tapi duit Rp 5.000 adalah duit besar buat orangtuaku. Setiap hari aku ke sekolah hanya mendapatkan uang jajan Rp 300. Kalau tidak ada sarapan di rumah, maka Rp 150-nya akan aku gunakan untuk makan soto di kantin, sisanya nanti buat beli es sepulang sekolah yang harganya Rp 75 per plastik besar. Sisanya lagi kadang kukumpulin untuk sewa buku di persewaan buku, supaya aku bisa menyalurkan hobi membacaku.
“Kamu nggak pengen ikut les?” tanya Satya.
Aku menggeleng cepat, “Kamu tahu aku kan? Aku yakin kamu juga tidak ikut,” lanjutku.
Satya nyengir.
“Ini kan sudah mau ujian, kata temen-temen yang ikut les bakal dapat bocoran dari Pak Parno untuk soal matematika,” imbuh Satya. Mendadak sebuah buku mendarat di pundak Satya.
“Ngawur!”
Elmo menyambar cepat lalu mendekat ke arah kami. Setengah berbisik dia berujar, “Bukan dapat bocoran. Itu soal kan dibuat Dinas Pendidikan, ada tim guru tingkat kota dan Pak Parno tidak masuk di dalamnya. Jadi bukan bocoran.”
Aku dan Satya berpandangan lalu mangut-mangut. “Yang benar ... Pak Parno membantu memberikan kunci jawaban. Jadi dia lihat soalnya, lalu dia ikut mengerjakan, lalu dibagi ke murid yang ikut les saat ujian berlangsung,” bisik Elmo.
“Hah? Sumpah?” Aku setengah tidak percaya.
“Kamu pikir nilai 9 matematikaku di catur wulan kemarin dapat dari mana?” Elmo terkekeh. Aku terdiam. Kalau pun Elmo lebih pandai daripada aku dalam hal matematika, dia bukan jenis yang jago pula. Nilainya kadang hanya 7 atau 6, sementara aku di bawah itu. Elmo memang sudah ikut les ke Pak Parno sejak awal tahun pelajaran. Hebatnya, bukan murid lesnya yang datang ke Pak Parno seperti anak-anak lain, tetapi Pak Parno datang ke rumah Elmo. Ya, khusus Elmo, tidak untuk anak-anak lain. Mungkin bayarannya juga berbeda.
“Uang memang bisa menyelesaikan segalanya ya ... hahaha ....” celetuk Satya tertawa nyengir. Elmo mendelik yang membuat Satya langsung menutup mulutnya.