Aku bergegas mengemasi berkas-berkas di mejaku, memasukkan ke dalam tas, lalu kumasukkan ke dalam filing cabinet yang ada di samping mejaku. Dimas baru saja menelepon dan memintaku segera meluncur ke kantornya untuk suatu urusan penting terkait kasus yang kami hadapi.
“Raka, kalau kamu nggak ada kerjaan, bisa antar aku ke Jalan Yos Sudarso? Kalau masih sibuk biar aku naik Gocar saja,” tanyaku kepada Raka yang terlihat sedang mengamati sesuatu di mejanya.
“Nggak, Pak ... bisa kok saya antar,” pemuda itu kemudian bangkit dan segera bersiap untuk mengantarku.
Pertemuanku terakhir dengan Dimas mengerucut pada keputusan untuk mencari tahu pengamen yang membawa handphone-nya Satya. Sejak itu aku belum berkontak lagi dengan Dimas, sampai setengah jam lalu Dimas mengundangku untuk merapat ke kantornya. Aku menaruh harapan besar pada Dimas, karena kupikir kami memiliki cara pandang yang sama akan kasus ini. Dimas, mungkin saja memiliki pendapat yang bias mengingat dia dulu seterunya Elmo. Tetapi di sisi lain, pendapat Dimas masuk akal dan sejalan dengan apa yang kupikirkan saat ini.
Aku masuk ke mobil. Dari kantorku yang berada di kawasan Purwosari menuju ke kantor Dimas yang berada di Jalan Yos Sudarso bisa ditempuh dalam 15 menit. Jalanan kota Solo relatif nyaman dan minim macet. Kalau pun agak lama biasanya karena banyak jalur satu arah.
“Pak, deadline goodie bag Hotel Alana hari Rabu ya. Mengingatkan saja. Soalnya sampai sekarang masih berhenti di kisaran 70 persen,” Raka mengingatkan.
“Oke, noted. Nanti kuingatkan lagi bagian produksi. Tapi tidak ada kendala kan? Kenapa bisa lama?”
“Bahan kertas untuk paper bag-nya terlalu tipis dan ngepas ukurannya. Banyak yang sobek tuh Pak saat kita masukkan isiannya. Terlalu pas banget, jadi saya minta ditambah cetakannya untuk backup. Sebenarnya sudah saya kasih ukurannya, panjang lebar sekian dan volume sekian. Tapi kayaknya ada pengurangan ukuran, mungkin mau diirit-irit. Ini sudah kali kedua lho Pak supplier kita ini berbuat begitu. Ditegur aja, Pak,” saran Raka.
“Oh gitu, ya sudah besok aku bicarakan dengan Pak Nanda bos mereka. Kalau memang berulang ya kita harus bicarakan ulang kerja sama dengan mereka.”
Raka menepikan mobil di depan kantor Dimas. Aku segera bergegas turun dan kuminta Raka balik lagi ke kantor. Dimas yang hari ini mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang dan jeans hitam tampak terlihat lebih santai. Mungkin karena hari ini hari Sabtu. Dia menyambutku saat aku masuk ke halaman kantor itu. Laki-laki itu lalu mengarahkan aku masuk ke ruang kerjanya.
“Aku jelaskan cepet aja ya ... jadi aku sudah mengontak nomor pengamen itu. Namanya Jabrik, bener seperti yang kamu bilang. Aku tanya posisi dia di mana? Dia hanya bilang di Rokan Hilir, tidak mau menyebutkan lokasi yang lebih spesifik. Agak tertutup orangnya dan kayaknya waspada banget. Aku bilang aku tidak akan mencelakakannya. Hanya akan mengambil handphone yang dititipkan seseorang di lokasi razia dekat SPBU Bagan Batu. Dia bilang, handphone aman di tangannya,” tutur Dimas.
“Alhamdulillah ... terus?”
“Kutanya apakah dia tau isi handphone itu apa? Dia bilang itu handphone model lawas, bukan android. Hanya ada pesan-pesan di inbox yang dia tidak paham. Lalu kutanya apakah bisa ketemu untuk serah terima barang itu? Dia menolak. Dia mengancam, kalau sampai ada yang datang mencarinya, maka handphone itu akan dia buang.”
“Kenapa ya?” tanyaku heran.
“Aku sendiri tidak tahu. Lalu kutanya bagaimana caranya bisa mengambil itu? Dia memberikan pilihan untuk mengirimkannya melalui paket. Tapi dengan syarat ...”
“Apa?”
“Orang ini memang bajingan juga. Dia tahu bener kita membutuhkan handphone itu. Dia mau mengirimkan handphone itu asalkan kita mau menebusnya Rp 10 juta. Lalu dia ngoceh panjang lebar soal hidupnya yang serba kekurangan dan penuh perjuangan. Aku lalu minta waktu untuk memikirkannya. Lalu aku menghubungi kamu sekarang ini,” kata Dimas.
“Bagus sih tidak langsung tunduk pada kemauannya. Biar tidak terkesan kita butuh-butuh amat. Bisalah itu turun harganya.”
“Itu yang aku pikirkan. Meskipun sebenernya kalau dihitung-hitung dengan cost yang harus kita keluarkan kalau harus menjemput barang itu ke Rokan Hilir tak murah juga. Tapi biar enak, habis ini kita nego bareng. Biar kamu tahu juga ... wait ....” Dimas menekan nomor-nomor di handphone-nya, lalu menekan tombol speaker on. Untuk beberapa saat terdengar nada tunggu, sebelum seseorang berujar.
“Halo ... iya ada apa?” Dimas tersenyum mendengar itu. Jabrik menyimpan nomornya dan sepertinya menunggu untuk dihubungi karena langsung bertanya 'ada apa?'
“Ini saya yang kemarin telepon soal handphone. Iya, saya sudah bicara dengan saudara saya pemilik handphone itu ... kamu ngomong langsung saja ya sama dia?” Dimas mengoper handphone-nya kepadaku dan memintaku berbicara langsung dengan pengamen itu.
“Halo, selamat siang, dengan Mas Jabrik ya?” aku basa-basi.
“Iya, siapa?” nadanya ketus.