Saat aku tiba di Kongkow Coffee and Eatery, kulihat Elmo sudah duduk di kursi luar, sebuah kursi rotan dengan rangka besinya berwarna biru benhur. Aku langsung meraih sandaran kursi di depannya, kutarik kursi itu lalu duduk dan mencoba menyamankan diri.
“Sudah lama?”
“Belum. Baru sekitar ....”
“Satu perokokan ya?” sahutku memandang asbak yang menyisakan satu potongan kecil rokok kretek. Elmo tersenyum.
“Oya, gue sudah laper nih. Jadi ini sebenarnya kafe langganan gue. Makanan khas Medan. Lu musti cobain Mi Gomak-nya. Wuenaaak. Gue pesenenin ya? Minumnya di udara panas-panas gini paling enak es lychee yakult. Tapi gue tetep kopi,” Elmo ngeloyor masuk ke dalam kafe tanpa sempat aku mengiyakan makanan dan minuman rekomendasinya.
Aku pasrah aja. Kuedarkan pandangan ke situasi kafe yang kecil bersih dengan dinding perpaduan warna putih dan biru benhur. Lucu dan nyaman. Satu hal yang aku suka dari tempat ini, tak padat dengan pembeli.
“Udah gue pesenin. By the way ... masih keukeuh nggak ngerokok?” Elmo menarik satu batang kretek dari bungkusnya, meraih korek gas, dan hanya dalam hitungan sekian detik rokok itu sudah nangkring di bibirnya dengan kondisi menyala. Aku cuma tersenyum kecil.
“Jadi ada apa nih elu ke Jakarta?” Elmo memicingkan mata menunggu jawaban.
“Sudah kubilang, kakak iparku melahirkan. Isteriku pengen nengok bayinya. Ya udah sekalian aja aku liburan. Terakhir aku ke Jakarta 2008 kalau nggak salah,” kataku hati-hati khawatir selip lidah.
“Manggarainya mana sih? Soalnya gue sering tuh ke Manggarai,” sambar Elmo santai. Matiih, aku sedikit gelagapan. Otakku berputar cepat.
“Eh ... itu ... anuh ... kompleks Angkatan Laut ... tahu kan? Aku nggak terlalu ngerti juga sih, orang di Stasiun Gambir langsung dijemput keluarga isteri,” jawabku asal.
Elmo mangut-mangut yang aku berharap bukan karena dia curiga. Untuk mengalihkan fokus, aku segera mencari topik lain, “Ehmm ... soal Satya, itu gimana jadinya?” tanyaku.
“Udah ... udah beres diatur. Gue udah menghubungi satu lawyer supaya, minimal berkurang hukumannya. Jadi ya, sekarang seperti yang gue bilang ke elu, mikirin anak dan Emaknya Satya aja,” Elmo menanggapi dengan santai, seolah itu masalah sepele.
“Tapi soal anak yang kamu bilang mau dititipin ke aku, itu bukan soal sepele lho, Mo.”
“I know ... Ka. Tapi gue kan tau bener elu. Elu belum punya anak, usaha cukup mapan. Gue pikir kalian butuh seorang anak untuk mancing supaya istri elu hamil. Taruhlah kalau tidak bisa juga, setidaknya rumah elu semakin menyenangkan dengan kehadiran anaknya Satya,” lagi-lagi Elmo berkata dengan santai, seolah mengasuh anak orang lain semudah membalikkan telapak tangan.
“Terus Emaknya Satya kamu taruh di mana?”
Elmo ngakak mendengar pertanyaanku, “Heh ... Emaknya Satya ya biar tinggal di rumahnya Satya di Solo. Hanya anaknya aja yang elu urusin. Udah jangan khawatir, soal biaya hidup, gue yang nanggung. Ini sebagai bentuk pertanggungjawaban gue karena tak sengaja menjerumuskan Satya,” Elmo berapi-api.
Tak sengaja menjerumuskan Satya ya? Batinku. Sejujurnya aku mulai ragu pada Elmo. Apalagi gestur dan omongannya menghadapi masalah ini, seolah menganggap ini adalah hal sepele, membuatku semakin tidak suka. Kok gampang bener ya, padahal Satya menghadapi ancaman hukuman berat yang bukan tidak mungkin adalah hukuman mati.
Obrolan kami terjeda pelayan kafe yang menyajikan pesanan kami. Dua mangkok Mie Gomak, segelas es lychee yakult dan satu kopi hitam. Sore itu udara sangat panas, yang membuatku tak tahan untuk segera menyeruput es lychee yakult.