Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #20

Siapa yang Berbohong

Tak ada jaminan di dunia ini bahwa yang baik akan selamanya baik, yang jahat akan selamanya jahat. Dimas adalah bukti bahwa temanku yang jahat kepadaku saat SMP ini sekarang berubah drastis menjadi sosok yang baik banget kepadaku. Lalu di sisi lain, Elmo...entahlah, aku belum bisa mengatakan dia yang super baik kepadaku dan Satya menjadi sosok yang jahat. Aku belum bisa memastikan apakah dia berubah jahat.

Aku bertemu untuk kedua kalinya dengan Dimas hari Kamis kemarin, di kantornya yang berada di Jalan Yos Sudarso. Hanya selisih tiga hari sejak aku mengunjungi kantornya pertama kali, Dimas sudah mendapatkan informasi yang aku butuhkan. Dimas membenarkan ada nama Satya Purnama di kasus penyelundupan ganja skala besar yang ditangani Polda Metro Jaya. Satya saat ini masih ditahan di ruang tahanan Polda Metro Jaya sambil terus menunggu pengembangan kasus. Menurut Dimas, Satya sudah berstatus tersangka setelah melalui penyidikan oleh pihak kepolisian dan bukti-bukti yang ditemukan.

“Apakah aku bisa menemui Satya?”

“Aku bisa atur. Aku ada kenalan di sana,” janji Dimas.

Minggu sore aku bertolak ke Jakarta dengan pesawat. Aku juga tidak tahu kenapa aku begitu memikirkan persoalan ini secara serius, mengingat aku, Elmo dan Satya sudah lama tidak berkomunikasi. Nia, istriku, yang berkali-kali mengingatkan apakah semua yang aku lakukan akan sepadan? Apakah justru tidak membahayakanku karena bisa saja aku dituduh komplotan. Aku berulang-ulang menenangkan istriku bahwa itu tidak akan terjadi, selain aku juga mengatakan bahwa aku sudah ada backup secara hukum oleh Dimas. Yang terakhir ini tidak sepenuhnya benar, karena Dimas hanya memberikan masukan terkait hukum.

Kasus ini membuatku mulai tidak fokus pada pekerjaan dan semua pekerjaan kupasrahkan kepada Raka, asistenku. Ada saat di mana kedatangan Elmo dan soal Satya ini melemparkanku ke masa-masa SMP kami. Mengingatkan aku pada masa-masa suram hidupku, namun juga di saat sama mengingatkan masa-masa bahagiaku. Dorongan kuat nostalgia masa lalu inilah yang membuatku semakin yakin untuk mencari kejelasan soal kasus ini, karena siapa tahu aku bisa menolong Satya dan Elmo.

Aku sangat ingin apa yang dikatakan Elmo benar dan dia tidak menjadi bagian dari komplotan pengedar narkoba seperti kecurigaanku. Aku juga sangat ingin meyakini bahwa Satya hanya berada di waktu yang salah. Aku tidak ingin Satya menghabiskan sisa umurnya dengan membusuk di penjara atau bahkan terancam hukuman mati, sementara anak semata wayangnya kehilangan sosok ayah yang menjadi pegangan hidupnya.

Semua sudah diurus Dimas. Melalui koneksinya, aku dijemput teman Dimas di hotel, kemudian diantar ke Polda Metro Jaya. Aku yakin, tanpa bantuan Dimas, aku tidak mungkin bisa sampai sejauh ini.

Aku berada di sebuah ruangan kecil, sebelum kemudian seorang laki-laki dengan baju tahanan warna oranye masuk ke ruangan diantar seorang petugas. Laki-laki itu berdiri di depanku yang masih terduduk, memandangku lama, sebelum kemudian tersedu menghambur ke arahku dengan tangan masih terborgol. Kepalanya bersandar di bahu kiriku beberapa saat di sela tangisnya. Sampai kemudian dia bisa menenangkan diri, baru kami bisa berkomunikasi.

“Apa kabar kamu?” tanyaku. Aku terenyuh pada kondisi Satya. Terakhir aku bertemu dengannya, dia masih terlihat sama seperti saat kami bersahabat di SMP. Tubuh gempalnya, rambut cepaknya, juga kulit hitamnya. Sekarang dia terlihat kurus, dengan wajah kuyu dan sedikit pucat.

Lihat selengkapnya