Di kelas 2, aku duduk sebangku dengan Elmo. Tak harus sih, karena kadang-kadang Satya yang duduk di samping Elmo, sementara aku menggantikan Satya duduk sebangku dengan Dimas. Tentang Dimas, sepertinya dia memang terpaksa duduk dengan Satya atau aku, karena dia tidak mengenal anak-anak lain yang saat kelas 1 tidak sekelas dengan kami. Kelas 2 E ini benar-benar campur aduk dari banyak kelas, hanya aku, Elmo, Satya dan Dimas yang datang dari kelas yang sama di kelas 1.
Tujuan untuk merotasi murid-murid ke kelas yang berbeda karena katanya biar anak-anak mengenal satu sama lain, selain supaya tidak bosan. Tapi sebulan pertama di kelas 2, Dimas benar-benar seperti terisolasi, mengingat dia tidak mengenal siapapun kecuali kami bertiga. Kadang-kadang aku kasihan melihatnya, karena dia seperti kehilangan pegangan, tak ada teman-teman se-gengnya dulu. Tak heran bila bel istirahat berbunyi, dia seperti sangat lega, wajahnya sumringah karena saat itulah dia akan bertemu teman-teman satu gengnya yang berada di kelas lain. Keengganan Dimas berkumpul dengan aku, Elmo dan Satya saat istirahat membuat hubungan kami dengannya semakin canggung.
Sebenarnya ada satu anak yang mulai dekat dengan Dimas, yaitu Yoga. Latar belakangnya sama, dari keluarga berada. Obrolan mereka sering nyambung: soal barang bermerek, hobi, hingga soal tempat nongkrong favorit. Yoga kebetulan duduk di bangku belakang Dimas. Maka klop sudah, sepertinya mereka ditakdirkan berkarib.
“Aku lumayan baru sih, Dim. Kapan-kapan ayo ajari. Aku pakai kit shadow shark yellow special, masih pemula.”
“Coba pakai ban diameter gede. Masih cocok kok buat pemula. Karena diameternya gede, RPM-nya jadi cukup tinggi.”
Aku nguping tanpa tahu maksudnya. Ini mereka ngomong apa sih? Elmo yang duduk di depanku melihat ke arahku dengan senyum-senyum mengingat Dimas dan Yoga ngobrolnya cukup heboh. Aku pura-pura melanjutkan menyalin pelajaran saat Dimas yang duduk di sampingku menangkap Elmo yang senyum-senyum. Dimas lalu melanjutkan ngobrolnya dengan Yoga.
Jam pelajaran sejarah, kami hanya diminta menyalin, sementara Bu Retno tampak sibuk sendiri di meja guru. Elmo tampak asyik berbincang dengan Satya, sesekali melirik ke arahku sambil senyum-senyum seperti mengejekku. Nasib-nasib, punya teman sebangku saja tidak satu frekuensi.
“Kalian ngobrol apa sih?” tanyaku agak sebel.
Dimas dan Yoga terdiam sesaat menatapku, lalu tertawa bareng. “Kamu nggak ngerti apa yang kami obrolkan?” tanya Yoga. Aku menggeleng cepat.
“Kalau gitu, mending nggak usah ngerti sekalian ... lagian nggak bakal kamu geluti juga hobi ini,” celetuk Dimas lalu ngakak. Elmo mendadak menoleh ke belakang demi mendengar kalimat Dimas itu. Elmo menunjukkan wajah seperti tidak suka. Aku sih menanggapi kalimat Dimas dengan santai. Mungkin benar kok aku nggak bakal menggeluti hobi itu. Tapi itu hobi apa ya?
Saat istirahat aku penasaran dan bertanya kepada Elmo tentang apa yang dibicarakan Dimas dan Yoga. “Mereka tuh ngobrolin soal Tamiya. Mainan mobil balap mini 4WD. Paham?” jelas Elmo.
“Oh ... ngerti-ngerti. Kayak di toko mainan pojok perempatan Pasar Kembang. Pantesan Dimas bilang aku mending nggak ngerti sekalian. Kayaknya mahal banget itu mainan,” kataku.
“Lagian kamu dihina gitu nyantai-nyantai aja. Kalau aku, udah aku gampar tuh Dimas,” sambar Elmo.
“Dihina bagian mana?”
“Haaah? Kamu nggak nyadar? Dia kan bilang ‘mending kamu nggak usah ngerti sekalian. Lagian nggak bakal kamu geluti juga hobi ini’. Artinya ... dia mau bilang kamu tuh miskin, nggak bakal beli mainan begituan,” ujar Elmo dengan tampang sebal.
“Oh begitu ya? Nggak sadar aku. Ya udah nggak apa-apa. Emang miskin ini,” kataku santai. Elmo bersungut-sungut kesal dengan santainya sikapku.
Dimas memang sering melontarkan kalimat sengak kepadaku. Tetapi ini menurut Elmo ya, karena kadang bahkan aku tidak menyadarinya. Seperti misalnya selepas pelajaran olahraga, Dimas pernah bersungut-sungut, “Kamu nggak pakai deodorant ya?” Aku dengan santai menggeleng. Ya memang aku tidak memakai. Bagaimana mungkin aku membeli deodorant kalau sarapan aja kadang iya kadang enggak.
“Itu artinya dia mau bilang kamu bau!” Elmo kemudian seperti menjadi translator bahasa dan sikap Dimas yang kerap sinis kepadaku.
Atau suatu saat waktu tiba-tiba tercium bau kentut di kelas. Anak-anak yang berada di bangku sekitarku heboh. Dimas dengan santainya menudingku sebagai si biang kentut itu. "Kamu ya yang kentut?" tanya Dimas. Aku kaget dituduh begitu, karena memang aku tidak kentut. Spontan aku menjawab, "Kok bisa menuduhku yang kentut?" Dimas ngakak lalu dengan santainya bilang, "Karena baunya sih kayak bau ikan asin ... bukan daging." Kalimat itu diikuti tawa panjang. Anggoro dan Yoga yang duduk di bangku belakang kami juga serempak ngakak. Aku terdiam. Oh, ada ya kentut bau ikan asin? Terus kalau pun ada kentut bau ikan asin, kenapa Dimas menunjuk itu kentutku?
"Karena dia mau bilang kentut bau ikan asin itu kentutnya orang miskin. Kamu kan miskin. Kalau kamu kaya, kentutmu bau daging," lagi-lagi Elmo yang "menterjemahkan".