Kios itu tutup. Aku mencoba mengetuk pintu di samping kios tak ada yang membukakan. Sementara lokasi di sekitar juga tampak sepi, tak ada tetangga atau orang yang beraktivitas di sekitar, yang mungkin bisa kutanya. Di tengah kebingungan, mendadak seorang laki-laki separuh baya keluar dari gang yang berada di seberang rumah. Laki-laki kurus dengan rambut perak karena penuh uban.
“Mas mencari siapa?”
“Oh...saya mencari pemilik kios ini. Ibunya Pak Satya,” jawabku. Hadeuh, aku bahkan tidak tahu nama Emaknya Satya. Selama ini kami hanya menggunakan kata ganti “Emaknya Satya” bila menceritakan beliau.
“Bu Waginah? Ibunya Mas Satya kan?” tanya laki-laki itu. Aku mengangguk cepat. Laki-laki itu mengenalkan diri sebagai pengurus RT di lingkungan itu. Dia lalu menceritakan, dua hari lalu Bu Waginah terjatuh di kamar mandi terkena serangan stroke. Warga baru tahu setengah jam kemudian karena mendengar cucunya menangis teriak-teriak tidak berhenti-berhenti.
“Kami bawa ke RS Kasih Ibu, kebetulan beliau memiliki Kartu Indonesia Sehat yang dijamin pemerintah, sehingga prosesnya masuk ke RS lancar. Kami putuskan semuanya sendiri karena kesulitan menemukan saudaranya. Satu-satunya kontak yang kami coba hubungi adalah Mas Satya. Tapi nomor handphone Mas Satya yang kami temukan tertempel di lemari kaca kios itu sudah tidak bisa dihubungi lagi,” tutur laki-laki itu. Aku tertegun. Untuk sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa.
“Masnya siapanya ya?” laki-laki itu kembali bertanya.
“Oh...begini, Pak...Saya temannya Satya. Kebetulan saya sedang mencari Satya, katanya pindah ke daerah sini. Dulu rumahnya kan di daerah Semanggi. Ingin silaturahmi saja,” kataku berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan di mana Satya saat ini berada. Bisa heboh kampung ini dan mungkin justru akan membuat kondisi Emaknya akan semakin drop.
“Kasihan Emaknya...saya juga nggak ngerti kenapa Mas Satya tega meninggalkan Emak dan anak laki-lakinya sendiri. Dulu katanya berangkat kerja, tapi kok nggak balik-balik.”
“Maaf, Pak...kalau boleh tahu...sekarang anaknya yang mengasuh siapa?”
“Ada Bu Narti. Tetangga Bu Waginah di rumahnya yang lama. Nah, sama kayak Masnya, Bu Narti juga ke sini nyari Bu Waginah...tepat beberapa jam setelah Bu Waginah terkena serangan stroke. Kalau Bu Narti ini saya sering ketemu, soalnya rutin mampir ke kios Bu Waginah. Bu Narti ini bukan saudara, tapi katanya teman baiknya Bu Waginah. Awalnya warga berpikir untuk menitipkan anak itu ke saya. Cuma, anak itu nangis terus kalau sama saya atau istri saya. Hanya dengan Bu Narti dia mau diem...ya mungkin karena sudah terbiasa. Sekarang anak itu diasuh sementara Bu Narti atas persetujuan warga di sini. Kalau siang, Bu Narti dan anak itu di rumah sakit menunggu Bu Waginah, kalau malam pulang, tidurnya ikut Bu Narti. Ya terpaksa tidak ada yang menunggu Bu Waginah di rumah sakit kalau malam,” laki-laki itu menjelaskan dengan sangat komplit dan terang benderang. Aku mangut-mangut.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana orang tua yang terkena serangan stroke harus berada di rumah sakit sendirian. Pasti berat sekali kalau hanya mengandalkan perawat yang bertanggung jawab untuk banyak pasien.
“Pak, kalau boleh tahu Bu Waginah dirawat di ruang apa ya? Mungkin saya bisa menengok,” tanyaku.
“Di Ruang Kamajaya, kelas 3. Mas langsung ke sana saja, ini pas jam bezuk,” saran laki-laki itu. Aku mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih dan segera pamitan. Memang lebih baik aku langsung meluncur ke rumah sakit untuk menengok. Mumpung hari ini aku juga tidak ada pekerjaan.
Terbersit kemudian rencana untuk mengajak istriku Nia ke rumah sakit. Yang terbayang di benakku hanyalah anak laki-laki Satya. Hatiku tak akan pernah tega melihat anak laki-laki itu menghadapi situasi ini, situasi yang tak akan pernah mampu dipahaminya. Mungkin Nia bisa menyusul dan membawakan sesuatu untuk Bu Waginah dan anak itu.
“Mah, nyusul ke RS Kasih Ibu bisa nggak? Secepatnya. Nengok ibunya Satya kena serangan stroke. Aku dalam perjalanan meluncur ke sana. Tolong beliin makanan ya, Mah...sekalian mampir ke toko mainan anak ya? Belikan mainan untuk anaknya Satya,” aku menelepon Nia.
“Oke, Mas...biar Lintang anter aku nanti...”
“Kalau Lintang repot, naik Gocar saja. Pulang bareng aku. Oya, namanya Bu Waginah, di rawat di Ruang Kamajaya, kelas 3. Gitu ya, Mah...aku tunggu. Makasih.”
Aku dan Nia sudah beberapa kali membicarakan soal anaknya Satya ini sejak kedatangan Elmo yang menyampaikan keinginan agar aku menjaga anaknya Satya. Juga sejak aku bertemu Satya dan dia memintaku untuk menengok anak dan Emaknya. Nia, pada prinsipnya tidak keberatan menjaga anak itu, termasuk skenario terburuk misalnya Satya mendekam lama di penjara dan kami harus menampung dan merawat anak itu. Satu sisi, ini adalah hal yang baik mengingat perkawinan kami juga tak kunjung dikaruniai anak. Aku terkadang kasihan melihat Nia yang sering memandang anak-anak tetangga yang bermain di depan rumah. Naluri keibuannya kadang muncul. Dia kerap membeli beberapa cokelat, hanya jaga-jaga kalau ada anak-anak tetangga yang main di dekat rumah, untuk kemudian dia bagi cokelat itu.
Tetapi kami juga melalui banyak waktu untuk berdiskusi secara serius, bahwa menampung anak orang tak semudah itu. Ada persoalan psikologis anak yang juga harus dipertimbangkan. Ada persoalan psikologis kami sebagai orangtua yang juga harus dipertimbangkan. Ada keluarga anak, dalam hal ini Emaknya Satya. yang juga belum tentu setuju. Si anak juga belum tentu betah tinggal bersama kami. Dan salah satu hal yang kerap kami tanyakan kepada diri kami sendiri adalah, apakah kami benar-benar siap menampung dan merawat anak itu seperti anak kandung kami sendiri? Saat ini mungkin bisa bilang ya, bisa. Tetapi bagaimana bila suatu saat anak itu berbuat nakal dan kami sedang emosi? Jangan sampai keluar omongan, "Dasar anak tak tahu diuntung, sudah dirawat, tinggal di sini gratis, masih saja menyusahkan." Kami tidak mau hal seperti itu akan muncul dari mulut kami atau menyelinap di hati kami.