Nia memandangku seolah tak percaya. Beberapa kali dia menerawang, seperti tengah meyakinkan diri apakah ceritaku nyata atau tidak. Ini bukan persoalan sederhana, aku tahu benar itu. Satya ditangkap polisi karena narkoba dan ada anak yang harus dihidupi karena mengandalkan emaknya tidak mungkin, mengingat emaknya sudah tua.
“Kata Elmo, kasus Satya sudah dilimpahkan dari Polres Rokan Hilir ke Polda Metro Jaya karena nilai narkoba yang dia bawa sangat besar, lebih dari 100 kg ganja,” kataku.
“Aduuh!”
“Aku juga kaget. Satya bakal dijerat Undang-Undang Narkotika. Kata Elmo sebenarnya di pasal itu hukuman minimal 6 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. Tapi ....”
“Kenapa?” Nia tak sabar.
“Karena paket ganja yang dibawa Satya ini jumlahnya besar, dia terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup.”
“Ya Tuhan.”
Kami terdiam. Istriku memandangku seperti tengah memikirkan sesuatu. Aku menunggu reaksinya. "Elmo seharusnya bertanggung jawab. Karena ini semua kan kepentingannya Elmo dan Satya hanya pegawainya Elmo, tidak tahu apa-apa. Kenapa kamu tidak tanya Elmo tentang hal itu, Mas?”
Aku menghela napas, “Sudah.”
“Jawabnya?”
“Muter-muter nggak jelas. Dia bilang, kalau mereka berdua masuk penjara, dua-duanya tidak akan tertolong. Elmo juga khawatir ini akan menghancurkan bisnis istrinya karena reseller-nya ternyata ada hubungan dengan bandar narkoba. Dia juga mengkhawatirkan anak-anaknya yang masih butuh dirinya,” kataku.
“Bagaimana dengan anaknya Satya? Apakah dia tidak butuh Satya? Bagaimana dengan ibunya Satya? Huh ... nggak nyangka kalau Elmo seegois itu.”
Aku terdiam. Tidak tahu harus melakukan apa karena situasi ini benar-benar di luar perkiraanku. Bertahun-tahun tidak bertemu, Elmo tiba-tiba datang dengan membawa masalah. Bukan masalah sepele, bahkan tak tanggung-tanggung segede gunung!
“Kenapa dia harus memintamu untuk mengurus anak Satya? Kenapa dia tidak mengambil tanggung jawab itu sebagai balasan telah menyeret Satya ke masalahnya?” tanya istriku lagi.
“Aku tidak tahu. Sejujurnya aku tidak tahu. Dia hanya bilang, itu pesan dari Satya.”
“Sekarang apa yang akan kamu lakukan, Mas?”
“Lusa aku akan berangkat ke Jakarta, tanpa Elmo. Aku akan menemui Satya. Tapi aku tidak akan memberitahu Elmo.”
Nia memandangku, seperti agak khawatir. Mungkin dia khawatir aku akan terseret dalam persoalan ini, yang bukan persoalan sepele. Aku memandangi Nia dan mengangguk-angguk, untuk memastikan bahwa aku akan baik-baik saja.