Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #23

Senoktah Harapan

“Aku ada acara keluarga di Manggarai. Kebetulan kakak iparku melahirkan. Mumpung aku masih di Jakarta, ayok ketemu,” tawarku. Terdengar suara batuk, kemudian dehem, sebelum jawaban dari ujung telepon.

“Okelah...tapi agak sorean ya...sekitar jam empat gitu. Ada rumah makan Medan yang enak di Gandaria, ketemu di sana aja ya? Namanya Kongkow Coffee and Eatery,” ujar suara di seberang.

“Oke. Kongkow Coffee and Eatery ya...ntar aku googling deh. Met ketemu nanti!” kemudian kututup telepon. Untung ngajak ketemuannya sore, jadi tidak menganggu acaraku siang nanti.

Aku berbohong pada Elmo bahwa aku ada acara keluarga di Manggarai. Aku sebenarnya tidak pernah punya saudara di Jakarta. Jadi sekarang aku harus memulai menyusun kebohongan tentang siapa keluargaku dan di Manggarai bagian mana dia tinggal. Kuyakin ini akan ditanyakan Elmo saat basa-basi nanti. Nama Manggarai pun kutemukan di google. Aku mencari nama kawasan yang sekiranya berada di Jakarta Selatan, mengingat urusanku di Polda Metro Jaya juga di Jakarta Selatan.

“Mas Dharma, ayo silakan...” Pak Danu, relasinya Dimas mempersilakan aku masuk ke sebuah ruangan. Ini ruangan yang berbeda dengan saat pertama kali aku bertemu Satya. Aku sejujurnya tidak tahu persisnya aku berada di bagian mana. Dari tadi aku juga cuma ngintil sama Pak Danu yang menjemputku sejak aku tiba di Bandara Soekarno Hatta.

“Silakan duduk dulu,” Pak Danu mempersilakan aku, sebelum kemudian lelaki tambun itu keluar ruangan. Ruangan tempat aku berada sekarang alhamdulillah ber-AC, membuatku lega setelah sebelumnya panas Jakarta terik menyengat kulitku.

Pintu dibuka. Lelaki yang kukenal masuk. Berbaju oranye, didampingi seorang petugas kepolisian. Tangan lelaki itu diborgol. Wajahnya masih sayu dan pucat seperti saat aku bertemu dengannya dua minggu lalu. Dia lalu duduk menghadapiku. Tidak ada sekat di antara kami, hanya meja besar dan aku duduk di seberang lelaki itu, berhadapan.

“Kamu masih sakit?”

Dari menunduk, lelaki itu menengadahkan wajahnya. Ada lebam di tulang pipinya, sedikit hitam, tapi tak terlalu parah. Dia menarik dua ujung bibirnya, tersenyum. Aku enggan bertanya soal lebam itu, karena memang waktuku tak banyak.

“Maag-ku sering kumat...sudah diobatin, tapi masih sering kambuh. Makan juga nggak enak,” ujarnya.

“Sat, kamu masih ingat nggak dulu? Kalau kita main, terus kamu mengeluh maag kambuh, kamu sering makan singkong. Lalu kita nyari ke pasar atau ke kebun, nyuri singkong kita bakar atau rebus. Inget? Habis itu biasanya enakan perutmu.”

Satya tersenyum mengangguk.

“Minta dong singkong. Atau nanti coba aku carikan ya?”

“Udah, nggak usah repot.”

“Nggak repot kok. Lagian bahaya juga kalau perutmu nggak kau isi apa-apa,” sambarku. Satya diam, sudah tidak membantah lagi.

“Jadi...apakah kamu sudah ketemu Emak dan anakku?” tanya Satya, to the point yang membuatku kaget. Hampir dua minggu ini sejak pertemuan pertama kami, aku belum sekalipun mengunjungi Emak dan anaknya Satya.

Aku menggeleng lemah, “Maaf...aku lupa. Aku sibuk memikirkan tentang kasusmu ini sampai lupa kau berpesan kepadaku untuk menemui Emak dan anakmu. Aku berjanji setelah dari Jakarta ini akan ke rumahmu di Solo,” ucapku.

“Ada apa kamu ke sini lagi? Bukannya kamu harus kerja? Nggak buang-buang duit?” Satya memberondongku dengan sejumlah pertanyaan.

Lihat selengkapnya