Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #10

Apa yang Terjadi dalam 30 Menit Itu?

Tanpa ampun kabar tentang pencurian jam tangan Dimas menyebar ke seluruh sekolah. "Berkat” teman-temang geng orang kayanya Dimas yang ada di kelas lain kabar ini semakin meluas, dengan aku sebagai pencurinya. Luar biasa memang. Bukan lagi terduga, tersangka, tetapi aku disebut sebagai pencurinya. Kenyataannya, aku tidak tahu bagaimana jam tangan G-Shock yang mahal itu bisa berada di dalam tasku.

“Demi Allah, aku tidak mencuri. Kalau pun aku miskin, aku tidak pernah diajari orangtuaku menjadi seorang pencuri. Kalian harus percaya aku.”

Elmo dan Satya terdiam duduk di depanku. Itu sesudah aku digelandang ke guru BP dan diinterogasi di sana. Hanya aku dan Dimas yang dibawa ke ruang guru BP. Hingga keluar lagi dari ruangan itu, aku bertahan dengan omonganku, “Aku bukan pencuri jam tangan milik Dimas.”

Guru BP memutuskan menyelesaikan masalah itu dengan damai, tetapi aku diminta mengisi surat pernyataan dan ditandatangani orangtua bahwa tidak akan melakukan hal sama lagi di masa datang. Aku menolak. Aku merasa tidak mencuri dan dengan menandatangani surat pernyataan itu berarti aku mengakui sebagai pencuri. Jalan buntu. Guru BP pun melepaskan kami dengan kebingungan.

“Kamu di dalam kelas selama jam pelajaran olahraga,” kata Elmo.

Aku menangkap keraguan Elmo atas pernyataanku. Satya mengangguk membenarkan omongan Elmo. Saat itu duniaku seakan runtuh sedikit demi sedikit. Dua orang terbaik yang selama ini mendampingiku, mulai meragukanku.

“Dan semua orang tahu bahwa hidup kamu susah ....” tambah Elmo.

Mendengar itu, mataku mulai berkaca-kaca. Elmo seperti memojokkanku dan membuatku harus mengakui bahwa aku adalah pencuri jam tangan milik Dimas. Air mataku mulai menetes. Kuusap cepat dengan lengan kananku. Apakah karena seseorang hidupnya miskin lantas bisa dituduh sebagai pencuri? Kupandangi Elmo dan Satya lekat-lekat.

“Aku ... nggak nyangka ... kalian sahabatku tidak berpihak kepadaku ....” kataku, lalu berbalik cepat menjauh dari keduanya. Baru dua langkah, Elmo menarik lenganku cepat dan membuatku terhenti.

“Kamu ada di sana dan kamu punya motif untuk mencuri. Kalau kamu bukan pencurinya, buktikan kepadaku, buktikan kepada kami, buktikan kepada seluruh sekolah. Jangan cuma nangis, bego!” Elmo mengucapkan kalimatnya dengan tegas dengan bibir nyaris nempel di telinga kiriku.

“Duduk!” perintah Elmo.

Aku berbalik, lalu duduk di bangku samping Satya. Jujur agak takut juga dengan sikap Elmo. Sekolah sudah mulai sepi sejak bel pulang telah berbunyi 20 menit yang lalu. Elmo dan Satya sengaja menahanku untuk tidak pulang dulu. Kami berbicara di bangku panjang depan kelas.

“Sekarang inget-inget lagi apa yang terjadi tadi pagi,” kata Elmo.

“Kamu kan tadi ikut olahraga kan, Ka? Meskipun sekitar 20 menit kemudian kamu izin karena maag kambuh. Lalu kamu ke UKS kan? Jadi ada waktu sekitar 30 menitan lebih kelas itu kosong,” Satya membuka omongan. Tak biasanya anak ini ngomong panjang lebar dan bernas.

Aku mengangguk, membenarkan apa yang diomongkan Satya.

“Nah, 30 menit lebih itu waktu yang lama lho. Saat itu kelas kan kosong sebelum kamu masuk. Tapi masalahnya, kalau ada orang lain yang mencuri jam tangan Dimas, kok tidak membawa jam tangan itu tetapi malah memasukkannya di tas kamu?” lanjut Satya.

Mungkin ada yang ingin memfitnahku? Batinku. Iya, siapa tahu begitu.

Lihat selengkapnya