Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #28

Paket Misterius

“Aku dimaki-maki habis-habisan hahaha. Kata dia, ‘ini sudah Selasa ... tidak ada transferan Rp 2 juta. Kamu mau macam-macam dengan saya? Mana katanya ada ongkos kirim juga?’ hahaha ... serius aku ngakak membaca WA si Jabrik. Tapi dia nggak berani telepon aku lho. Kamu memang gila ya, tidak sepeser pun kamu transfer ke Jabrik,” Dimas ngakak.

“Kamu blocked aja nomornya. Bilang aja nanti ongkos kirimnya Rp 300.000 aku tranfser, tapi tidak Rp 2 jutanya. Habis ini aku transfer deh ... kasihan dia sudah mau kirim barangnya kok. Nomor resi yang dia kirim tembus, kan?” tanyaku.

“Tembus kok. Dia kirim pakai JNE. Kucek resinya barang udah jalan. Masih ada kasihan juga kau pada orang serakah macam Jabrik. Orang kayak gitu kalau dikasih hati pasti akan bakal ngerogoh terus, sedalam-dalamnya. Sudah wataknya, sudah pekerjaannya,” sela Dimas.

“Udah, nggak apa-apa. Sebenarnya aku juga kesel sih lihat dia kemaruk gitu. Sudah dapat sejuta dari Satya, masih malak kita dengan Rp 10 juta. Kampret memang, kayak cari uang itu mudah. Tapi ya sudah, barang sudah dikirim, itung-itung nanti Rp 300.000-nya bonus buat dia.”

"Tapi kayaknya enggak aku blocked dulu deh nomor si Jabrik. Siapa tahu kita butuh informasi lanjutan tentang apa yang ada di handphone itu," ujar Dimas.

"Tapi bukannya dia sudah nggak bakal mau berurusan dengan kita kalau sudah kutipu dengan struk transferan palsu kemarin?" tanyaku.

Dimas menggeleng cepat.

"Mereka itu kuncinya di uang. Hari ini mencak-mencak ke kita, besok kita iming-imingi uang juga bakal mau lagi sama kita. Cuma, nanti mereka akan lebih pinter supaya tidak ditipu lagi sama kamu. Aku punya beberapa informan yang karakternya begitu. Udah berkali-kali kecewa sama aku, eh kalau aku hubungi dan minta bantuan lagi, tetep aja mau asal duitnya cocok," papar Dimas.

"Ya semoga deh. Atur aja, aku pusing."

“Gimana dengan perkembangan kasus teror di rumahmu? Itu kasus pidana yang serius lho, Ka. Pakai ngebom molotov. Ntar kalau sudah ada perkembangan dari kepolisian, aku bantu deh mendampingi kamu.”

Aku menghembuskan napas kuat-kuat. Kalau ingat teror bom molotov dua hari lalu, pusing kepalaku. Tiba-tiba saja hidupku yang biasanya adem ayem dan hanya berkutat dengan pekerjaan, sekarang direpotkan dengan kasus Elmo dan Satya. Bukan sembarang kasus, tetapi kasus besar terkait penyelundupan narkoba dengan ancaman hukum yang sangat berat. Belum kelar itu, sekarang ada teror bom molotov di rumah. Nia juga syok dengan peristiwa yang dialaminya. Gimana tidak, dia mau ditebas pakai celurit, masih diludahi mukanya. Nggak heran kalau dia menangis semacam itu.

"Pusing aku, Dim. Malamnya itu rumahku didatangi wartawan banyak bener. Besoknya keluar di media, ramai kan ... aku harus meladeni pertanyaan dari relasi dan teman-temanku. Belum keluarga besarku dan keluarga besar Nia yang khawatir setengah mati. Eh, ternyata nggak berhenti di situ, wartawan masih ngejar terus mencari perkembangan terbaru kasus itu. Yaelah, kan baru semalem juga. Dan itu berita jadi banyak bener, sampai profilku, profil perusahaanku, siapa aku dan siapa Nia dikupas semua. Serem banget. Kamu tahu kami belum pernah berada di situasi semacam ini," ujarku.

Dimas tersenyum.

"Sudah ketebak sih. Seperti yang aku bilang, ini kasus lumayan serius. Teror bom molotov lho. Pakai ancaman kekerasan ke istrimu lagi. Nggak heran media langsung memburumu seperti kucing melihat daging," sela Dimas.

“Dari kepolisian juga belum ada perkembangan. Rumahku sebenarnya ada satu CCTV di gerbang. Tapi nggak tahu kenapa saat itu tidak aktif. Itu memang kelalaianku. Di sisi lain, pelaku pakaiannya tertutup, motor tanpa plat nomor. Aku kok pesimis ya, Dim. Kayaknya susah diungkap."

“Menurutmu ada kaitan dengan kasus Elmo dan Satya?”

“Menurutmu?” aku balik tanya. Karena kupikir insting Dimas pasti lebih tajam secara dia sering bergelut dengan persoalan hukum.

“Bukan tidak mungkin sih. Tapi siapa dan untuk motif apa itu yang harus dicari.”

“Apa mungkin dia terganggu dengan langkah yang aku ambil? Kalau iya, dia berarti seseorang yang tak jauh-jauh dari circle kita. Karena selama ini aku tidak pernah bercerita apapun soal apa yang aku lakukan ini kecuali ke kamu dan Nia.”

"Jadi aku bisa masuk tersangka ini?" Dimas tertawa.

"Ya ... istriku juga. Mungkin tidak sengaja bercerita ke orang lain?"

"Nope. Kalau dari aku enggak ya," tepis Dimas.

"Itu baru dugaanku kok," kataku agak nggak enak karena telah melemparkan opsi siapa yang kemungkinan membocorkan informasi tentang kasus Elmo dan Satya.

Lihat selengkapnya