“Aku menyerah saja.”
“Noooooooooo ....”
Dimas memandangiku lekat-lekat.
“Aku capek.”
“Kamu tidak bisa menyerah setelah apa yang sudah kamu lakukan sejauh ini, Ka. Kalau sampai kamu menyerah, lucu banget sumpah!”
“Akan lebih lucu kalau aku tidak menyerah dan rumah tanggaku hancur gara-gara persoalan ini. Persoalan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya denganku,” kataku.
“Siapa bilang tidak ada sangkut pautnya dengan kamu? Elmo dan Satya adalah masa lalumu. Kalian boleh tidak bersama lagi sekarang, tapi kalian tidak bisa menghapus sejarah yang telah kalian jalani sama-sama. Dan aku sangat yakin, dampaknya akan luar biasa bagi kamu, apapun ending dari kasus ini,” oceh Dimas.
“Entahlah, Dim. Ini mulai merusakku. Rumah tanggaku diteror habis-habisan sejak aku ingin mencari titik terang kasusnya Satya. Pikiran burukku juga memakanku perlahan-lahan. Aku tidak siap menghadapi situasi jika benar teror-teror ini dilakukan oleh Elmo melalui orang suruhannya. Di sisi lain, hatiku menolak kalau Elmo adalah pelakunya. Tetapi secara logika, kalau bukan Elmo siapa lagi coba?” tanyaku.
“Dia tidak pernah menghubungi kamu lagi sejak pertemuan di Jakarta?”
Aku menggeleng.
“Aku juga tidak bisa main tembak bertanya ke dia, apakah dia menerorku? Itu tidak mungkin kulakukan. Nanti bakal membuat rencana kita berantakan semua dan kita malah tidak bisa menolong Satya,” kataku.
“Ka ... kita hampir sampai ... hampir sampai. Please jangan menyerah. Kamu yang sabar, beri pengertian kepada istrimu dan lakukan langkah-langkah antisipasi situasi buruk. Selama ini menurutku apa yang kamu lakukan untuk mengantisipasi teror sudah bagus kok. Pokoknya yang sabar ya, Ka. Tidak akan lama lagi kok, Ka,” bujuk Dimas.
Aku menggeleng tak tahu harus bersikap apa. Pertengkaran dengan Nia kemarin membuatku akhirnya harus berpikir ulang, bahwa semua masalah ini bersumber pada kasusnya Satya. Aku harus mempertimbangkan kembali apakah ini baik bagiku dan keluargaku atau tidak. Aku tidak tahu siapa yang mengirim foto-foto itu. Tetapi satu hal yang pasti, aku diikuti dan diawasi, pun keluargaku.
Foto-foto itu dikirim tidak melalui paket. Pagi-pagi, Budhe Partinah menemukan amplop itu tergeletak di dekat pot bunga depan rumah. Sepertinya dilempar dari luar. Saat aku meminta Lintang untuk mengecek CCTV, benar ada orang bersepeda motor matic yang melemparkan amplop itu ke halaman rumahku. Sama dengan orang yang melemparkan bom molotov, orang itu mengenakan jaket hitam, helm full face, serta masih dilengkapi masker. Dari tampilan yang kulihat di CCTV, posturnya hampir sama dengan ciri-ciri yang disampaikan Budhe Partinah soal pelaku pelemparan bom molotov.
“Ka, orang suruhanku sudah terbang dari Jakarta ke Pekanbaru, lalu lanjut perjalanan darat ke Rokan Hilir untuk bertemu dengan Jabrik. Jabrik sudah pinter, dia mau menemui orangku asal bawa Rp 10 juta. Aku iyakan, tetapi dengan syarat dia bersedia bersaksi soal diberi Satya handphone itu. Dia bersedia. Untuk sementara orangku akan mewawancara dia dengan menggunakan video. Khawatir hilang jejak,” Dimas menjelaskan berapi-api. Aku mulai sedikit tidak bersemangat.
“Kedua, koneksiku di Polda Metro Jaya menyatakan, polisi bersedia melakukan penyelidikan ulang bila memang ada bukti-bukti kuat yang mendukung untuk dilakukan.”
“Baguslah.”
“Mereka mengincar Elmo,” imbuh Dimas.
Aku tertegun. Kupandangi Dimas.
“Kamu yang memberi infomasi kepada polisi soal Elmo?” tanyaku.
Dimas menggeleng.
“Nama Elmo muncul belakangan setelah polisi melakukan penyelidikan. Tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang kita lakukan sekarang. Karena aku tidak pernah menyampaikan langkah-langkah yang kita lakukan ke koneksiku di Polda Metro Jaya, sebelum semuanya kelar,” jelas Dimas.