“Bapak, sudah ditunggu tamu. Katanya sudah janjian dengan Bapak,” Raka keluar dari kantorku menghampiriku di parkiran begitu aku turun dari mobil. Aku mengernyitkan dahi. Aku merasa tidak janji dengan seseorang hari ini.
“Siapa, Ka?”
“Mbak Intan dari Hotel Asoka. Yang tempo hari sempat telepon, Pak,” Raka seperti mengingatkan. Aku masih belum ingat bahwa janjianku dengan dia adalah hari ini.
“Bukannya masih besok ya, Ka?”
“Bapak mau saya cek agenda? Untuk memastikan saja, saya ingatnya juga besok sih, Pak. Tapi dia maksa mau bertemu Bapak dan bersedia menunggu. Mau saya cek jadwal?” Raka menawarkan diri. Aku menggeleng cepat. Percuma juga, karena toh orangnya juga sudah ada di kantor. Lagian hari ini aku tidak ada kerjaan, hanya mungkin sejam lagi akan keluar untuk makan siang.
“Bapak, mobil saya bawa ya? Saya harus mengambil dummy produk di supplier.”
Aku mengangguk. Kuserahkan kunci mobil ke Raka.
Aku belum pernah bertemu dengan Intan, yang mengaku Public Relation alias PR Hotel Asoka. Sejak perusahaanku Onpoint berdiri hingga sekarang, belum pernah aku mendapat order souvenir atau merchandise dari hotel itu. Aku dengar mereka sudah memiliki kerja sama dengan FreshBlood Advertising. Aku juga belum pernah memasukkan penawaran ke Hotel Asoka.
Kubuka pintu, Asti yang ada di front desk memberikan kode ke aku bahwa ada tamu. Aku mengangguk. Aku langsung menuju ke sofa tempat kami menerima tamu. Tampak seorang wanita cantik berpakaian atasan blazer abu-abu dan celana bahan kain warna senada duduk santai sambil membuka-buka katalog produk yang kusediakan di ruang tamu.
“Selamat siang Mbak Intan?” sapaku.
Wanita itu mendongak, lalu berdiri cepat sambil senyum, “Pak Dharma ya? Saya Intan dari Hotel Asoka, Bapak,” wanita itu mengulurkan tangan. Kusambut salamannya. Wanita itu menyibakkan rambutnya yang di-highlight warna keemasan, sebelum kemudian kembali duduk.
“Maaf, Mbak Intan ... seingat saya, kita janjian besok ya? benar nggak sih? Selasa pukul 11.00 WIB? Saya tidak tahu kalau maju, makanya saya terlambat tidak bisa menyambut Mbak Intan,” kataku basa-basi.
“Oh iya, Bapak saya yang minta maaf. Memang benar janjiannya besok. Tapi kebetulan sekali saya besok harus meeting ke Jogja. Nah, di meeting itu saya harus melaporkan apa yang akan menjadi pembicaraan kita. Maaf kalau merepotkan. Ini di luar perkiraan saya, Pak,” Intan berbicara khas PR, sopan, enak didengar. Kadang aku merasa mereka terlalu sopan bila berbicara.
“Oke, Mbak nggak apa-apa.”
Intan lalu menyampaikan kebutuhannya akan produk-produk merchandise, lebih detil dari apa yang pernah disampaikannya di telepon. Rencananya, Hotel Asoka akan menggelar gathering tiga minggu lagi dengan klien dan relasinya di Jogja. Kebutuhan mereka adalah 250 paket goodie bag yang isiannya akan menyesuaikan dengan karakter Hotel Asoka. Produk-produk yang diinginkan untuk isian goodie bag sudah pernah aku produksi, jadi tidak ada masalah dengan itu. Masalahnya hanya di nego harga yang ulet sekali. Bahkan saat sudah kupangkas dua kali, Intan masih mencoba untuk mencari harga paling mepet. Aku sudah mendengar soal ini sebenarnya, urusan dengan hotel akan ulet. Salah-salah malah dibayar dengan voucher kamar. Memang tidak semua hotel, tetapi beberapa teman yang memiliki usaha sama dengan aku mengeluhkan tentang pembayaran yang tidak lancar dan kapok melayani hotel. Aku perlu waspada, tetapi aku tetap mencoba berpikir positif karena siapa tahu hotel yang satu ini tidak demikian dan justru membawa rejeki untukku. Apalagi nilainya lumayan.
“Rencananya, setelah gathering di Jogja, kami masih akan memesan paket yang sama untuk acara ulang tahun hotel kami dua bulan lagi, Pak. Jadi kalau bisa, harganya dimepetkan dong, Pak,” rayu Intan.
“Kalau untuk 250 paket ini ya harganya sudah mentok, Mbak. Kecuali gini, Mbak memesan 500 paket sekalian, sekaligus untuk ulang tahunnya, kami bisa kurangi lagi harganya,” aku nggak mau kalah.
“Gitu ya, Pak? Aduh ... sebenarnya bener juga. Mending bikin 500 paket sekalian ya Pak biar harganya miring. Tapi saya harus lapor atasan saya dulu, Pak. Yang 250 paket sudah pasti pesan kok, Pak.”
“Oke, Mbak ... jadi nanti tahap pertama 250, tahap berikutnya 250. Itu harga masih boleh turun. Dan ini kan sudah kurang tiga minggu lagi ya, kalau bisa difinalkan paling lambat besok, Mbak. Tumbler grafir yang lumayan makan waktu pengerjaan, Mbak. Kalau yang lain, relatif aman,” kataku.
Intan minta izin untuk berkonsultasi dengan pimpinannya melalui handphone. Aku iyakan. Aku menunggu sambil sibuk memainkan handphone juga supaya tidak mati gaya.
“Pak, ini pimpinan saya masih meeting, chat saya belum dijawab. Saya chat asistennya, katanya kelar satu jam lagi. Gimana ya, Pak? Oya, mohon maaf, Bapak longgar nggak sekarang?”