Kupandangi Elmo lekat-lekat, dari atas sampai bawah, sementara dia sibuk bercerita. Elmo, mungkin tidak seputih dulu kulitnya, tetapi masih cukup bersih. Rambutnya agak acak-acakan, dengan kulit wajah terlihat kering, tetapi masih kelihatan keren. Badannya tak menggemuk, beda dengan badanku yang lebih berisi. Memakai kaos oblong hitam, celana jeans model slim fit, ditambah sneakers membalut kakinya.
Mataku tertuju pada gelang berbahan tali paracord warna hijau army di pergelangan tangan kirinya yang bersanding dengan jam tangan berkalep hitam. Dia masih memakai itu! Aku terdiam. Itu adalah gelang buatan Elmo, tiga buah yang dua dibagi ke aku dan Satya. Ya Tuhan, dia masih memakainya sementara aku sudah lupa di mana gelang itu kusimpan.
Elmo menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, lalu menghembuskan petlahan. Pandangannya beralih ke jalan, menyapu dari ujung ke ujung sejauh mata memandang. Kami duduk di teras sebuah kedai kopi di daerah Laweyan. Elmo mencecek rokoknya, yang membuat api di ujung rokok mati.
“Elu nyimak cerita gue tadi kan?” tanya Elmo seperti ngetes. Aku tak berhasil membuatnya kembali menggunakan “aku”, lalu kubiarkan dia tetap ber-“elu gue”. Mungkin dia terlalu lama hidup di Jakarta sehingga susah menghilangkan "elu gue"-nya itu.
“Tentu aku menyimakmu,” sambarku.
“Tapi dari tadi elu matanya kemana-mana ....” Elmo ngakak.
“Kamu bercerita, sejak lulus SMP kamu sekolah SMA di Semarang dan sejak itu jarang sekali ke Solo. Hari-harimu sibuk dengan les ini itu yang didaftarkan Mamahmu, sibuk basket sampai mewakili sekolah dalam berbagai kompetisi, lalu lulus dan kuliah di Gunadarma Jakarta jurusan Komunikasi, nikah dengan mantan pacar SMA-mu yang kemudian jadi pacarmu lagi bertahun-tahun, sebelum kemudian kau pinang ....” cerocosku agak kesal.
“Wooow ... itu keren banget hahaha ....” Elmo memotong kalimatku. Tangannya menyibakkan rambut yang jatuh ke dahi.
“Apanya yang keren?” tanyaku.
“Gimana elu bisa secara detil mengingat semua cerita gue, tetapi di sisi lain elu sedang profiling gue yang sekarang. Menguliti penampilan gue dari kaki sampai ubun-ubun,” Elmo ngakak di ujung kalimat. Dia seperti bisa menebak apa yang ada di benakku.
“Kamu nggak banyak berubah ... hanya lebih tua aja. Tapi kurusnya masih. Kayaknya kudu digemukin dikit bakal lebih cakep dan seger,” kataku asal. Elmo nyengir.
"Elu banyak berubah. Elu sekarang keren, badan nggak kurus kayak kurang makan lagi. Rapi, wangi ... kemeja kotak-kotak hitam itu cocok banget di elu. Hidup elu berubah drastis ya ... punya usaha yang bagus, mobil sendiri walau cuma Avanza hahaha ... ada sopir lagi. Elu hebat, gue bangga banget sama elu," puji Elmo.
Keseruput kopiku. Perasaanku berkecamuk tak tentu. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku tanyakan pada Elmo, tetapi aku tidak tahu apakah ini akan berguna atau tidak selain hanya menjawab rasa penasaran. Khawatirku justru akan membuat masalah.