Aku belum mampu menjawab permintaan Satya yang disampaikan lewat Elmo, karena sejujurnya aku belum begitu paham sebenarnya ada apa dengan Satya. Menitipkan anak tidak semudah itu, apalagi si anak sudah berumur 5 tahun. Sempat terlintas bahwa ini mungkin ide yang bagus, untuk memancing istriku biar bisa hamil.
Kepercayaan orangtua kan begitu. Kalau ada pasangan suami istri yang tak kunjung dikaruniai anak, pancing dulu dengan mengasuh anak orang lain atau mengadopsi anak. Di sisi lain, kehadiran sosok anak di keluargaku mungkin membuat rumah tanggaku akan lebih bahagia.
Kadang perasaan kosong itu menyergap, saat aku berhasil memperoleh orderan besar, pulang ke rumah, tapi tidak tahu hasil kerja kerasku untuk siapa. Aku dan istriku sudah memiliki semuanya, cukup. Kadang hal sederhana yang kulihat dari orang lain seperti membelikan sepatu anak, mendaftarkan anak ke sekolah baru, antarjemput sekolah anak, menjadi hal-hal yang kami impikan. Aku rela kerja keras untuk itu. Tetapi lagi-lagi itu hanya impian karena hingga sekarang aku belum dikaruniai anak.
Hari ini Elmo akan datang ke rumahku untuk menceritakan hal penting terkait Satya. Pembicaraan kami di kedai kopi kemarin terpotong, karena entah kenapa Elmo mendadak seperti orang kebingungan, celingukan, lalu mengajak aku cabut dari kedai kopi itu. Elmo seperti tidak nyaman kemarin itu. Elmo hanya bilang, hari ini ingin ke rumahku.
Bertemu dengan Elmo seperti memunculkan tanda tanya yang super banyak. Bahkan sampai pertemuan pertama selesai, aku tidak tahu apa pekerjaan Elmo. Dia bilang punya usaha, tapi nggak bercerita lebih lanjut. Mungkin hari ini dia akan membuka semuanya.
“Aku masakin kakap goreng sama sambal tomat, Mas, seperti permintaanmu. Sudah kusiapin semua di meja makan,” ujar Nia, istriku.
“Kamu mau langsung pergi?”
“Nggak, Mas ... masih nunggu jemputan Mbak Elsa kok. Mungkin masih bisa bertemu dengan Mas Elmo sebelum aku pergi,” jawabnya. Nia hari ini ada janjian dengan teman-teman pengajiannya untuk menengok salah seorang temannya yang sedang sakit.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku beranjak dan melihat ke arah luar dari jendela kaca. Tampak Elmo keluar dari mobil, lalu menuju ke gerbang rumahku. Aku keluar menyambutnya. Elmo tampak rapi dengan kemeja kotak-kotak biru dongker dipadu jeans hitam. Gayanya masih seperti anak muda, lengkap dengan sneakers.
“Masuk, Mo,” sambutku.
“Wah, hebat ya rumah lu.”
“Kecil ini ....”
“Kecil tapi desainnya keren. Rapi bersih juga. Bener-bener nggak nyangka lho, Ka ....” Elmo terus nyerocos. Rumahku meskipun kecil memang kudesain ala-ala industrial dengan lebih banyak ruang terbuka.
“Susah nggak nyari alamat sini?”
“Nggak sih. Tapi tadi sempet salah masuk jalan yang satu blok dari sini. Gue masuk ya?” Elmo melepaskan sepatu dan langsung masuk ke dalam. Hal yang pertama dia lakukan adalah memandang seluruh sudut ruangan depan rumahku, sebelum kemudian istriku muncul.
“Mas Elmo ya? Selamat datang di rumah kami, Mas. Ya beginilah rumahnya, berantakan,” istriku dengan basa-basinya.
“Mbak Nia? Salam kenal. Gue teman lamanya, Deka ... eh Dharma,” Elmo mengulurkan tangan dengan senyum merekah.
“Mas Elmo, saya mohon maaf nih, saya tidak bisa menemani makan siang, soalnya sudah ada janjian mau menjenguk teman yang sakit. Mohon maaf ya, Mas ... tadi saya sudah masakin, semoga suka ....” ujar istriku lagi. Nia sudah pernah kuceritakan tentang Elmo dan dia sangat bersemangat untuk tahu sosok Elmo sebenarnya seperti apa.