Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #12

Kalau Kamu Kaya, Semua Baik-Baik Saja Akhirnya

Hingga Sabtu jam pelajaran kedua, kursi di sebelahku kosong. Dimas tak datang ke sekolah pagi ini yang membuat banyak teman bertanya-tanya. Apakah Dimas takut datang ke sekolah setelah salah satu teman segengnya dihajar Elmo? Peristiwa Elmo menghajar gengnya Dimas kemarin menjadi gosip terhangat di seluruh sekolah hari ini. Sejak pagi kasak-kusuk beredar dan setiap Elmo melintas selalu menjadi pusat perhatian. Mereka lalu menghubungkan tidak masuknya Dimas dengan peristiwa kemarin. Anehnya, tidak ada panggilan dari sekolah bagi Elmo dan seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Beberapa teman sempat menanyakan ke aku soal peristiwa kemarin dan kaitannya dengan ketidakhadiran Dimas, tetapi aku tidak mau berspekulasi apapun. Ini nanti kalau aku berkomentar baik atau pun buruk akan tetap berpotensi memunculkan masalah baru.

“Apa bener Dimas mau pindah kelas?”

“Atau mungkin pindah sekolah?”

“Jadi sebenernya kamu yang ambil jam tangan Dimas bukan sih?”

Kalimat-kalimat serupa itu masih berkeliaran di sekelilingku dan aku selalu memilih diam tak menanggapinya. Ingat kata Bapak, jauhi masalah. Setiap ucapan kita bisa menjadi masalah baru. Maka kupilih diam. Sebal juga sebenarnya mendapatkan banyak pertanyaan seperti ini.

Elmo jadi “bintang” di sekolah hari ini. Tapi Elmo cuek saja. Bahkan dia dengan santainya wara-wiri di koridor depan kelas 2 C, kelas di mana geng Dimas berada. Tidak takut? Sepertinya tidak. Sebaliknya, kelihatannya sih gengnya Dimas yang takut dan tidak memunculkan batang hidungnya di depan kelas. Di sisi lain, Elmo dan Satya tak lagi membahas peristiwa kemarin, bahkan seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Mungkin karena kami bertiga sudah membahas tuntas kemarin. Tapi kulihat dari tadi Elmo senyam-senyum ke arahku, yang aku tidak tahu maksudnya apa.

Jam pelajaran kedua baru dimulai, Mendadak dari pintu kelas masuk Dimas. Seketika kelas terdiam. Semua mata memandang ke arah Dimas. Dimas dengan menunduk berjalan masuk ke kelas, menuju ke bangku di sampingku, lalu memasukkan tas ranselnya ke laci. Aku kaget mengetahui ternyata Dimas masuk sekolah.

“Kok ... baru datang, Dim?” tanyaku canggung. Aku hanya ingin memecahkan kebekuan di antara kami dan tidak mungkin hanya diam. Aku tidak akan peduli kalau aku bukan teman sebangkunya, tapi ini aku duduk di sebelahnya.

“Ada urusan di kantor guru tadi,” jawab Dimas pendek.

Saat itu jam pelajaran biologi, tetapi Pak Sunu guru biologi tak bisa masuk karena ada saudaranya yang meninggal, sehingga kami hanya diberi tugas untuk menyalin materi. “Pak Sunu nggak masuk, kita disuruh merangkum materi dari Bab VII sampai Bab IX,” kataku kepada Dimas. Anak itu mengangguk.

Aku sebenarnya tidak ingin menjadi seperti ini. Aku mengenal Dimas sejak lama, sejak kelas 1. Kami bukan orang asing satu sama lain. Dimas bahkan sempat menjadi "anggota geng bayangan" kami selain Ndaru. Awal-awal dulu pun Dimas lumayan nyambung dengan Elmo kalau sudah ngobrol soal komik Tiger Wong. Tetapi sejak beberapa bulan di akhir kelas 1, keduanya terlihat seperti berseberangan, khususnya karena Elmo kerap menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap Dimas yang mulai sering menyombongkan diri di depan teman-teman. Ketidaksukaannya Elmo semakin terlihat saat Dimas sering menyindir-nyindir aku terkait kemiskinanku. Aku juga heran sih, di jaman sekarang masak iya masih ada orang yang becandain kemiskinan orang lain. Tapi itulah Dimas. Kupikir dulu Dimas akan benar-benar bergabung bersama kami, menggenapi kami bertiga, saat Elmo mengusulkan Dimas ke Pak Parno tentang siapa yang akan ditempatkan di kelas 2 E selain aku, Elmo dan Satya. Ternyata justru begini jadinya. Hidup menjadi remaja ternyata tak mudah ya.

Lihat selengkapnya