Pada akhirnya aku seperti ketagihan pada kasus ini. Elmo seperti menyodorkan satu teka-teki kepadaku, lalu pergi begitu saja, membiarkanku terjerat dalam persoalan yang aku harus mencari solusinya. Padahal ini sama sekali bukan soal aku.
Hari ini aku kembali bertemu Dimas untuk membahas persoalan ini. Kami berada di ruang kerja Dimas. Dimas tampak serius menulis sesuatu di whiteboard, mencoba menguliti fakta-fakta psikologis yang disampaikan Satya maupun Elmo. Kami berdua sudah terjebak di ruangan ini hampir 45 menit. Dia menuliskan semua rentetan perjalanan Elmo dan Satya berdasar ceritaku, dengan setiap titik mengandung pointer-pointer berisi cerita yang penting. Hingga di titik Bagan Batu, Dimas memberikan tanda tanya pada titik warung sekitar 300 meter dari SPBU di mana Satya tertangkap razia.
“Kenapa Elmo turun di sini?”
Aku terdiam. Seperti seorang murid yang tengah mendapatkan penjelasan dari gurunya.
“Jarak 300 meter adalah jarak yang jauh untuk berjalan kaki. Oke taruhlah dia pengen menggerakkan kakinya atau badannya, menghilangkan penat setelah sekian lama berada di dalam mobil dalam perjalanan yang cukup jauh. Tapi, itu pun sebenarnya bisa dilakukan saat tiba di SPBU, sambil istirahat, sambil membersihkan diri, toilet break dan lain sebagainya.”
“Dia bukannya ingin beli rokok?” kataku setengah bertanya. Hal itu tidak mungkin dilakukan di SPBU. Dimas terdiam. Jemarinya mempermainkan spidol hitam. Buntu.
“Kenapa tidak meminta Satya berhenti sebentar kemudian menunggu dia beli rokok di warung? Berapa lama sih waktu yang diperlukan untuk membeli rokok? Kan nggak lama ... dua tiga menit juga kelar ah.”
“Hmmm ....”
“Pertanyaan berikutnya, kan mereka sampai di Bagan Batu dipandu sebuah mobil, di manakah mobil pemandu itu berada saat Elmo berhenti atau saat Satya dibawa polisi? Kalau tertangkap, berarti mereka gagal memandu Satya dan Elmo yang merupakan tugas mereka.”
Aku mencatat pertanyaan Dimas itu, “Aku lupa menanyakan itu. Harus kucatat, siapa tahu bisa kutanyakan kepada Satya kalau aku punya kesempatan bertemu dengannya lagi.”
Dimas terdiam, tangannya lalu mencoret-coret lagi, “Kalau memang Elmo tidak tahu apa-apa, maka dia akan mendatangi Satya, bukannya lari menghindar. Ini sudah jelas dia memiliki rasa bersalah atau melakukan sesuatu yang salah. Kamu tidak akan takut atau lari pada sesuatu bila kamu benar atau tidak berbuat salah.”
“Dan soal ...”
“Soal handphone kenapa harus ada handphone khusus untuk komunikasi antara Satya dengan Elmo? Biar nggak terlacak atau gimana?” Dimas memotong dua kata yang baru saja aku ucapkan.
“Dan di mana Satya membuang handphone itu saat tahu ada razia polisi?” tanyaku.