Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #25

Dharma Junior

Kami menyusuri koridor sekolah yang dulu kelas-kelas di sepanjang koridor itu adalah untuk ruang-ruang kelas 2. Dari ujung terdepan kelas 2 A, hingga paling ujung terdalam adalah kelas 2 E, tempat kami dulu belajar. Sekarang kelas-kelas itu digunakan untuk kelas 1 terlihat dari tulisan di papan kecil di atas pintu kelas. Dulu kelas 1 berada di sisi timur, yang merupakan bangunan lama.

“Tak banyak berubah,” gumam Dimas.

“Iya, tak banyak berubah, kecuali di sisi utara, bangunan baru. Katanya tahun depan akan ada renovasi besar-besaran, mau ditingkat,” ujarku.

“Oya? Tahu dari mana?”

“Baca koran,” sahutku.

Kami melangkah hingga sampai di ujung, kelas 2 E. Dimas terdiam lalu tersenyum, “Aku inget banget terakhir kali aku masuk kelas ini dengan perasaan campur aduk antara marah dan malu. Aku marah banget sama kamu, sangat marah, tapi di saat yang sama aku harus minta maaf ke kamu di hadapan teman-teman sekelas. Malunya bukan kepalang,” ujar Dimas.

Aku tertawa. Kutepuk-tepuk punggung Dimas, “Sudahlah, itu masa lalu.”

“Oya, satu hal yang sampai sekarang aku masih heran, kenapa kamu, Elmo dan Satya bisa sekelas lagi ya saat naik ke kelas 2 ? Padahal yang lain disebar ke berbagai kelas. Kalian kok bisa kompak satu kelas lagi. Terus, kenapa kemudian nyempil aku di antara kalian?” Dimas memandangku dengan curiga.

Aku tersenyum. Itu adalah pertanyaan yang mudah untuk di jawab.

“Ya emang itu sudah diatur sama Pak Parno sebagai wali kelas 2 E. Aku bahkan tahu beberapa hari sebelumnya. Selain kami bertiga, kandidatnya antara kamu dan Ndaru yang akan dimasukkan ke kelas 2 E. Ternyata nama kamu yang muncul.”

“Hah?”

“Ada pesta di hari Minggu di rumah Elmo. Aku ingat itu adalah pesta ulang tahun mamahnya Elmo sekaligus pesta syukuran karena Elmo naik kelas. Banyak kolega mamahnya Elmo yang diundang. Ada Pak Parno di sana, karena beliau adalah guru les matematika Elmo yang juga guru les kakak Elmo, si Brian. Pak Parno sudah cukup dekat dengan keluarga Elmo. Waktu itu di depan kami, mamahnya Elmo meminta Pak Parno tidak memisahkan kami di kelas 2. Tapi persoalannya kami kan bertiga nih, aku misalnya duduk dengan Elmo, Satya dengan siapa? Atau bisa juga Satya dengan Elmo aku duduk sama siapa? Nggak mau ada anak baru maka kemudian diusulkan nama kamu dan Ndaru.”

“Gila ya, urusan sekolah bisa diatur-atur di rumah kayak gitu. Dasar orang kaya ya. Siapa yang mengusulkan namaku masuk kelas 2 E?” kejar Dimas.

“Aku lupa persisnya. Tetapi ada nama kamu dan Ndaru yang muncul.”

“Padahal aku pengen banget masuk kelas 2 C. Di sana banyak teman-teman baikku. Terus kenapa memilih aku?”

“Elmo yang memilihmu, seingatku ya.”

“Serius?”

“Iya, serius.”

“Bukannya dia nggak suka sama aku? Kamu kan tahu rivalitasku dengan Elmo sangat tinggi. Aku nggak tahu ya sebenarnya dia ke aku gimana, tapi dari sisi aku ... kalau ketemu dia vibes-nya nggak enak. Terus kalau aku ngobrol dengan kamu misalnya, kayaknya dia sering nguping deh. Begitu aku melakukan satu kesalahan atau nyinggung kamu, bukan kamu yang protes atau negur, eh malah dia,” ujar Dimas sewot. Aku tersenyum mendengarnya. Apa yang dikatakan Dimas benar. Tapi sesungguhnya aku tidak pernah melihat Elmo secara serius membicarakan perasaan tidak sukanya ke Dimas. Jadi biasa-biasa aja.

