Satya tiba di sekolah dengan mata sembab! Meskipun dia menolak disebut habis menangis oleh Elmo, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan bahwa dia habis nangis. Wajah Satya yang agak bulat dengan pipi penuh, semakin membuat kesembaban itu terlihat. Satya mungkin malu mengakui, karena sebagai cowok Satya memang tidak terlihat penakut, apalagi dengan badan agak gempal dan hitam seperti itu.
Kulirik sesekali ke arah Satya yang duduk di samping Elmo. Wajahnya muram, lebih banyak diam. Selama pelajaran Sejarah, dia banyak menunduk seperti ngantuk. Bahkan Bu Wahyuni sempat memperingatkannya, “Itu Satya tidur atau apa?” tunjuk Bu Wahyuni. Satya mendongakkan kepala lalu menggeleng. Ada yang aneh dengan Satya hari ini yang harus kucari tahu secepatnya saat istirahat pertama nanti.
Begitu pelajaran jam ketiga selesai, bel istirahat pertama berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas termasuk aku, Elmo dan Satya. Kalau biasanya kami ke kantin, kali ini Elmo mengajak aku dan Satya menuju ke arah ruang perpustakan yang agak sepi. Elmo mendudukkan Satya di depannya, sementara aku memilih duduk di samping Elmo.
“Kamu kenapa sih? Ada masalah apa? Cerita dong,” Elmo langsung main tembak. Satya diam, lalu celingukan. Wajahnya beredar ke seluruh penjuru ruangan yang tak banyak murid itu. Hanya ada dua orang di pojokan asyik memilih buku, serta staf perpustakaan.
“Emang aku kelihatan menangis?” tanya Satya lugu agak lirih.
“Iyaaa ....” aku dan Elmo serempak menjawab.
Satya mangut-mangut, seperti pasrah karena dia tidak bisa mengelak. Diacak-acaknya rambutnya yang cepak. Lalu melemparkan pandangan ke luar jendela perpustakaan.
“Aku sedih.”
Aku dan Elmo terdiam. Memandang Satya dan menunggu kelanjutan dari ‘aku sedih’ itu. Satya terdiam beberapa saat dan aku maupun Elmo seperti membiarkannya menata emosi.
“Tiga hari ini ... Emakku dikejar-kejar bank plecit alias bank titil,” lanjutnya.
Elmo mengerutkan dahi, lalu memandang ke arahku seperti tak paham dengan apa yang dimaksud Satya dalam kalimatnya.
“Bank titil, alias bank plecit, alias rentenir yang suka keliling di kampung-kampung cari mangsa ibu-ibu yang butuh duit, lalu mencekik mereka dengan bunga tinggi, angsuran harian dan menghisap darah mereka sampai terlihat tulangnya,” kataku menggambarkan dengan dramatis. Jelas saja Elmo nggak paham bank plecit apa, orang dia nggak pernah merasakan kurang duit. Tangan Satya dengan cepat mengeplak kepalaku. Aku ngikik.
“Serius nih,” lanjut Satya. Aku juga serius, batinku.
“Dua hari lalu sebenernya sudah disamperin ke rumah. Tapi Emak bisa kasih alasan dan dikasih waktu besoknya. Nah, kemarin datang lagi, tapi Emak juga belum punya duit karena harus mengangsur sepatu Warrior ke sekolah. Itu masnya bank plecit sudah marah-marah. Berantem lama sama Emak, aku lihat pas pulang sekolah. Masnya bank plecit lalu pergi, Emak ke dapur dan aku dengar Emak terisak di dapur ... aku nggak berani nanya. Kasihan Emak ....” tutur Satya lirih.
Aku menghela napas. Ibuk juga pernah kena masalah sama. Untung bisa selesai, batinku.
“Nah, tadi pagi-pagi, habis Subuh, itu masnya bank plecit sudah datang. Emak nggak punya duit buat bayar. Masnya bank plecit marah-marah, memaki-maki Emak dengan kata-kata ‘asu”... aku sakit hati Emakku dibilang gitu. Aku ambil wajan kosong, kulemparkan ke arah kepala masnya itu. Emak jerit-jerit nangis melihatku, lalu menarikku masuk rumah dan mengunci pintu dari dalam. Kami berdua nangis di dalam ... aku sakit hati. Kalau aku orang dewasa, sudah kubunuh masnya itu,” mata Satya membulat di kata-kata terakhir. Aku tertegun. Belum pernah aku melihat Satya semarah ini. Elmo diam tanpa ekspresi menatap Satya.
Elmo mengelus-elus punggung Satya, “Ya sudah, yuk ... waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi. Kita cari minum dulu ya. Jangan khawatir, Sat ... semua masalah ada jalan keluar. Yang penting sabar,” Elmo berbicara seperti Pak Choirul guru agama kami.
Kami berendengan keluar dari perpustakan menuju ke kantin. Hari ini aku sebenarnya tidak ingin ke kantin karena mau ngirit, uang saku hari ini mau aku gunakan untuk sewa komik Tintin yang baru datang, judulnya “Penerbangan 714 ke Sydney”. Sebenarnya mungkin Elmo akan mentraktir, tapi aku juga tidak mau ke-GR-an.
“Aku langsung ke kelas aja ya?” kataku.
“Lho ... awas ya kalau nggak ikut ke kantin,” sambar Elmo sambil menoleh ke aku yang berjalan di belakangnya. Aku diam memandangnya sambil senyum-senyum.
“Nggak ada duit?” tebak Elmo.
“Ada. Tapi mau buat sewa komik nanti sore,” kataku.
“Udah, aku traktir. Paling kan cuma ambil es teh dan bakwan kan? Enteng atuh ... sekenyangmu!” tegas Elmo. Aku langsung ngakak dan ngintil Elmo dan Satya.
Di kantin, wajah Satya sedikit demi sedikit mulah berubah. Senyumnya mulai muncul lagi dan kami ngobrol tentang beberapa hal yang mungkin bisa membuatnya lupa akan masalahnya.
Setelah istirahat pertama, kami harus menghadapi pelajaran fisika dua jam, lalu satu jam lainnya sebelum istirahat kedua adalah pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di jam kedua pelajaran Fisika, Elmo minta izin ke guru, kulihat dia keluar kelas. Tak selang berapa lama dia kembali ke kelas, menunjukkan secarik kertas dan menyerahkannya ke Pak Didit guru fisika, lalu Elmo balik ke tempat duduknya, mengemasi buku dan alat tulisnya, memasukkan ke dalam tas, lalu bangkit. Sempat dia menoleh ke aku dan belum sempat aku bertanya kenapa, dia sudah berlalu keluar kelas.
Aku melihat ke arah Satya, dia menunduk sambil menulis sesuatu di buku. Tak ada kesempatan aku bertanya dan mendapatkan jawaban cepat. Elmo dan Satya kebetulan hari ini sebangku, karena Satya sejak pagi memang seperti menghindari teman lain. Akhirnya aku bertukar tempat duduk, Satya ke tempat dudukku di samping Elmo, dan aku duduk di samping Dimas yang aslinya teman sebangku Satya. Kami memang kerap bertukar tempat duduk.