Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #21

Nguda Rasa

“Kamu tahu, Ka ... aku dulu sangat membenci Elmo. Aku juga membencimu dan Satya karena kalian seperti jongosnya Elmo. Tapi kebencianku kepada Elmo, berlipat dibanding kepada kalian.”

Aku terdiam di sisi Dimas yang berbicara sambil menyetir mobilnya. Aku akan mendengarkan semuanya sampai tuntas dan tidak akan menginterupsinya, apapun kalimat dan kata-kata yang dipilihnya, termasuk soal "jongos" itu. Banyak hal yang harus diluapkan Dimas supaya dia bisa move on.

“Aku membenci Elmo karena dia sering membuatku malu di depan teman-teman, saat aku pamer barang baru. Aku sebenarnya bukan orang sombong. Orangtuaku tidak pernah mengajariku sombong. Tapi, ini naluriah banget ... saat kita punya barang baru kita merasa bangga. Lagian kita anak kecil.”

Aku melirik ke Dimas.

“Okelah, itu juga sombong. Sombong yang tipis-tipis ... atau whatever. Tapi sikap Elmo menjatuhkanku dengan kalimatnya, membuat aku malu. Mungkin berbeda kalau yang ngomong kamu ... tapi Elmo? Anak-anak tahu apa yang dikatakan Elmo benar, karena dia orang kaya ... jauh lebih kaya daripada aku dan dia ngerti semua soal barang-barang yang aku pamerin.”

Aku mengangguk-angguk. Tak tahu apakah Dimas melihat responsku itu.

“Itulah kenapa aku pengen keluar dari circle kalian saat itu. Salah satunya dengan pindah tempat duduk. Sejujurnya, aku tidak masalah duduk sebangku sama kamu. Kalau dulu aku bilang ini itu, cuma buat alasan supaya aku bisa pindah. Termasuk kejahatanku yang memfitnah kamu mencuri jam tanganku. Aku hanya punya masalah dengan Elmo yang sepertinya selalu mengawasi kamu dan melindungi kamu. Dia yang duduk di depan kita, tiba-tiba saja bisa nylemong membantah omonganku saat berbicara denganmu. Dia sangat protektif terhadap kamu ... dan omongannya selalu tajam ke aku,” kalimat Dimas menggantung.

Aku terkesiap, tapi mencoba mengontrol diri supaya tidak terlihat terkejut. Cara Dimas bercerita seperti meluapkan amarah yang terbendung lama. Sangat serius dengan kata-katanya dengan tone suara berat dan ... serius, iya serius. Dimas seperti sedang nguda rasa, istilah bahasa Jawa yang berarti mengurai rasa yang selama ini membebaninya. Sesakit itukah hatinya?

“Kamu kok diem?”

Aku tergeragap, sebelum kemudian mengerti bahwa Dimas telah selesai dengan curhatannya. “Sebelumnya, aku minta maaf ke kamu, kalau aku pernah berbuat salah. Situasi kita dulu memang aneh. Kita satu bangku, tetapi seperti ada sekat tebal di tengah tempat duduk kita. Aku tidak mengira kalau kamu sesakit hati itu kepada Elmo. Semoga sekarang tidak lagi,” kataku.

“Dulu, aku butuh beberapa waktu untuk move on. Tapi sebenarnya itu sudah selesai waktu SMA dan aku punya teman-teman baru. Kalau sekarang aku bercerita ke kamu, ini hanya sekadar supaya kamu tahu saja, bukan masalah yang kupikirkan lagi,” ujar Dimas.

“Oya, maaf ... itu nanti ke kiri, ada gapura perumahan masuk ke kanan,” aku mengarahkan mobil Dimas. Hari ini Dimas mengantarku pulang setelah tadi kami bertemu. Mobilku digunakan untuk mengirim barang sehingga tidak bisa kupakai. Sebenarnya aku sudah memutuskan untuk naik Gocar, tetapi Dimas memaksa mengantarku pulang. Mungkin alasan sebenarnya dia ingin curhat, menyelesaikan apa yang harusnya sudah selesai sejak dulu.

Lihat selengkapnya