Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #13

Apakah Setelah Kita Terpisah Kota, Aku Akan Berubah?

Aku, Elmo, Satya melalui kelas 2 dengan lancar. Persahabatanku dengan Elmo dan Satya seperti tak bakal ada akhir dan tak mampu dipisahkan setelah melalui banyak ujian. Di kelas 3 pun kami masih sekelas, sampai banyak yang bertanya apa kami nggak bosan bertiga mulu? Sayangnya, aku tidak bosan berteman dengan Elmo maupun Satya. Bahkan apabila salah satu dari kami tak muncul di sekolah, rasanya sangat kehilangan.

Masalahnya sekarang, kelas 3 juga hampir berakhir, artinya kami akan lulus SMP. Apakah kami bisa sekolah di SMA yang sama lagi? Bagaimana nasibku kalau tanpa Elmo? Nasib Satya? Secara kemampuan intelektualitas, kami hampir sama, tidak pinter juga tidak goblok-goblok banget. Kalau dilihat pertimbangan ini, kemungkinan besar bisa daftar satu sekolah yang sama. Itu sebenarnya harapanku saja. Sampai tiba-tiba Elmo berkata ....

“Tapi aku kayaknya akan sekolah di Semarang,” kata Elmo suatu hari, sekitar seminggu sebelum pelaksanaan ujian Ebtanas SMP. Aku dan Satya hanya terdiam. Aku tahu, perasaan Satya berkecamuk tak tentu seperti apa yang aku rasakan sekarang.

“Soalnya, Papah dan Mamahku kan rencana mau beli rumah aja di Semarang daripada bolak-balik Solo – Semarang kalau harus ngajar,” imbuh Elmo.

“Sudah pasti?” tanyaku kelu.

“Yah ... delapan puluh persenlah,” jawab Elmo.

"Yang dua puluh persen?" kejarku.

"Yang dua puluh persen, aku tinggal di Solo, tapi Mamah dan Papahku tinggal di Semarang. Aku sebenarnya nggak masalah, tapi Papah yang khawatir aku akan macem-macem kalau tanpa pengawasan mereka," jelas Elmo.

"Artinya, kamu belum bisa sepenuhnya menunjukkan ke Papahmu bahwa kamu anak yang bertanggung jawab," sahut Satya.

"Sok bijak!"sambar Elmo.

“Padahal aku berharap kita bertiga bisa sekolah SMA di Solo bersama-sama. Mungkin tidak SMA favorit ... SMA 5 aja misalnya. Aku nggak tahu gimana jadinya persahabatan kita bila kita pisah,” Satya sempat tercekat di tengah kalimatnya. Aku tertegun. Satya bukan anak yang biasa mencurahkan perasaannya sedemikian rupa. Bahkan aku pikir itu kalimat terpanjang yang diucapkannya dalam satu perkataan.

“Entahlah," Elmo memandangku dan Satya.

Kami terdiam beberapa saat tanpa memandang satu sama lain.

Lihat selengkapnya