Sehari setelah peristiwa “hilangnya” jam tangan G-Shock milik Dimas, situasiku dan Dimas sangat canggung. Kami masih duduk sebangku, tetapi nyaris tidak berbicara satu sama lain. Hanya seperlunya saja. Perasaanku sebenarnya sudah lebih baik dibanding kemarin karena Elmo dan Satya juga membantuku sedikit dengan menjelaskan ke teman-teman sekelas seperti apa peristiwa sebenarnya dalam versiku. Tetapi Dimas juga tak kembali baik kepadaku. Sikapnya dingin, yang kutebak kalau ada tempat duduk kosong di kelas ini maka dia akan langsung pindah untuk menghindariku.
Kadang kupikir, begini amat ya jadi orang miskin? Dihina-hina orang kaya, bahkan dituduh maling. Elmo dan Satya adalah penguatku untuk tetap berangkat sekolah hari ini. Sampai tadi pagi pun aku masih mendengar ada yang berbisik-bisik “Ini lho anaknya ....” saat aku berjalan di koridor sekolah. Kupastikan itu mengarah kepadaku, karena saat aku menengok ke arah suara itu, dua anak spontan memalingkan muka lalu pura-pura berbicara tentang hal lain. Untung hari ini hari Jumat, hari pendek, sehingga bisa segera pulang. Aku rasa aku butuh waktu untuk menghindari anak-anak di sekolah ini.
Bel tanda sekolah berakhir berbunyi. Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB, aku langsung mengemasi buku dan peralatan tulisku.
“Satya mau ke rumah. Kamu ikut nggak? Jumatan di mesjid deket rumahku aja,” tawar Elmo.
“Ehmm ... kayaknya aku pengen pulang aja,” kataku.
“Pulang ngapain? Ngelamun? Meratapi nasib? Ayolaaah ... Mbak Mus masak enak lho. Ada komik Bob Napi Badung terbaru kesukaanmu juga ....” Elmo mencoba mencari cara merayuku.
Akhirnya kuputuskan ikut Satya ke rumah Elmo. Bener juga sih, di rumah paling aku juga cuma ngelamun nggak jelas memikirkan persoalan ini.
Kami mengambil sepeda di parkiran bagian dalam di lingkungan sekolah, lalu berjalan bertiga menuju gerbang. Gerbang masih ramai dengan anak-anak yang menunggu jemputan. Kebanyakan yang dijemput sih anak-anak orang berada. Sampai kemudian ekor mataku melihat Dimas berdiri di sudut kanan gerbang sekolah bersama beberapa teman se-gengnya dari kelas lain. Geng anak orang-orang kaya. Mereka mengenakan jaket yang kelihatan mahal-mahal. Aku berjalan menunduk.
“Jadi ini malingnya, Dim?”
Kudengar suara dari sisi kananku. Aku diam saja mencoba tidak terpancing. Tak juga menoleh.
“Pantes sih ... kayaknya emang susah. Sepedanya aja bobrok gitu,” suara lain menimpali. Aku menahan diri benar-benar untuk tidak emosi. Tapi mendadak Elmo yang tengah menuntun sepeda Federalnya berhenti, menyerahkan sepeda itu kepada Satya, lalu berjalan cepat ke arah gerombolannya Dimas. Elmo melompat dan merangsek cepat, meraih kerah jaket salah satu anak itu lalu menonjok pipi kanannya dengan keras!
"Aduuuuh!" kudengar jeritan anak itu.
"Mampus!" kali ini suara Elmo.
Aku kaget setengah mati, tetapi tak mampu mencegah karena kejadiannya sangat cepat. Satya juga hanya bisa bengong sambil memegangi sepeda Elmo. Anak-anak perempuan yang berada di sekitar gerombolan gengnya Dimas menjerit-jerit ketakutan lalu berlarian menghindar. Suasana kacau, tapi tak ada yang mencoba melerai hingga Elmo menghentikan aksinya. Untung tak ada guru yang keluar.
Aku masih memegang sepedaku menatap ke arah Elmo. Dimas tampak takut dan menggeser posisinya menjauhi Elmo. Anehnya, tidak ada satu pun dari sekitar lima orang di sana yang menolong temannya dari hajaran Elmo. Mereka malah minggir, padahal aku sudah berpikir gawat nih, Elmo pasti habis dikeroyok. Ternyata tidak. Mereka tak ada nyali.