“Pulang sekarang!”
Pesan Whatsapp kuterima dari Nia. Ada apakah? Tidak biasanya Nia main perintah seperti itu, di jam kerja lagi. Ini baru pukul 13.10 WIB, orang lagi sibuk-sibuknya kerja. Tetapi aku tidak mau terlalu lama bertanya-tanya dan menghabiskan waktu dengan berbalas chat.
“Ada apa, Mah?” kutelepon Nia. Hanya kudengar suara sesenggukan. Sementara dari jauh tampak suara ramai, seperti banyak orang.
“Pulang, Mas ... pulang,” Nia masih menangis sesenggukan.
“Oke, oke, aku pulang segera,” jawabku tanpa mau bertanya lebih lanjut. Perasaanku tidak enak. Ada apa ya? Apa rumahku kebakaran? Atau kerampokan? Atau apa? Kok terdengar banyak suara orang di belakang istriku tadi? Kubereskan pekerjaanku, kumatikan laptop, lalu aku turun ke lantai bawah untuk mencari Raka.
“Ka, mobil aku bawa. Nanti kalau kamu butuh buat urusan kerjaan, kamu naik Gocar aja dulu, klaim ke kantor,” kuraih kunci mobil dan segera keluar dari kantor. Raka yang mencoba berbicara denganku pun kuabaikan.
Kugeber mobil menuju ke rumahku di kawasan Honggowongso. Butuh sekitar 10 menit dari Purwosari menuju ke Honggowongso bila perjalanan bila lalu lintas lancar, Pikiranku kalut. Nia tidak pernah secengeng itu. Dia adalah perempuan tangguh, yang bisa diandalkan untuk banyak situasi. Dulu saat Ibuku masih hidup dan tinggal bersama kami, dia adalah istri yang bisa diandalkan. Ibuku selama setahun mengalami stroke. Tidak mudah mengurus orang yang terkena stroke. Aktivitasnya hanya tidur dan kadang mencari udara segar dengan menggunakan kursi roda yang dipandu Nia.
Nia memasak, merawat Ibuku, juga tak lupa meminumkan obat, termasuk juga bila terjadi sesuatu dia tak pernah merepotkanku. Pernah tiba-tiba saja dia sudah bersama Ibuku di rumah sakit dan setelah beberapa jam baru menghubungiku. Alasannya, tidak ingin membuatku panik. Aku sempat marah saat itu.
“Tugasmu adalah mencari uang, kepala keluarga yang memberi makan keluarga ini. Kamu urusi itu, aku akan menyelesaikan sisanya, semua pekerjaan rumah, termasuk bertanggungjawab atas Ibumu,” kata dia saat itu.
Serangan stroke ketiga Ibuk pun dia menanganinya sendiri karena kebetulan aku sedang ada meeting. Dan itu bukan sebuah hal mudah karena dia lebih banyak di rumah sendirian. Dia membawa Ibuk ke rumah sakit dengan taksi, mengurus semua tetek bengek urusan rumah sakit, hingga Ibuk ditempatkan di kamar HCU, baru kemudian dia menghubungiku. Sayangnya seminggu kemudian Ibuk meninggal. Dia sempat merasa bersalah, tetapi aku rasa itu bukanlah salah dia. Mungkin sudah waktunya Ibuku menghadap penciptanya.
Beberapa bulan ini kami memiliki asisten rumah tangga, namanya Budhe Partinah, tetangga kampung yang bekerja pagi sampai sore. Tidak menginap dan pekerjaannya hanya memasak, mencuci dan seterika baju, lalu bersih-bersih rumah seperlunya kalau masih ada waktu sisa. Nia awalnya tak mau aku mempekerjakan Budhe Partinah karena dia merasa bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tetapi kemudian aku beralasan bahwa itu untuk menolong Budhe Partinah yang sudah janda, beranak satu yang masih sekolah, dan Budhe Partinah tidak punya pekerjaan tetap. Akhirnya Nia mau.
Kubelokkan mobil ke arah Jalan Muhammad Yamin, lurus hingga perempatan Kawatan, sebelum kemudian belok kanan dan masuk gapura kedua kanan. Saat mobilku memasuki gapura kampung, kulihat jalan di depan rumahku yang tak seberapa besar penuh dengan warga. Aku memarkir mobil agak jauh dari rumahku, lalu buru-buru keluar. Hampir semua tatapan warga ke arahku. Ada apa?
Aku langsung masuk ke halaman rumah, kulihat Nia ditemani Budhe Partinah tampak duduk di teras. Matanya masih sembab dan basah. Ada Pak RT duduk di sana juga bersama beberapa Ibu-Ibu. Mataku tertuju pada garasi yang basah dan terlihat jelaga hitam seperti habis terbakar.