Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #29

Petunjuk Berharga

Istriku akhirnya mau menerima usulku anak bulikku yaitu Lintang, yang duduk di semester VII Universitas Sebelas Maret Solo untuk sementara tinggal di rumahku seminggu atau dua minggu. Dia sudah selesai dengan kuliah teori dan sekarang mulai mengerjakan skripsi sehingga bisa lebih banyak menemani Nia di rumah. Selain ada Lintang, Budhe Partinah tentu juga menjadi andalan kami untuk menemani Nia.

“Tang, kalau kamu longgar hari ini, tolong cariin tukang service CCTV ya? Itu kemarin ternyata rusak, makanya kok mati. Ntar uangnya minta Tante Nia,” pintaku kepada Lintang. Pemuda kurus berambut ikal itu mengangguk.

“Temenku ada kok, Mas. Biar dicek temenku dulu aja ya? Kalau dia bisa benerin, soal biaya sih gampanglah ntar. Biasanya sih seikhlasnya,” kata dia.

“Jangan seikhlasnya. Ya dibayar sesuai tarif umum aja. Atau malah kalau bisa dibayar lebih. Yang namanya teman itu harusnya saling support, membantu temannya berkembang dengan usaha atau jasanya, bukan malah merugikan,” celetuk Nia.

Aku tersenyum. Lintang mangut-mangut, “Siap, Mbak Nia ....”

Ini hari pertama Lintang di rumahku. Pagi-pagi datang langsung kami ajak bergabung untuk sarapan di meja makan. Aku berharap kehadiran Lintang bisa membuat istriku senang dan menghilangkan traumanya, karena rumah tak lagi sepi.

“Pak juragan, nanti Pak Bowo datang agak siang buat memperbaiki pintu garasi. Minta maaf agak siang, karena ada keperluan. Laporan selesai,” celetuk Budhe Partinah.

“Baik, Budhe, nggak apa-apa,” jawabku sambil menyelesaikan sarapanku, nasi goreng dengan telur ceplok buatan Budhe Partinah dan istriku. Sebagai kepala rumah tangga, aku bukan tipe yang rewel. Tidak ada kewajiban bagi istriku untuk memasak. Kalau misalnya tidak sempat memasak pun, bisa beli makanan di luar. Kalau masaknya hanya sempat makanan sederhana seperti nasi goreng dengan telur ceplok pun nggak apa-apa. Bahkan tidak sarapan pun nggak apa-apa, karena nanti bisa pesan Gofood di kantor. Meskipun salah satu tugas Budhe Partinah adalah memasak, tetapi kami hanya mewajibkan buat makan siang saja. Kalau pagi, selonggarnya dia.

Kata teman-teman Nia, Nia itu beruntung mendapatkan aku yang nrimo. Aku sebenarnya juga bukan nrimo sih, tetapi lebih karena kelamaan hidup susah jaman sekolah, jadi hidup sekarang yang mapan terasa lebih dari cukup. Jaman sekolah sarapan aja susah. Pulang sekolah nunggu dicarikan makan siang. Kalau nggak ada ya tidur siang dulu biar nggak laper, berharap sudah ada makanan saat bangun.

“Hari ini rencana ngapain saja, Mas?” tanya Nia.

“Ke kantor dulu, ada yang janjian mau pesen tumbler. Habis itu free, rencana mau ketemu Dimas di kantornya bahas paketan handphone yang sudah tiba kemarin sore.”

Nia mengulurkan tangan, membetulkan kerah kemejaku, “Kalau sekiranya itu nggak baik bagi hidup kita ... di luar kemampuan kita untuk membantu, mbok sudah dilepas saja, Mas. Aku tahu betapa berartinya Satya dan Elmo bagi Mas Dharma. Tapi ini terlalu besar untuk kita hadapi, Mas,” Nia hati-hati sekali mengucapkan kalimatnya. Mungkin khawatir menyinggungku.

“Mah untuk kali ini, izinkan aku untuk menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Janji, aku sudah menetapkan batas tegas sampai di mana aku akan membantu. Kalau sudah lewat batas itu, aku akan menyerah. Jangan khawatir, Mah ... Dimas akan membantuku. Dia sudah berjanji,” aku mencoba menenangkan Nia. Dia hanya menatapku dengan mata seperti tak ikhlas.

Lihat selengkapnya