Kubatalkan semua acaraku hari ini. Sepenuhnya kucurahkan sepanjang Sabtu ini untuk Nia dan Dharma. Ini sekaligus sebagai cara menebus penyesalanku telah membentak Nia saat dia cemburu dan mempertanyakan foto-foto kiriman orang yang tidak bertanggung jawab itu. Semoga ini akan membuat hubunganku dengan Nia kembali normal lagi. Di sisi lain, aku juga ingin merasakan pengalaman menjadi seorang ayah, setelah sekian lama pernikahan kami belum dikaruniai anak.
Nia lebih excited. Kulihat wajah yang sangat bahagia yang belum pernah muncul sebelumnya. Sebahagia itu! Tentu aku senang melihat itu. Tetapi di sisi lain, aku tidak tahu apakah ini akan berlangsung selamanya? Bagaimana kalau kemudian kebahagiaan dan harapan kami terlalu berlebihan yang pada akhirnya akan menjatuhkan kami ke jurang kekecewaan yang lebih dalam? Dharma bukan anak kami. Bahkan sampai saat ini tidak tinggal bersama kami. Hanya sesekali saja kami mengajaknya keluar mengingat neneknya masih dalam masa recovery.
“Aku kemarin sudah bertanya kepada Bu Narti, punya nggak kenalan atau tetangga yang bisa merawat dan menjaga Emaknya Satya untuk sementara? Kalau bisa perempuan yang tidak terlalu tua dan memiliki fisik yang bagus dan telaten. Tidak mudah mencari orang seperti itu untuk merawat orang yang kena stroke,” kataku dalam perjalanan ke mall bersama Nia dan Dharma.
“Terus?”
“Ada ... ya sudah, aku minta datang besok ke kantor. Lalu kalau oke, biar dia jaga Emaknya Satya di rumah sakit. Bu Narti masih boleh jaga, tetapi aku kasihan juga karena Bu Narti juga sudah tua,” tuturku. Nia mengangguk setuju.
“Om, itu apa?” Dharma nyeletuk di tengah pembicaraan kami begitu melihat menara masjid yang menjulang tinggi. Tangannya menunjuk ke arah luar. Dia berada di jok tengah, tapi selalu bersemangat menyembul di tengah antara aku dan Nia yang duduk di depan.
“Itu menara masjid. Jadi kalau waktunya salat, pengeras suara yang di atas sana tuh ... akan menyiarkan panggilan untuk datang ke masjid. Kalau disiarkan di tempat tinggi, kan bisa terdengar lebih keras dan jauh,” jawabku.
“Orangnya yang manggil naik ke atas, Om?” tanya bocah itu lagi.
“Bisa. Itu ada tangga untuk naik ke atas. Tapi biar nggak capek naik turun sehari lima kali, maka yang di atas hanya pengeras suara saja. Jadi orangnya di bawah, pakai mic, lalu mic itu terhubung dengan kabel yang dipasang ke atas, lalu disiarkan pakai halo-halo, orangnya di bawah mengumandangkan adzan,” jelasku.
“Kenapa lima kali, Om? Sekali saja biar nggak capek naik ke atas,” bocah itu seperti belum terpuaskan. Aku dan Nia ngakak.
“Kan sudah Om bilang, orangnya nggak perlu naik ke atas. Terus, kenapa lima kali? bagi yang beragama Islam, wajib salat lima kali sehari. Jadi ya panggilan untuk salat lima kali sehari,” jelasku lagi. Nia memandangku dengan senyum. Aku melirik ke dia sambil tetap fokus mengemudi. Andaikan bocah ini adalah anak kami, mungkin begitu pikiran Nia.
"Dharma agamanya apa?" tanyaku.
"Islam, Om. Kata Uti gitu," jawab bocah itu. Uti adalah panggilan untuk Emaknya Satya, singkatan dari Eyang Putri.
"Dharma salat nggak?"
"Belum bisa," jawabnya lugas.
Aku tersenyum.
"Tapi Ega nggak salat ... ikut Mamahnya ke gereja," tambahnya.
"Ya, nggak apa-apa. Kan orang berbeda-beda. Ada yang Islam, ada yang Kristen seperti Ega, ada yang lain-lain juga. Coba Tante tanya, Ega baik nggak sama Dharma?"
"Baik. Ega sering kasih makanan ke Dharma."