“Aku, Elmo.”
“Aku ... aku ... aduh!!” kaki Elmo menginjak kaki Satya. Satya memang selalu lambat mencerna sesuatu.
“Aku, Satya ... gitu kan?" sahut Satya.
“Aku, Deka,” lanjutku cepat.
“Berjanji ....”
“Berjanji,” aku dan Satya mengikuti kalimat Elmo.
“Akan menjaga persahabatan ini ....”
“Akan menjaga persahabatan ini," ucapku dan Satya.
“Selamanya ....”
“Selamanya,” aku melirik ke Satya.
“Saling menjaga satu sama lain ....” Elmo berbicara dengan tegas.
“Saling menjaga satu sama lain ....”
“Kiranya Tuhan menjaga persahabatan ini. Amin.”
“Amiiiiin ....”
Elmo tersenyum lalu menyalami aku dan Satya. Kami lalu tertawa bersama-sama, yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu kami sedang mentertawakan apa. Elmo merasa ikrar ini perlu, meskipun terasa cringe, tapi dia berani menjamin kami bertiga akan mengingat momen ini suatu saat nanti, saat kami dewasa. Elmo dalam beberapa hal kulihat memang sedikit sentimentil, termasuk soal persahabatan kami. Dia memegang kendali dalam persahabatan kami, sering mengambil peran melindungi kami, menyelesaikan masalah-masalah kami. Kadang, aku merasa Elmo adalah kakak kami karena nyaris semua masalah dia bisa selesaikan padahal umurnya sebaya dengan kami. Atau jangan-jangan Elmo memalsukan umur? sebenarnya dia orang dewasa yang menyaru jadi anak SMP? Aku sering geli membayangkan itu.
Ikrar itu kami ucapkan setelah Maghrib, sepulang kami nonton The Three Musketeers. Seharian sejak pagi kami bersama-sama jalan, nonton bioskop dua kali, makan dua kali. Ibuk sempat mengkhawatirkan apakah Elmo dan Satya tidak dicari orangtuanya, karena meskipun umur kami sudah termasuk remaja, kami masih serupa anak-anak. Satya bilang, tidak apa-apa karena emaknya sudah tahu dia pergi dengan Elmo.