“Nggak tahu juga. Tapi kupikir dia nggak benci kok sama kamu. Hanya kadang gedek aja lihat kamu. Kata dia, kamu sering sombong hahahaha. Tapi bukankah kalian lumayan cocok ya kalau ngobrol soal komik Tiger Wong?”

“Iya, sih. Kalau soal komik itu, kami sering saling kasih info apakah seri Tiger Wong yang baru sudah terbit atau belum. Kadang dia nitip beli lewat aku. Eh, tapi emang kok, aku kadang juga malu sendiri inget kelakuanku ... sering sombong, ya? Hahaha ... maaf,” Dimas nyengir.

“Tapi setidaknya kamu tidak secerewet Ndaru, itu alasan Elmo memilih kamu sekelas dengan kami dulu. Serius itu alasannya,” kataku. Dimas membelalakan mata sambil tersenyum seolah tidak percaya. Kami lalu tertawa bersama. Mengingat masa lalu dengan segala dinamikanya membuat kami kadang malu sendiri. Tetapi maklum juga karena waktu itu kami masih anak-anak.

Kami duduk di bangku depan kelas 2 E. Dulu di sini selalu penuh anak-anak saat jam istirahat, masing-masing tentu dengan gengnya. Aku, Elmo dan Satya jarang duduk di sini. Setelah dari kantin, biasanya kami mojok duduk di dekat ruang praktik biologi. Memang terkesan eksklusif, tetapi aku sendiri waktu itu juga tidak menyadari. Bagiku, yang penting aku merasa nyaman aja.

Kok kami bisa datang ke sekolahan ini lagi? Hari ini tadi aku janjian dengan Dimas untuk makan siang di rumah makan Kusumasari. Setelah itu dalam perjalanan pulang tanpa direncanakan kami melewati lokasi SMP Negeri 10. Saat terlihat gerbangnya dibuka, Dimas spontan membelokkan mobilnya. Gerbang sekolah kami masih sama, sebuah gerbang kayu besar setinggi hampir 5 meter, bukaan dua atau dua daun pintu, dengan lebar total mungkin ada 4 meter. Penjaga sekolah yang terlihat di depan sempat menghampiri kami menanyakan maksud kedatangan kami. Tentu kami bilang bahwa kami dulu adalah murid sekolah itu, lengkap dengan menyebutkan beberapa nama guru supaya dia percaya. Kami bilang ke penjaga sekolah bahwa kami dari luar kota dan hanya sekadar ingin bernostalgia. Kalau dia cermat, pasti dia akan curiga. Karena plat mobil Dimas adalah AD alias plat kota Solo, bukan luar kota.

“Jadi kamu maunya gimana, Ka?” tanya Dimas. Aku sudah menceritakan semuanya kepada Dimas tentang hasil pertemuan keduaku dengan Satya, juga tentang pertemuanku dengan Elmo. Pertemuan dengan Satya menjadi hal penting karena ada peluang untuk menemukan kebenaran kasus ini.

“Mungkinkah handphone itu ditemukan?” tanyaku.

“Mungkin saja. Apalagi kamu sudah pegang nomor handphone pengamen itu,” kata Dimas.

“Tapi ... kalaupun berhasil ditemukan, apakah akan berguna dan mampu membebaskan Satya dari ancaman hukuman?” tanyaku aku tidak terlalu yakin.

“Nah, itu juga aku belum bisa memastikan. Karena sebenarnya, kalau berdasarkan cerita Satya, handphone itu kan hanya merupakan alat komunikasi antara Satya dengan Elmo. Isinya lebih kepada rencana-rencana perjalanan, komunikasi mengatur rute, dan lain sebagainya ... kira-kira kalau kutangkap dari cerita kamu kan seperti itu. Beda cerita kalau handphone yang kita pegang adalah handphone-nya Elmo yang terhubung dengan orang di mobil pemandu,” kata Dimas.

Aku mengangguk.

“Tapi meskipun begitu, handphone itu akan berguna karena akan menjadi bukti bahwa sebenarnya Elmo tidak sebersih itu. Logika sederhana saja, ngapain sih sembunyi-sembunyi kalau dia tidak merasa melakukan kesalahan. Ini baru kemungkinan, artinya bukan tidak mungkin akan ada petunjuk-petunjuk baru saat kita bisa pegang handphone itu,” imbuh Dimas panjang lebar.

Lihat selengkapnya