Kota Solo – 2010
“Pak Dharma, packing goodie bag sejauh ini sudah sekitar tujuh puluh persen. Tapi sudah jam 5 sore, apakah mau diselesaikan? Karena kalau mau lanjut, kena hitungan lembur nanti,” Raka pegawaiku yang aku suruh mengawasi pengerjaan goodie bag Telkomsel melaporkan progress pekerjaan.
“Lha anak-anak gimana? Coba tanyain. Kalau memang mau lanjut lembur, ya lembur aja, biar cepet selesai, besok tinggal kirim,” kataku. Aku memberikan opsi ini karena aku ingin memberi kesempatan anak buahku memilih. Percuma juga kalau kerja dipaksa, pasti hasilnya jelek.
“Sudah saya tanya anak-anak, hanya Asti yang tidak bisa lembur karena harus mengurus ibunya yang sakit. Jadi lembur saja ya, Pak?” Raka minta persetujuan.
“Iya, nggak apa-apa. Rinda suruh pulang nggak apa-apa. Aku juga bakal di sini kok menunggu kalian selesai. Oya, Ka ... tolong pesenin juga nasi ayam buat anak-anak. Istirahat dulu, baru nanti selepas Maghrib selesaikan pekerjaan.”
Raka mengangguk lalu minta izin keluar dari ruanganku. Raka adalah salah satu pegawai andalanku yang kupercaya untuk incharge di kantor, mengawasi proses produksi dan kadang-kadang membantuku untuk urusan kantor lainnya. Usahaku belumlah besar, pegawai tetapku hanya Raka sebagai tangan kananku, Sinta di bagian keuangan, serta Asti sebagai admin kantor dan handle sosial media merangkap costumer service, dan sering juga membantu di bagian produksi. Bukan, bukan aku mengeksploitasi, karena setiap tambahan beban pekerjaan di luar job desc-nya bukanlah kewajiban. Kalau pun menolak ya tidak apa-apa, kalau menerima aku kasih tambahan insetif. Di luar tiga orang itu, aku memiliki sekitar enam orang freelancer yang siap dipanggil untuk membantu pekerjaan kami, terutama packing. Mereka adalah anak-anak muda lulusan SMA yang belum punya pekerjaan tetap, yang tinggal di kampung belakang Ruko.
Oya, usahaku adalah pengadaan souvenir dan merchandise, dengan market utama kami adalah instansi baik negeri maupun swasta. Namun kami juga kerap menerima orderan dari perseorangan. Usaha ini kubangun dalam tiga tahun terakhir, belum besar namun progress-nya bagus, karena nyaris semua instansi pasti punya budget promosi. Kami menempati sebuah Ruko dua lantai, yang alhamdulillah sudah merupakan hak milik pribadi yang kubeli dengan uang tabungan hasil laba usaha. Lantai bawah kugunakan untuk display barang-barang produksi kami dan ruang menerima tamu serta resepsionis. Lantai atas kubagi untuk ruang meeting, ruang kecil bagian keuangan, ruangan kecil untuk sholat dan ruangan kecil untuk aku.
Ini adalah impianku dan istriku, memiliki usaha sendiri meskipun kecil. Aku dan istriku sama-sama bukan orang yang cocok menjadi pegawai kantoran meskipun kami berdua pernah beberapa tahun menjadi pegawai. Kami memilih untuk berwirausaha karena kami ingin membangun sendiri kemerdekaan kami. Kemerdekaan finansial, kemerdekaan untuk menentukan aktivitas apa yang cocok buat kami sehingga kami bisa menikmati hidup kami semaksimal mungkin. Oya, istriku memang bukan pegawaiku. Tapi dia berperan besar bagi operasional usahaku dengan mengelola promosi usahaku melalui sosial media dan website.
Aku dan istriku telah menikah sekitar empat tahun, namun kami belum dikaruniai anak. Apapun hidupku, aku bersyukur sepenuh hati. Aku tahu bagaimana rasanya hidup sejak kecil bergelut dengan kemiskinan. Benar-benar susah yang kalau aku ceritakan ke orang lain, mereka selalu tidak percaya. Masak iya sesusah itu? Biasanya begitu. Jadi karena sudah pernah mengalami yang namanya susah stadium akhir, maka apa yang kudapat sekarang kurasakan sebagai berkah dan kenikmatan luar biasa dari Allah.
Telepon mejaku berbunyi,
“Bapak ada teman Bapak di line 2 ya ....” suara Raka dari ujung telepon.
Temanku? Siapa ya? Atau Pak Hendra dari Telkomsel yang ingin mengecek progress pengerjaan goodie bag? Tapi kan tadi Pak Hendra sudah menghubungi aku lewat chat Whatsapp.
“Selamat sore, Dharma di sini. Dengan siapa?”